“Dari tadi kita di sini belum ada kereta lewat.”
“Kita mau nunggu sampai ada kereta lewat baru pulang?” Kung mengangguk. Baiklah aku memang selalu kalah dengan permintaan lelaki yang rambutnya sudah beruban semua ini.
Tak berapa lama aku mendengar suara kereta dari kejauhan. Aku berdiri, menengok kiri dan kanan. Menebak-nebak arah datangnya kereta. Jalur kereta ini sudah dua jalur, beda dengan dulu yang masih satu jalur saja. Ternyata bukan cuma aku dan Kung yang menunggu kereta lewat sore itu. Di seberang ada seorang bapak dan beberapa anak kecil. Anak-anak itu tampai antusias menunggu kereta lewat sambil tepuk tangan menyanyikan lagu yang aku tidak mendengarnya dengan jelas.
Suara semakin lama semakin jelas. Kung sudah berdiri di sampingku. Ikut menunggu kereta yang akan lewat. Anak-anak di seberang itu semakin keras bernyanyi dan bertepuk tangan. Jam menunjuk pukul enam belas lebih sepuluh menit ketika sebuah rangkaian kereta api ekonomi melintas di depanku.
“Benar apa kata Kung, Stasiun Kebahagiaan. Lihat bocah-bocah itu deh Kung.”
Kung tersenyum sembari berbalik badan menuju tempat motorku diparkir.
“Hal yang paling membuat Kung bahagia, karena di stasiun ini Kung bertemu pertama kali dengan Uti.”
Aku hampir saja berteriak, “Pantas saja, tapi Kung belum pernah cerita soal itu sama aku.”
“Lain kali saja, sekarang ayo pulang. Nanti kita dicari bapakmu.”
Aku berjalan mengikuti Kung yang meskipun dengan napas terengah-engah dia nampak bahagia hari ini. Aku pun juga.
Kota Istimewa, 18102016