Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia serta merupakan suatu tindakan yang merendahkan martabat kemanusiaan dan bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. KDRT juga menjadi salah satu penyebab rusaknya kebahagiaan orang yang hidup berumah tangga. Kekerasan bisa terjadi antar sesama pasangan atau kekerasan orang tua terhadap anak.
Rumah tangga seharusnya adalah tempat berlindung bagi seluruh anggota keluarga, akan tetapi pada kenyataannya, justru banyak rumah tangga menjadi tempat penderita dan penyiksaan karena terjadi tindakan kekerasan. Motif tindak kekerasan dalam rumah tangga banyak disebabkan karena ketidakharmonisan suatu hubungan dalam keluarga, permasalahan ekonomi, komunikasi tidak lancar, perselingkuhan, perbedaan prinsip, campur tangan pihak keluarga dan sebagainya.
Tindak kekerasan di dalam rumah tangga atau domestic violence merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan).
Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat, sebanyak 25.050 perempuan menjadi korban kekerasan di Indonesia sepanjang 2022. Jumlah tersebut meningkat 15,2% dari tahun sebelumnya sebanyak 21.753 kasus. Menurut usianya, 30,3% perempuan yang menjadi korban kekerasan berusia 25-44 tahun. Ada pula 30% perempuan yang menjadi korban kekerasan berusia 13-17 tahun. Dilihat dari tempat kejadian, 58,1% kekerasan terhadap perempuan terjadi di lingkup rumah tangga.
Di dalam Pasal 1 angka 1 UU PKDRT mendefiniskan "Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga."
Pasal 2 UU PKDRT menegaskan bahwa ruang lingkup dari undang-undang ini tidak hanya terhadap perempuan, tetapi pihak-pihak sebagaimana di bawah ini:
1. Suami, istri, dan anak;
2. Orang-orang yang memiliki hubungan keluarga baik karena darah, perkawinan persusuan, pengasuhan, dan yang menetap dalam rumah tangga;
3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap di dalam rumah tangga tersebut.
Tujuan adanya UU PKDRT sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 4 UU PKDRT adalah;
- Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
- Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
- Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
- Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Menurut perspektif hukum pidana Islam, tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, terutama kekerasan fisik terhadap istri dalam UU PKDRT merupakan bagian dari perbuatan Jarimah yang dikelompokkan kejahatan selain jiwa (fisik), sehingga dimasukkan tindak pidana.
Dari sisi etika moral syari’ah yang didalamnya mengajarkan tentang kasih sayang dan amanah, tentu tindakan kekerasan terhadap istri sangat bertentangan dengan tujuan pernikahan, yakni membina rumah tangga yang aman, tentram dan damai yang melindungi tujuan-tujuan syari’ah.
Di dalam perkawinan tidak jarang antara suami istri terjadi perselisihan, seperti ketika istri nuyuz. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 34:
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا