Mohon tunggu...
septiya
septiya Mohon Tunggu... Administrasi - jarang nulis lebih sering mengkhayal

Penggemar pisang goreng ^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Athazagoraphobia

25 Januari 2016   12:20 Diperbarui: 25 Januari 2016   23:25 647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="pixabay.com"][/caption]Lalu apa yang akan kamu lakukan ketika ketakutan- ketakutan itu hanyalah ilusimu. Rasa yang kau buat-buat sendiri. Rasa yang kau bangun dari kenangan-kenangan pahit.

Hatimu berdebar, namun bukan debar untuk sebuah kebaikan bagimu. Hal yang tidak kau suka mungkin akan terjadi. Kau pejamkan mata, tak satu kata keluar dari bibirmu. Memaksamu untuk mengakhiri percakapan sore itu dengan sahabatmu. Lebih baik seperti itu, itu menurutmu sore itu. Telingamu saja tak akan sanggup mendengar jika kata-kata itu benar-benar keluar dari mulutnya, lalu apa kabar hatimu setelah itu?

“Aku tidak apa-apa, hanya aku harus menyelesaikan sesuatu sekarang.” katamu mengelak

Kalimat itu yang mengantarmu untuk pergi dari kedai SEMESTA. Menyisakan setengah gelas ice cappuccino di mejamu.

Usahamu untuk membuang rasa tak nyaman sepanjang perjalanan pulang itu nyatanya nihil. Sungguh menerka-nerka apa yang akan terjadi itu justru membuatmu semakin bingung.  Berpura-pura semua baik-baik saja, sementara isi kepalamu berkecamuk penuh pertanyaan.

Kejadian seperti ini bukan satu dua kali terjadi. Jika kau sudah menghubung-hubungkan satu kejadian ditambah ketakutan dari dirimu sendiri. Entah seberapa kuat ketakutan itu bersembunyi di dalam dirimu. Nyatanya dia mampu membuat hatimu berdebar, membuat buruk suasana, bahkan lebih parahnya, seakan mampu membuat rongga di hatimu. Yang tentu saja itu membuatmu sama sekali tidak nyaman.

Ketika rasa itu tak lagi bisa kau kendalikan, kau harus juga meminta jawaban. Kau mencari satu nama di handphone. Menghela napas panjang sebelum tombol dial kau tekan.

“Sedang apa? Apa hari ini sibuk?” hanya itu yang mampu terucap. Dalam sepersekian detik sebelum jawaban kau terima ada harapan bahwa semua akan baik-baik saja.

“Lumayan, tapi semua masih teratasi.”

Datar. Jawaban darinya memang menjawab pertanyaanmu. Basa basi mu lebih tepatnya. Namun nada yang keluar begitu datar. Dan juga tidak ada pertanyaan balikuntuk darinya.

Hatimu kembali berdebar, bukan debar yang menyenangkan layaknya muda mudi yang jatuh cinta.

“Apa kamu marah dengan ucapanku kemarin lusa?” telisih mu lirih

“Ucapan yang mana?” Kau tahu benar gayanya dengan bertanya balik seperti itu memang kebiasaannya. Itu adalah caranya untuk memastikan bahwa kau memang tahu dan sadar dengan apa yang kau lakukan itu salah.

“Soal tawaran kerja itu.”

Cukup lama dia diam hanya suara musik yang dia putar. Mungkin itu dari laptopnya.

“Aku tidak ingin menjadi bagian dari ketakutanmu itu. Aku tidak ingin menjadi sama dengan orang yang membuatmu memiliki ketakutan itu bertahun-tahun. Aku tidak ingin”

DEGGG...

Hatimu seperti teriris. Di satu sisi kau tidak ingin dia pergi. Di sisi lain kau tidak ingin menjadi penghalang cita-citanya.

____________________________________________________________________________________

Kedai SEMESTA dua hari sebelumnya

Kau datang dengan baju warna putih berbalut vest warna abu-abu bergaris. Hari ini kau dan dia janjian untuk bertemu jam 5 sore. Pasti ada yang sesuatu yang special kali ini. Itu kau tahu dari nada dia di telepon yang kau terima pagi tadi.

“Sudah lama?’ Maaf ya TransJogja-nya lama.”

Dia sudah memesan segelas jus jambu kesukaannya. Seulas senyum tersemai dari bibirnya ketika kau duduk di hadapannya.

“Coba tebak? Aku ada kabar apa?” Wajahnya sumringah, ditambah sorot matahari mengenai wajah berkulit sawo matang itu. 

“Apa? apa? Pasti kabar menyenangkan?” Kau melipat tanganmu di atas meja antusias mendengar ceritanya. Tak lupa senyum kau sunggingkan di pipi.

“Aku dapat tawaran pindah ke Kalimantan. Ke kantor pusat di sana”

DEEGG…

Perlahan senyum itu menciut. Apa ini? Apa ini kabar menyenangkan itu? Apa ini yang membuatnya pagi-pagi menelponmu tadi? Di mana tadi ? Kalimantan ?

Hatimu berdebar, tubuhmu berkeringat, perutmu terasa mual. Wajahmu tertunduk, tangan kananmu mengepal untuk menahan rasa sakit itu.

“Kamu kenapa?” dia mengenggam tangan kiri mu. Wajah khawatir terlihat jelas.

“Kenapa kau ingin bertemu denganku jika kau akan pergi ? Apa…apa …sebuah perpisahan harus dirayakan seperti ini?”

Air matamu tumpah, meluncur bebas menuruni kedua pipimu. Sementara tanganmu bergetar. Ketakutan ditinggalkan dan dilupakan itu menguasai hati dan pikiranmu. Lemah. Kau terduduk lemah. 

 

*athazagoraphobia : ketakutan ditinggalkan dan dilupakan

Ilustrasi: pixabay.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun