Ini tampak ketika Kesultanan Aceh mulai menarget kedudukan Portugis di Malaka dan melakukan beberapa serangan besar ke Malaka. Di samping mendapat bantuan dari kesultanan Islam di Jawa dan India, pusat Kekhalifahan Turki pun mengirimkan sekitar 400 orang tentara beserta bala bantuan senjata beserta pakar pembuatan senjatanya. Rombongan ini mendarat di Bitai dan bermukim di sana.
Pusat Militer dan Dakwah
Menurut catatan sejarah, rombongan tersebut dipimpin oleh Muthalib Ghazi Mustafa Ghazi yang juga dikenal sebagai Tengku Syekh Tuanku Di Bitay. Beliau adalah tentara sekaligus ulama asal Palestina yang diutus khalifah ke Kesultanan Aceh untuk tugas militer sekaligus mengukuhkan dakwah Islam.
Tidak heran jika selain turut berperang, beliau dan rombongan lantas merintis sebuah akademi militer di Bitai sekaligus pusat pengajaran Islam. Di sana, mereka berhasil menelurkan mujahid-mujahid sekaligus ulama Islam, dan memperkuat kekuatan militer Kesultanan Aceh Darussalam, termasuk kekuatan senjata mereka.
Konon pada masa itu, Gampong Bitai banyak dikunjungi pelajar dari berbagai daerah, bahkan dari tempat-tempat yang sangat jauh. Bitai pun menjadi pusat pengajaran bagi keluarga Sultan dan calon sultan. Akademi militer dan pengajaran ini dikenal sebagai Ma'had Baitulmaqdis. Pada masa inilah lahir nama Tuanku Mahmuddin bin Said Aal-Latif yang menjadi mujahidin sekaligus syahid bersama ribuan tentara lainnya dalam perang melawan Portugis.
Perjuangan beliau lantas dilanjutkan oleh istrinya, yakni Laksamana Keumalahayati, cicit dari Sultan Shalahuddin Syah, pahlawan muslimah yang terkenal hingga sekarang. Beliau mendirikan armada militer dari para janda mujahidin dengan nama Inong Balee (Armada Perempuan Janda). Setidaknya ada 2.000 pasukan perempuan yang bergabung dalam Inong Balee dan keberadaannya sangat ditakuti penjajah.
Sayang, saat itu Portugis berhasil menghasut kesultanan-kesultanan Islam di Semenanjung Malaya sehingga mampu menarik mereka sebagai sekutu. Alhasil, upaya Kesultanan Aceh mengusir kekuatan Portugis akhirnya mengalami kegagalan.
Pada masa-masa setelahnya, perlawanan terhadap Portugis agak melemah, terutama akibat konflik internal, baik di dalam Kesultanan Aceh Darussalam sendiri maupun dengan kesultanan-kesultanan Islam lainnya, terutama akibat politik adu domba Portugis terhadap mereka.
Perlawanan baru muncul kembali ketika kepemimpinan Aceh Darussalam dipegang oleh Sultan Iskandar Muda yang dikenal sebagai Mahkota Alam dan memerintah sejak 1607---1636. Pada masanya, Kesultanan Aceh berhasil menyatukan kekuatan umat Islam di Sumatra dan Semenanjung Malaya, serta mampu menutup pintu Sumatra Utara bagi politik dan ekonomi Portugis.
Mengambil Hikmah
Di tengah upaya penguburan dan pengaburan sejarah hubungan Nusantara dengan kepemimpinan politik Islam dunia di Turki, keberadaan Kampung Turki justru menjadi bukti tidak terbantahkan. Terlebih banyak catatan dan bukti-bukti sejarah lainnya yang terserak di berbagai tempat yang menunjukkan hubungan politik itu. Bukan hanya pada abad ke-16, tetapi saat Turki dipimpin oleh Sultan Abdul Hamid dan Nusantara dikuasai penjajah Belanda yang diungkap dalam film produksi Turki sendiri.