“Hah, kamu itu nggak romantis.”
Kamu terduduk dengan wajah yang kamu palingkan dariku. Aku tertawa kecil melihat ekspresi marahmu yang menurutku malah membuat wajahmu terlihat menggemaskan. Hal kecil, aku yang tertidur pulas tak menghiraukan telpon darimu.
“Sudahlah, jangan marah. Iya, aku nggak romantis. Kan kamu katanya yang romantis.”
“Kan kalau semalam momennya dapet. Apalagi pas jam 12 teng”
Aku menahan senyum melihat bibirmu yang manyun. Pasti kamu akan semakin marah kalau melihatku tersenyum.
“Coba bikinin puisi buat aku.” tantangku
“Aku kan nggak bisa kalau puisi, kamu kan tahu.”
Ganti aku yang diam mendengar penolakanmu. Aku membiarkanmu sibuk dengan handphonemu. Sesekali kamu melihat ke atas. Aku menebak kamu memikirkan sesuatu.
Beberapa menit kemudian, kamu mendekat. Ditunjukkan sebuah note di handphonemu.
“aku adalah aku, tanpamu aku hanyalah bongkahan kerikil yg tak pelak digubris saat mereka berjalan atau sekedar di pungut untuk melempar gonggongan anjing. Hingga saat itu tiba, masa dimana hadirmu datang mengulurkan tanganmu, memilihku dari milyaran kerikil di muka bumi ini, mengadopsi diriku meletakan posisiku setara diantara bongkahan batu raksasa.”
“Jelek ya ?” wajahmu penasaran setelah aku selesai membacanya.
Aku tersenyum.
“Tidak ada yang jelek, selama itu karya sendiri.”
Matamu berbinar, lengkungan senyum menghias wajahmu. Ahh, melihatmu tersenyum itu kado terindah untukku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H