Mohon tunggu...
Septin Puji Astuti
Septin Puji Astuti Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Tidak ada yang lebih istimewa selain menjadi ibu dari empat anak

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pasien Kelas 1 Ditinggal Dokter Saat Melahirkan

28 November 2013   19:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:34 6941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya kejadian ini sudah berlangsung lama. Tepatnya 15 Mei 2007. Kejadian ini saya alami sendiri ketika melahirkan anak kedua kami. Waktu itu kami di tinggal di pinggiran kota dekat Solo, di Kartasura.

Pagi-pagi ketika akan berangkat ke kantor, sebenarnya sudah terasa kontraksi. Tetapi karena usia kandungan saya masih 7,5 bulan, saya memutuskan untuk istirahat di rumah saja. Hingga sore hari, ternyata kontraksi tidak kunjung berhenti. Kami akhirnya memutuskan pergi ke dokter jam 5 sore.

Sebenarnya kami punya dokter kandungan langganan. Beliau waktu itu adalah dokter perempuan yang dikenal baik dan bagus di Solo. Tetapi sayang sekali, sekitar sebulan sebelumnya Bu Dokter saya malah sakit jantung. Tempat praktiknya juga jauh dari tempat tinggal kami, yaitu di tengah-tengah kota Solo. Daripada jauh-jauh, kemudian saya dan suami akhirnya langsung saja memutuskan datang ke Rumah Sakit terdekat yang kabarnya baru saja ada dokter kandungan perempuan.

Saya datang ke Rumah Sakit sekita pukul 5 sore bersama suami saya. Setelah urus administrasi saya langsung ke Ruang Bersalin. Saya waktu itu memilih kelas 1 dengan pertimbangan ada tempat tidur yang nyaman buat yang menunggui saya. Karena kami tinggal jauh dari orang tua kami, sementara itu waktu itu kami punya anak berumur 2 tahun. Belum lagi nanti bapak dan ibu kami yang sudah tua yang akan datang ke Solo. Jika saya terpaksa menginap lama, pastinya beliau ingin menunggui di Rumah Sakit. Sangat kasihan kalau beliau semua berniat nunggui saya tapi tidurnya di luar, sementara saya enak-enakan tidur di kasur. Jadi supaya yang nunggui saya juga tenang dan nyaman, saya pilih kelas satu saja.

Ketika ditanya menggunakan jasa dokter atau bidan, kami memilih dokter saja karena sebelumnya saya pernah melahirkan anak prematur. Saat kejadian ini kandungan saya masih 7,5 bulan. Jadi ya untuk siap-siap saja menggunaan dokter.

Tidak lama setelah saya di Ruangan Bersalin, Bu Dokter datang. Dokternya masih muda. Kemudian saya diajak ke Ruang USG. Nah, saat di USG ini kelihatan kalau dokternya masih baru. Ceritanya, saat akan menyalakan USG dokternya masih kebingungan. Waktu itu saya diam saja tidak berani ngomong apapun, takut menyinggung Dokter. Tapi ternyata kok lama juga belum bisa meng-on-kan USG, saya sambil menahan rasa sakit karena kontraksi akhirnya kasih saran untuk melihat apakah saklar listriknya sudah on atau belum. Ternyata benar, saklar listrinya masih off, makanya USG dipencet tombol on berkali-kali gak bakalan menyala. Saat USG itu tiba-tiba telpon berbunyi. Sepertinya waktu itu ada janjian dengan seseorang. Tetapi karena masih menangani pasien, Bu Dokter menangani saya dulu. Mungkin karena suami was-was dokter akan meninggalkan Rumah Sakit, suami mulai tanya-tanya perkiraan lahirnya kapan kalau sudah bukaan sekian. Bu Dokter menjawab dengan ketus dan mengatakan hal itu tidak bisa diprediksi secara matematis karena bisa jadi lahirnya masih lama sekali dan bisa jadi lebih cepat. Kami pikir dokternya sudah memperkirakan akan hal itu, makanya kemudian kami diam dan berharap semoga jika Bu Dokter keluar Rumah Sakit masih mempertimbangkan saya.

Setelah periksa USG kami kembali ke Ruang Bersalin. Bu Dokter kemudian keluar ruangan. Tidak lama kontraksi semakin menjadi karena memang ketika kami datang sudah bukaan 2. Bidan kemudian periksa jantung anak yang kondisinya waktu itu baik-baik saja. Waktu terus berjalan, kontraksi makin terasa. Saya tidak melihat dokter datang atau mempersiapkan persalinan. Hingga saatnya saya sudah tidak tahan lagi menahan sakit. Bidan mulai memeriksa dan terlihat panik karena dokter juga belum terlihat di Rumah Sakit. Saya dengar dari jauh bidan sedang menelepon dokter. Ternyata dokter di luar Rumah Sakit. Dokter meminta bidan untuk memintakan tanda tangan untuk operasi. Saya waktu itu belum tahu mengapa operasi. Bidannya juga berlarian jadi tidak bisa menjelaskan ke kami mengapa harus operasi. Hingga akhirnya tidak ada seorangpun di ruangan, sementara saya kesakitan luar biasa sambil ditemani suami. Sampai akhirnya suami saya minta memanggil bidan-bidan itu. Suami keluar ruangan menuju resepsionis terdekat, tidak menemukan siapapun. Ya memang waktu itu malam. Mungkin saja sedang istirahat. Tapi dari tadi kan sudah tahu kalau saya mau melahirkan. Kemudian suami lari ke tempat lain dan ketemu satpam yang akhirnya ikut membantu mencari bidan. Suami akhirnya kembali ke ruangan dan saat itu sakit sudah tak tertahankan. Hingga akhirnya saya merasa sudah melahirkan. Saat itulah bidan berlarian datang ke kami. Tapi sayang yang keluar bukan bayi, tetapi tali pusat. Kemudian bidan-bidan itu segera membantu anak saya keluar. Alhamdulillah anak saya keluar pas dokter datang sambil dokternya bilang, "Lho kok iso ngene". Tapi sayang sekali anak saya sudah tidak menangis ketika lahir. Rupanya gara-gara plasenta keluar dulu anak saya tidak tertolong.

Saya waktu itu tidak bisa berfikir apa-apa. Saya tidak terbiasa langsung menyalahkan orang. Makanya saya lebih evaluasi diri dulu. Tetapi apapun itu, saya melahirkan di Rumah Sakit, tetapi tidak dibantu sama sekali oleh dokter yang pada waktu itu entah kemana. Andaikan saya bisa mengatur dunia ini dan memempunyai kekuatan luar biasa, mungkin saya bisa menahan lahirnya anak saya hingga dokter datang. Tapi apa daya, saya saya tidak punya itu semua. Saya menuntut? Ya, ada teman-teman yang memang menyarankan jika mau memperkarakan itu bisa dilakukan. Tetapi pagi harinya, bapak saya mendekati saya dan nuturi saya, "Nduk, pasrahke wae anakmu yo. Insya Allah itu simpenanmu di akhirat. Ndonga wae sing akeh." (Nduk, pasrahkan saja anakmu ya. Insya Allah itu simpananmu di akhirat kelak. Berdoa yang banyak saja). Saya dituturi bapak saya langsung diam saja dan nurut.

Setelah itu, saya tetap membayar biaya persalinan dan Rumah Sakit. Kalau untuk kamar dan lain-lain sih tidak masalah. Tetapi masalahnya tertera jelas di slip tagihan, biaya dokter untuk persalinan saya,  karena saya ambil kelas 1, adalah 800 ribuan. Sementara bayaran bidan yang menolong saya tidak lebih dari 100 ribu. Padahal dokter tidak membantu saya sama sekali. Hanya USG yang itu di slip tertera jelas bayarannya di luar 800 ribu. Ya mungkin bayaran tinggi itu kaitannya dengan resiko sebagai dokter kandungan yang memang resikonya besar. Tapi yang kena dampak dari resiko kan saya, sedangkan dokter tidak membantu persalinan saya. Ah saya tidak tahu bagaimana logika berfikir dokter itu.

Itu kejadian sekitar enam tahun lalu, enam bulan setelahnya saya hami lagi tetapi saya tidak kembali ke Rumah Sakit itu pun tidak datang ke dokter itu. Saya pindahke dokter kandungan perempuan lain, yang dulu terkenal sebagai pengganti dokter saya yang sakit jantung itu.

Selama di dokter yang baru, jelas pelajayanannya baik. Saya melahirkan jam 2 dini hari, sejak jam 8 malam ketika saya datang ke Rumah Sakit, bu dokternya sudah siap di Rumah Sakit. Alhamdulillah anak ketiga lahir dengan selamat.

Anak keempat saya masih menggunakan dokter yang sama dengan anak ketiga. Anak keempat ini ketika lahir kasusnya juga plasentanya menumbuk (plasenta previa). Tetapi dokternya menunggui terus. Saya datang ke Rumah Sakit jam 12 malam. Sampai di Rumah Sakit dokter sudah datang dan langsung periksa. Sebelum subuh, dokter menjenguk saya lagi padahal kelihatan baru bangun tidur. Pagi harinya, jam 8 pagi, dokter menjenguk saya lagi. Tapi kali ini dokternya sudah cantik dan wangi. Jam 11 siang mulai siap-siap melahirkan.

Saat itu baru ketahuan kalau tali pusat menumbuk. Sahabat saya yang waktu itu menggantikan suami untuk menunggui saya, diminta Bu Dokter untuk menyaksikan bahwa memang plasentanya menutupi jalan lahir. Tidak lama, atas persetujuan saya teman saya diminta menandatangani untuk operasi. Saat bidan menyiapakan ruang operasi, bu dokter tetap bersama saya menyelesaikan masalah tali pusat yang tidak sabar keluar itu. Alhamdulillah atas kelihaian dokter, anak saya lahir dengan selamat. Plasentanya bisa keluar terakhir setelah anak saya lahir.

Dari sini kelihatan sekali mana dokter yang bekerja dengan baik dan tidak. Kebetulan juga, dokter yang terakhir ini dokter yang masih muda yag sudah berpengalaman. Sementara dokter anak kedua saya, dokter yang baru praktik di Rumah Sakit masih dua bulan. Kalau hitungan saya, usianya tidak jah dari saya. Ya, masih muda.Kabarnya lagi dokter ini anak dari pasangan dokter terkenal di kota tetangga. Bapaknya dokter spesialis kandungan ternama. Makanya wajar jika di usia muda si dokter ini sudah bisa spesialis. Tetapi apakah penting muda atau tidak bagi dokter? Dokter itu yang penting praktek dan paham bagaimana mengatasi pasien dalam keadaan darurat dengan melalui prosedur yang benar. Jadi, pandai saja masih kurang cukup.

Terkait dengan dokter yang demo, seharusnya para dokter menjadikan kasus dipidanakannya tiga dokter di Manado itu adalah sebagai bahan evaluasi. Evaluasi tidak hanya dari perspektif mereka sendiri, tetapi juga perspektif masyarakat juga. Jika menuntut gaji bukannya selama ini gaji dokter sudah mencukupi? Kalau masih kurang, bukannya dokter mendapat fasilitas gratis terkait dengan masalah kesehatan? Itu semua kompensasi atas segala kerja keras dan resiko sebagai dokter, bukan?

Jika ada dokter yang demo yang kabarnya menuntut 'dibebaskannya' tiga rekan sejawatnya atas putusan MA kok sepertinya tidak layak. Apalagi untuk memutuskan itu MA menggunakan saksi ahli yang tentu saja ahli di bidang kedokteran. Hal ini semakin menunjukkan dunia kedokteran kita memang tidak siap untuk melakukan perbaikan. Padahal bagi kami, sebagai pasien dan calon pasien ini, akan merasa lebih tenang jika melihat dunia kesehatan kita sedang bersih-bersih oknum-oknum dokter yang tidak beres. Ini bukan berarti kami senang melihat orang susah, tetapi kami butuh jaminan keamanan dan keselamatan ketika kami berhadapan dengan dokter. Mungkin hanya itu saja harapan saya, orangtua yang pernah kehilangan anak atas kelalaian dokter. Jika kami yang sudah menjadi korban ini tidak menuntut apa-apa, kok tega sekali ara dokter lainnya membela orang-orang yang melakukan kelalaian? Apakah karena kami bukan dokter yang kebanyakan dianggap orang gak pinter kemudian tidak layak untuk dibela? Wallahu a'lam hanya Tuhan dan para dokter sendiri yang tahu jawabannya.

Apapun itu, saya sangat berharap dunia kesehatan kita semakin baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun