Lelaki yang duduk bersamaku ini usianya genap tujuh puluh sembilan tahun hari ini. Tangannya yang sudah keriput sedang memijat-mijat kedua kakinya yang diselonjorkan. Dia akan mengajakku berkeliling di Stasiun Kebahagiaan. Ah iya tentu itu nama yang dikarangnya sendiri. Mana ada nama stasiun Kebahagiaan?
“Capek Kung? Masak jalan segitu saja capek.” Ledekku padanya. Aku memanggilnya Kung. Ya, dia adalah ayah dari wanita yang melahirkanku.
“Gimana menurutmu?”
“Di sini kumuh, lagian stasiun ini juga sudah nggak dipakai lagi sekarang. Serem juga” Aku mengamati bangunan yang memang sudah kumuh ini atau lebih tepatnya mengerikan, Karena dikeilingi rumput tinggi dan di beberapa bagian tembok ada yang sudah roboh.
“Dulu stasiun ini ramai, dan menjadi bagian sejarah dari hidup Kung.”
Aku mengambil duduk di sebelah kanannya. Lelaki yang merupakan pensiunan pegawai PJKA itu memiliki kenangan sendiri dengan stasiun ini. Dulu stasiun ini adalah tempat kerja pertamanya semenjak diterima sebagai pegawai PJKA. Kurang lebih delapan tahun Kung mengabdi di stasiun ini, sebelum akhirnya dipindahkan tugas di kota lain.
“Kung, bentuknya lucu ya?” aku menunjuk beberapa lingkaran yang berada di tembok sebelah atas.
“Memang begitu bentuknya, beberapa stasiun yang dibangun jaman Belanda dulu juga begitu bentuk ventilasinya.”
Kung pernah bercerita, dulu ada kereta uap yang hilir mudik melalui stasiun ini. Kalau orang dulu menyebutnya “sepur grenjeng”. Kereta uap yang beroperasi dari Yogyakarta sampai Kutoarjo saja. Kereta itu penumpangnya kebanyakan para pedagang atau pelajar, maklum jaman dulu bis belum banyak. Kung waktu itu bertindak sebagai pengatur perjalanan kereta api di stasiun ini. Itu lho yang membawa tongkat yang ujungnya berbentuk bulat yang berwarna hijau dan memakai topi warna merah.
Karena pekerjaannya itu Kung sering melihat banyak orang yang naik turun di stasiun ini. Kata Kung rata-rata mereka selalu tersenyum ketika melihat kereta datang. Ada yang tersenyum karena akan segera bertemu dengan saudara atau keluarga yang sudah lama tidak bertemu, Ada yang tersenyum karena ada harapan dagangannya akan terjual hari ini, ada yang tersenyum karena akhirnya ada kereta untuk pergi ke sekolah dan masih senyum yang lain.
“Pasti Kung gagah banget waktu itu ya?” aku berdiri menirukan gaya seorang pengatur perjalanan kereta api dengan sandal di tangan kiri ku.