“Ayolah Nai, buka hatimu.”
Bagi Naisha, pernikahan bukan lah sebuah lomba. Dimana dia harus berkejaran dengan umur. Pernikahan juga bukan sebuah jawaban untuk orang-orang yang selalu sibuk bertanya “kapan kamu nyusul?” Pernikahan adalah sebuah kerja sama abadi antara dua orang. Dan selama lima tahun kesendiriannya ini, Nai harus bisa menghadapi pertanyaan klasik itu. Selalu saja seperti itu tiap kali dia pulang.
“Maaf, ini kursi saya.” Lamunan Nai buyar ketika seorang lelaki dengan kulit sawo matang berkacamata menghampiri tempat duduknya.
“Ohh..maaf.” Hati Nai berdegup kencang ketika pandangan mata mereka bertemu.
_
Acara resepsi sudah dimulai sejak satu jam yang lalu. Nai yang memang harus berada di tempat itu sampai acara selesai, kali ini dress kebaya warna hijau muda membalut tubuhnya. Nai yang tidak terlalu suka dengan tempat ramai memilih untuk memilih meja yang agak jauh dari pelaminan.
“Maaf bisa ikutan duduk di sini, sepertinya yang lain sudah penuh.” Seorang lelaki berpakaian batik mendekati mejanya.
Naisha menoleh “Loh..kamu kan ?” sedikit terkejut melihat lelaki yang berada di depannya adalah teman seperjalanannya kemarin.
Lelaki yang bertubuh tinggi itu tersenyum. Nai tampak berbeda dengan dandanan dan kebayanya. Cantik. Perasaan aneh menghinggapi hati keduanya.
Ketika satu pertanyaan terjawab, artinya petualangan baru akan dimulai. Dan dalam petualangan baru itu akan ada pertanyaan lain selanjutnya. Dan semua itu akan terus ada selama kamu masih hidup. Takdir berjalan seperti seharusnya. Bukan hasil dikte kemauanmu dan juga kemauan orang lain. Tetap saja melangkah.