Tangannya mulai gemetar karena sedari siang tadi perutnya belum terisi makanan. Cuaca dingin menambah perutnya semakin meronta-meronta. Suasana ruangan dimana ia berada kini sudah sepi. Di sudut ruangan hanya ada dua orang temannya yang sedang lembur menyelesaikan desain yang harus dipresentasikan besok.
“Hufft…akhirnya selesai juga.” Dira meregangkan kedua tangan di atas kepalanya.
Pandangannya ia buang jauh ke jendela, pemandangan kota di malam hari dari atas memang selalu menakjubkan. Dira sering berpikir kenapa keindahan kota ini hanya bisa ia nikmati ketika malam hari dan dari atas saja. Kalau siang hari, panas, macet, belum lagi kesemrawutan kota yang membuatnya jengah. Delapan empat puluh lima angka yang tertera ketika Dira menengok jam di pojok bawah monitornya.
Kota ini telah banyak mengubah hidup Dira. Beberapa tahun lalu, tepatnya sembilan tahun lalu Dira merasa dunianya terbalik. Rasanya Tuhan terlalu jahat kepadanya. Hal itu bermula dari kecelakaan yang menimpanya ketika satu sedang menumpangi sebuah angkot untuk menuju sebuah pertandingan taekwondo. Kecelakaan itu membuatnya tidak bisa tampil di final dan yang juga merenggut nyawa ibunya yang ikut mengantarnya. Dunianya begitu cepat Tuhan balikkan. Bahkan sesaat sebelum kejadian itu ia masih melihat ibunya tertawa. Terlebih itu adalah pertama kalinya ia menginjakkan kakinya di kota ini. Kota yang dengan cepat mengubah hidupnya.
Waktu yang sudah malam membuat Dira menerima tawaran temannya untuk pulang bareng.
“Salut aku sama kamu.” Ardi membuka obrolan ketika mobilnya mulai membelah jalan yang masih ramai.
“Sudah, aku tetap tidak akan membayar untuk tumpangan malam ini.” Tawa Ardi pecah mendengarnya. “Sialan, aku ngomong beneran ini. Kadang aku merasa malu lho sama kamu, semangatmu sepertinya nggak ada habisnya. Memangnya apa sih yang kamu cari Dir?”
“Emm….kalau ditanya apa yang aku cari, aku juga nggak tahu.” Dira mengangkat bahunya
“Terus?”
“Aku sih sekarang lebih ke menggunakan kesempatan yang aku punya sebaik-baiknya. Kan kamu tahu sendiri aku seperti apa?”
Ardi hanya manggut-manggut kembali fokus dengan kemudi dan jalan di depannya.
*8*
Hari ini adalah hari dimana wanita yang duduk disampingnya di dalam angkot itu, tidak mampu tersenyum padanya lagi, tidak mampu menggenggam erat tangannya lagi. Dira sudah mengirim pesan singkat pada Ardi bahwa ia akan masuk kerja agak siang. Ia harus ke makam ibunya terlebih dulu. Seperti biasa, sebelum ke makam, Dira selalu menyempatkan membeli setangkai bunga lily kesukaan ibunya.
Dari jalan masuk makam, deret ke delapan nisan ke enam. Dengan nisan keramik berwarna hijau muda. Dira segera duduk disamping nisan itu, menaruh setangkai lily yang dibawanya. Tertunduk khusyuk memanjatkan doa. Setelahnya dibasuh nisan itu dengan sebotol air mineral yang sengaja ia bawa dari rumah. Pagi masih enggan beranjak, mendung. Dira masih asik duduk-duduk menikmati semilirnya angin di makam yang terasa sejuk.
Dia adalah ibunya yang paling semangat mengantar Dira mengikuti berbagai kejuaraan taekwondo. Bahkan di luar kota pun ibunya akan setia mengantar anak perempuan sulungnya itu. Saat itu adalah kejuaraan nasional. Ayah Dira memang tinggal di kota ini untuk bekerja, hanya sebulan atau dua bulan sekali pulang ke kota dimana Ibu, Dira dan adik lelakinya tinggal. Pagi itu semua sudah dipersiapkan. Pertandingan akan dimulai jam satu siang. Dira dan Ibu menaiki angkot menuju tempat pertandingan. Namun, Tuhan tidak pernah memberitahukan rencanaNYA. Dira dan Ibu tidak pernah sampai ke tempat itu.
Dering telpon mengagetkannya. “Kamu gila ya jam segini belum sampai juga di kantor?” suara di seberang langsung menyahut begitu tombol hijau digeser.
“Hahaha..tenang Ar, kan kamu bisa presentasikan designmu dulu. Baru setelah itu giliranku.”
“Ingat ini kesempatanmu”
“Iya… baiklah aku ke sana sekarang.”
Perlahan Dira berjalan keluar dari area makam. Jam sudah menunjukkan pukul satu lebih dua puluh menit. Tiga jam berada di dekat makam ibunya terasa sebentar. Terkadang makam ibunya adalah tempat untuk melegakan hatinya. Harusnya dia bergegas karena hari ini adalah penentuan untuk hasil kerja lemburnya selama sebulan ini, namun kakinya terhenti ketika dia melewati sebuah taman. Ada sekumpulan anak-anak dengan seragam putih-putih sedang berlatih taekwondo.
Senyum mengulas di bibir Dira, kenangan akan cita-cita masa kecilnya muncul lagi. Sekian menit Dira menikmati pemandangan itu, hingga akhirnya dia tersadar ketika seorang ojek online menyapanya.
“Mbak Dira bukan?”
“Ehh..iya mas. Langsung aja ya Mas, saya sudah terlambat nih.”
Dengan sedikit bantuan dari pengemudi ojek online, Dira pun membonceng dan ojek pun meluncur menuju kantornya. Di perjalanan Dira sempat terbayang anak-anak yang sedang berlatih lagi, bibirnya tersenyum, tangan kirinya memegang paha kanannya. Andai saja. Ya, karena kecelakaan itu Dira kehilangan kaki kanannya.
Setelah presentasi selesai, Dira masih sibuk merapikan dokumennya saat Ardi mendekat “Maaf ya Dir, aku nggak bisa membantu banyak sehingga idemu belum bisa dipakai di proyek ini.”
“Tenang Ar, kan kata pak Malik tadi aku masih punya kesempatan. Artinya aku masih ada kemungkinan untuk memenangkannya. ” Dira tersenyum
Ardi terdiam menatap perempuan di depannya. Meski berdiri dengan satu kaki dibantu dengan tongkat, namun dia belum pernah melihatnya muram, semangatnya seakan nggak pernah habis.
“Keajaiban itu bukan untuk ditunggu, tapi diciptakan.” Itu kata-kata yang selaluu terngiang di benak Ardi ketika awal mengenal Dira. Perempuan yang diam-diam menyita perhatiannya.
Kota Istimewa, 08092016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H