Dalam surat ini dijelaskan bahwa, salah satu tahap yang bisa di lakukan suami ketika menghadapi istri yang nusyuz adalah dengan memukul istri, tetapi dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Namun, pembolehan memukul dalam ayat ini tidak sedikitpun menghendaki kekerasan terhadap istri. Islam menganggap bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi dikalangan Muslim ini tindaklah bersumber dari ayat al-Qur’an (surat an-Nisa’ ayat 34). Laki-laki yang memukul istri mereka untuk tujuan mengembalikan keharmonisan rumah tangganya, berarti dia belum bisa membaca kehendak al-Qur’an yang sesungguhnya. Dengan begitu mereka tidak dapat merujuk pada Q.S. an-Nisa’ ayat 34 sebagai pembenar tindakan mereka. Menurut Sayid Quthb bahwa manhaj Islam tidak menunggu hingga terjadinya kekerasan terhadap istri secara nyata, melainkan perlu segera dipecahkan ketika kekerasan terhadap istri ini baru pada tahap permulaan, sebelum menjadi berat dan sulit.
Terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dapat disebabkan oleh berbagai faktor, selain dipengaruhi oleh faktor dari luar atau lingkungan, dapat juga dipicu karena adanya faktor dari dalam diri individu itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari kasus-kasus yang pernah terjadi dan ditangani oleh lembaga bantuan hukum. Menurut Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga (LKBHuWK), penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dapat digolongkan menjadi 2 (dua) faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal
Faktor internal menyangkut kepribadian dari pelaku kekerasan yang menyebabkan ia mudah sekali melakukan tindak pidana kekerasan bila menghadapi situasi yang menimbulkan kemarahan atau frustasi. Kepribadian yang agresif biasanya dibentuk melalui interkasi dalam keluarga atau dengan lingkungan sosial di masa kanak-kanak. Faktor eksternal adalah faktor-faktor di luar diri pelaku kekerasan. Mereka yang tidak tergolong memiliki tingkah laku agresif dapat melakukan tindak kekerasan bila berhadapan dengan situasi yang menimbulkan frustasi misalnya kesulitan ekonomi yang berkepanjangan, peyelewengan suami atau istri, keterlibatan anak dalam kenakalan remaja atau penyalahgunaan obat terlarang dan sebagainya.
Sanksi pidana yang diterapkan pada tindakan KDRT meliputi penjara atau denda sebagaimana sesuai dengan fungsi utama penerapan hukuman dalam Islam yaitu efek jera dan ta'dib (pembelajaran). Namun, dalam penerapannya masih terdapat beberapa hal yang bertentangan dengan tujuan hukuman itu sendiri. Sebagai contoh, suami yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga yang miskin, apabila suami harus dipidana atau didenda dengan putusan hakim, maka hal tersebut akan menghilangkan sumber nafkah keluarga dan memperparah ekonomi keluarga. Begitu juga dengan sanksi denda yang harus diserahkan ke negara.
Sanksi pidana kekerasan dalam rumah tangga adalah hukuman ta’zir yang dijatuhkan atas dasar kebijakan hakim, karena tidak dijelaskan dalam al-Qur’an ataupun Hadist, sehingga keberadaannya diserahkan kepada penguasa yang berwenang untuk memberikan hukuman. Hukuman ta’zir ini berbeda dengan hukuman lainnya seperti pembunuhan, perzinahan, pencurian dan lainnya yang penjelasannya terdapat dalam hukum Islam.
Sanksi hukuman bagi pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Ancaman Hukuman Kekerasan dalam Rumah Tangga berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 juga dijelaskan sanksi atau hukuman bagi pelaku KDRT, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Bagi pelaku kekerasan fisik pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak 15 juta.
2. Bagi pelaku kekerasan psikis pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak sembilan juta.
3. Bagi pelaku kekerasan seksual ancamannya adalah pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak 36 juta.
4. Bagi pelaku penelantaran rumah tangga pidana penjaga paling lama tiga tahun atau denda paling banyak 15 juta.
Pemberlakuan hukuman ta’zir ini diharapkan dapat memberi efek jera kepada para pelaku kekerasan sehingga tidak mengulangi kembali perbuatannya tersebut, serta dapat meminimalisir terjadinya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Penulis:
1. Nabila Septiara (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang)
2. Dr. ira Alia Maerani,SH.,MH. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H