Era teknologi saat ini, faktanya banyak membawa peningkatan dari ketersediaan sumber informasi secara siginifikan. Hal tersebut didukung dengan adanya peningkatan ketersediaan  koneksi internet dan juga aksesibilitas dari perangkat teknologi. Masyarakat sekarang tidak lagi mencari dan mengandalkan televisi serta media cetak yang ada untuk memperoleh berita, namun memanfaatkan banyak media sosial dan juga aplikasi-aplikasi berita secara daring.Â
Hal tersebut disupport dengan media sosial dan aplikasi daring yang dapat menyebar secara cepat dan didesain sehingga bisa meraih perhatian dari semua kalangan secara instan (Halawa & Lase, 2022).Â
Saat ini terlihat individu juga seakan-akan telah memberikan banyak ruang secara bebas mengenai fenomena deras nya gelombang dari adanya arus globalisasi yang telah masuk melewati teknologi, salah satunya ialah informasi.Â
Pengaruh globalisasi yang ada di era digital saat ini menjadikan era ini lama kelamaan menjadi era informasi palsu akibat semakin luasnya penyebaran informasi yang tidak terkendali. Kemudahan yang diberikan oleh era ini menjadikan individu bersifat lalai ketika ingin memilih informasi yang ada, seakan-akan nalar dari mereka perlahan lahan ditumpulkan oleh berbagai macam bentuk kemudahan oleh teknologi di era ini (Dinarti et al., 2024).
      Benar tidaknya informasi tersebut bukanlah menjadi perhatian saat ini oleh kebanyakan individu. Saat ini hal yang menjadi perhatian dan fokus oleh banyak individu justru menyangkut seberapa jauh berita atau informasi tersebut mampu menjadi tren dan viral sehingga banyak dibicarakan oleh banyak pihak (Kurniawaty et al., 2022).Â
Penelitian yang dilakukan oleh (Willfridus Demetrius Siga, 2023) menunjukkan bahwa sebanyak 60% dari responden menyampaikan bahwa adanya penyebaran informasi palsu atau berita hoax paling banyak sat ini ditemukan pada media sosial. Tak hanya itu, data yang berasal dari Kemenkominfo juga menyebutkan bahwa terdapat sekitar 800.000 situs-situas yang ada di Indonesia yang sudah terindikasi menjadi penyebar dari informasi palsu.Â
Kemudian dijelaskan kembali bahwa terdapat setidaknya 30% hingga 60% dari masyarakat Indonesia saat ini yang sudah terpapar informasi palsu atau hoax ketika mereka sedang mengakses dan juga berkomunikasi melalui digital pada saat ini, Data yang dikumpulkan melalui Masyarakat Anti Fitnah Indonesia, atau lebih dikenal dengan Mafindo yang juga melakukan kolaborasi dengan cekfakta.com, memperlihatkan persebaran jumlah informasi palsu di Indonesia dari tanggal 1 Januari  hingga bulan Novermber 2020 sudah mencapai hingga 2.024 kasus
      Kasus diatas, sejatinya memperlihatkan alasan-alasan mengapa era saat ini juga disebut sebagai era informasi palsu. Namun tak hanya data tersebut saja, terdapat beberapa kasus dari penyebaran informasi hoax yang sangat berdampak besar dan menimbulkan adanya kagaduhan besar, salah satunya yaitu kasus dari Ratna Sarumpaet.Â
Kasus tersebut pada dasarnya menyita banyak sekali perhatian dari publik bukan hanya pada kalangan umum melainkan hingga para elit politik. Seperti yang diketahui, Ratna Sarumpaet adalah salah satu dari aktivis sosial yang jika dilihat pada saat itu juga sedang menjadi anggota dari badan pemenangan nasional dari pasangan Prabowo dan Sandi.Â
Ratna tersebut telah diberitakan dikroyok hingga babak belur oleh sekelompok orang hingga pada akhirnya beliau di larikan ke rumah sakit.Â
Melihat hal tersebut pada akhirnya berita tersebut menjadi sangat tersebar luas, sehingga banyak dari kalangan masyarakat yang juga menyebarkan informasi tersebut melalui media sosial mereka tanpa memastikan kebenaran beritanya, hingga pada akhirnya kasus tersebut berhasil di ungkap melalui pihak kepolisian sebagai berita bohong di susul juga dengan pengakuan dari Ratna Sirumpaet (Pora et al., 2022).
Lalu, bagaimana dampak dari penyebaran informasi palsu atau hoax tersebut?Â
      Faktanya, hoax memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap berbagai macam aspek dalam kehidupan. Dalam (Lokananta & Herlina, 2018) dijelaskan bahwa adanya informasi palsu atau hoax dapat menimbulkan adanya konflik bagi banyak kalangan. Hoax sendiri sering sekali digunakan dengan tujuan untuk dapat memanipulasi berbagai macam opini publik yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakstabilan.Â
Informasi palsu yang sudah menyebar tersebut dapat dengan mudah mempengaruhi persepsi dari masyarakat mengenai isu atau individu yang kemudian mendorong terjadinya protes hingga kerusuhan (konflik).Â
Informasi palsu juga sering sekali dibuat agar dapat memecah belahkan masyarakat sekitar dengan upaya menghasut setiap kelompok. Adanya polarisasi tersebut pada akhirnya mampu memperdalam timbulnya perpecahan secara sosial, kemudian mengurangi perilaku toleransi hingga dapat meningkatkan bentuk permusuhan dalam kelompok (Pinardi & Darmawanti, 2023).
      Survei yang sudah dilakukan terkait wabah hoax nasional oleh Mastel atau Masyarakat Telematika Indonesia, mendapatkan hasil mengenai gambaran persepsi dari para masyarakat mengenai informasi palsu atau hoax.Â
Hasil tersebut diantaranya yaitu sebanyak 84,50% dari masyarakat merasa terganggu dengan kehadiran berita hoax, 75,90% berita hoax tersebut dapat mengancam kerukunan dari kehidupan bermasyarakat, 70,90% menjawab bahwa hadirnya berita hoax mampu menghambat segi pembangunan nasional yang ada di indonesia. Sebanyak 44,30% dari masyarakat merasa menerima adanya berita hoax di setiap harinya (Ginting, 2020).Â
      Berita hoax atau palsu pada dasarnya juga berdampak bagi kesehatan mental masyarakat. Saat individu mencoba langsung begitu saja percaya dan menerima adanya informasi palsu, hal tersebut daoat menimbulkan adanya trauma secara psikologis baik itu bersifat langsung maupun tidak langsung, kemudian informasi palsu yang diterima oleh individu juga pada akhirnya dapat menimbulkan kecemasan.Â
Dari sebuah studi yang sudah dilakukan tepatnya di University of California San Francisco, kebanyakan dari psikolog sepakat secara bersama menyampaikan bahwa hoax dapat memicu dampak buruk bagi kesehatan mental individu seperti halnya ialah Post-Traumatic Stress Syndrome atau dikenal juga dengan gangguan PTSD, kemudian juga menimbulkan rasa kecemasan hingga kekerasan. Psikolog tersebut juga menyampaikan bahwa orang-orang yang sudah terpapar hoax terlebih mengenai dirinya sendiri maupun orang terdekatnya bisa membutuhkan upaya terapi akibat rasa stress, kecemasan dan juga rasa kesepian yang menghampiri mereka (Nurfadilah, 2022).Â
Apa yang bisa dilakukan untuk melawan Hoax di era informasi palsu ini?Â
      Pemikiran kritis merupakan konsep berpikir yang harus diterapkan untuk melawan banyaknya berita hoax di era saat ini. Richard W. Paul bersama Linda Elder dalam buku critical thingking nya menjelaskan bahwa konsep berpikir kritis mampu membantu setiap individu untuk bisa menghadapi adanya perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan digital sehingga menjadi lebih nyaman ketika ingin mengambil keputusan.Â
Dalam buku yang mereka tulis, ia memperkenalkan konsep kerangka berpikir kritis dalam membantu para siswa untuk bisa menguasai dimensi berpikir yang mereka miliki melalui beberapa tahapan berupa identikasi bagian berpikir dan melakukan evluasi penggunaan bagian tersebut.Â
Hal tersebut dapat bertujuan untuk bisa meningkatkan penalaran individu melalui tiga element yang utama yaitu unsur penalaran, standar intelektual dan juga sifat intelektual. (Paul & Elder, 2020) menyebutkan bahwa berpikir secara kritis melibatkan pemikir dengan sadar berusaha untuk menganalisis isu atau permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi, oleh karenanya tentu dibutuhkan perilaku disiplin intektual untuk individu mau secara aktif dan mendalami proses memahami, menganalisis, dan juga mengevaluasi banyaknya informasi-informasi yang sudah diperoleh olehnya.
      Jika di kaitkan dengan konteks permasalahan hoax, maka berpikir kritis mengajarkan setiap individu untuk perlu membiasakan diri dengan menggunakan analisis kritis yang berfokus pada informasi, teks, opini, dan juga aspek sosial. Kemudian perlu adanya identifikasi lebih lanjut terkait dengan informasi yang beredar di era digital ini. Tak lupa untuk selalu mempertimbangkan berbagai macam hal secara lebih luas.
      Dalam buku pemikiran kritis & kreatif yang disusun oleh  (Susanti et al., 2020) dijelaskan bahwa dalam era globalisasi yang memunculkan peluang akan banyakan penyebaran informasi, manusia modern memerlukan keterampilan diri agar dapat bertahan hidup dalam memecahkan persoalan-persoalan secata bijak dan bisa melakukan komunikasi dengan baik.Â
Kata kritis sejatinya berasal dari bahasa yunani kuno yang memiliki arti sebagai: orang yang dapat memberikan pendapat disertai alasan atau disebut analisis, pertimbangan-pertimbangan nilai, bentuk interpretasi ataupun juga pengamatan. Seseorang yang sudah memiliki pemikiran kritis pada dasarnya mampu melihat banyaknya informasi sebagai bentuk bahan yang dapat dipertimbangkan sebelum di yakini begitu saja.
Hal tersebut juga didukung dengan penjelasan dalam buku Thinking Skill: Pengantar Menuju Berpikir Kritis yang ditulis oleh (Faiz, 2013) bahwa terdapat keterampilan-keterampilan yang ada untuk menuju proses berpikir kritis terlebih dalam upaya menangani hoax di era informasi palsu ini, Â keterampilan yang diperlukan tersebut ialah:
- Keterampilan dalam menganalisis
Merupakan bentuk keterampilan dimana individu akan menguraikan suatu struktur menuju komponen-komponen sehingga mengetahui bagimana pengorganisasiannya. Dalam hal ini tujuan pokok yang akan dicapai ialah dapat memahami bagaimana sebuah konsep secara global ataupun umum melalui menguraikannya secara terperinci.
- Keterampilan dalam melakukan sintesis
Merupakan bentuk keterampilan dimana individu mencoba untuk melakukan penggabungan bagian-bagian yang sudah menjadi sebuah susunan ataupun bentuk yang terbilang baru. Â Jika terdapat informasi mengenai suatu hal, maka dalam proses ini individu dapat menyatupadukan beberapa informasi-informasi lainnya yang didapatkan sehingga dapat memperkuat dugaan informasi tersebut.
- Keterampilan dalam memahami dan memecahkan informasi
Merupakan bentuk keterampilan dimana individu dapat memahami informasi dengan kritis dan menetapkan beberapa pikiran yang utama sehingga pada akhirnya dapat melahirkan bentuk-bentuk ide yang baru hasil dari adanya konseptualisasi.
- Keterampilan dalam menyimpulkan
Merupakan kegiatan yang berkaitan dengan akal pikiran dari seorang individu dengan berdasarkan pengetahuan (kebenaran) yang sudah didapatinya sehingga dapat mencapai pema pengetahuan ataupun kebeneran yang lainnya, dalam hal ini individu dituntut untuk bisa memahami banyaknya aspek dengan bertahap hingga dapat mencapai formula baru yaitu sebuah kesimpulan
- Keterampilan dalam mengevaluasi dan menilai
Merupakan keterampilan yang menuntut seorang individu untuk dapat memikirkan secara matang dalam menentukan nilai dari sebuah informasi. Dalam hal ini pada akhirnya seorang individu dapat memberikan sebuah penilaian dengan menggunakan standar dan argumen-argumen kebenaran dari hasil analisis yang sudah dilakukan.
Dalam buku panduan berpikir kritis menghadapi berita palsu (hoax) di media sosial yang ditulis oleh (Pratama et al., 2019), terdapat beberapa cara agar kita dapat melawan hoax dengan mendeteksi berita hoax tersebut, diantaranya yaitu:
- Melakukan pertimbangan sumber berita
- Melakukan cek penulis informasi atau berita yang beredar. Apakah mereka meyakinkan dan kredibel?
- Melakukan pengecekan tanggal. Memeriksa lebih lanjut apakah ini merupakan informasi atau berita lama yang kemudian di lakukan penyajian kembali
- Melakukan pengecekan bias pada diri sendiri. Mencoba untuk kembali refleksi apakah keyakinan yang ada dalam diri kita dapat mempengaruhi keputusan yang nantinya akan kita ambil setelah membaca informasi tersebut?
- Membaca informasi secara lengkap dan menyeluruh
- Mencari dan melakukan analisis terhadap sumber-sumber pendukung yang lainnya
Penjelasan diatas dapat menjadi hal yang diperhatikan oleh Sumber Daya Manusia di Indonesia mengingat masih minimnya upaya SDM kita dalam berpikir secara kritis terlebih dalam menghadapi isu-isu atau informasi palsu.Â
Hal tersebut juga dibuktikan dengan salah satu penelitian yang dilakukan oleh (Mastan & Sukendro, 2023) yang menunjukkan bahwa sebagian masyarakat yang ada di Indonesia belum sepenuhnya menerapkan pemikiran kritis. Hal tersebut disebabkan oleh 2 faktor berupa perilaku konformitas dan juga adanya framing media yang sudah diteliti melalui sosial media Folkative dan juga Indozone.id.Â
Banyak dari masyarakat Indonesia yang pada dasarnya cenderung untuk terprovokatif tanpa adanya bukti dan data-data yang mereka ketahui terkait informasi atau berita yang ada.Â
Tak hanya itu, rendahnya kualitas SDM kita dalam berpikir kritis/critical thinking juga disebabkan oleh faktor rendahnya kualitas pendidikan yang ada. Hal tersebut juga dibuktikan dengan posisi kualitas pendidikan Indonesia yang masih rendah jika dilihat dalam Education Index yang sudah dirilis oleh Human Development Reports (Herdian, 2022).
Programme for international student assessment atau PISA juga menyatakan bahwa kalangan muda di Indonesia seperti halnya SDM tingkat SMP kebanyakan hanya dapat mencapai level 1 dan level 2 dari keseluruhan 6 level soal yang ada. PISA juga kemudian menyimpulkan bahwa kemampuan dalam berpikir anak-anak Indonesia masih sangat tergolong rendah (Lidiawati & Aurelia, 2023).Â
Tak hanya itu data-data mengenai kasus-kasus adanya penyebaran dan informasi palsu juga penerimaan kesalahan informasi hingga berujung pada perilaku pengeroyokan yang sudah saya jelaskan sebelumnya diatas juga sudah dapat menjadi salah satu bukti tambahan mengapa SDM Indonesia kita belum secara menyeluruh memiliki critical thinking.Â
Namun melihat hal tersebut dalam (Lidiawati & Aurelia, 2023) Â juga dijelaskan bahwa pada dasarnya Indonesia masih dapat berkesempatan untuk terus meningkatkan kemampuan dalam berpikir kritis karena masih terdapatnya kapasitas serta potensi-potensi yang belum secara menyeluruh dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA Â Â
Dinarti, N. S., Salsabila, S. R., Tri, Y., Rizkya Salsabila, S., & Herlambang, Y. T. (2024). Dilema Etika dan Moral dalam Era Digital: Pendekatan Aksiologi Teknologi terhadap Privasi Keamanan, dan Kejahatan Siber. Jurnal Pendidikan Ilmu Ilmu Sosial Dan Humaniora, 2(1), 8--16. https://doi.org/10.26418/jdn.v2i1.74931
Faiz, F. (2013). Thingking Skill: Pengantar Menuju Berpikir Kritis (M. Affan (ed.)). SUKA-Press Uin Sunan Kalijaga.
Ginting, I. (2020). Pentingnya Daya Kritis Masyarakat Tangkal HOAX. Bapelprov.Go.Id. https://babelprov.go.id/artikel_detil/pentingnya-daya-kritis-masyarakat-tangkal-hoax
Halawa, N., & Lase, F. (2022). Mengentaskan Hoax Dengan Membaca Pemahaman Di Era Digital. Educativo: Jurnal Pendidikan, 1(1), 235--243. https://doi.org/10.56248/educativo.v1i1.32
Herdian, L. (2022). SDM Indonesia di Masa Depan Harus Berpikir Kritis, Kreatif, Inovatif, dan Mampu bernegosiasi. Pontas.Id. https://pontas.id/2022/01/15/sdm-indonesia-di-masa-depan-adalah-berpikir-kritis-kreatif-inovatif-dan-mampu-bernegosiasi/
Kurniawaty, I., Hadian, V. A., & Faiz, A. (2022). Membangun Nalar Kritis di Era Digital. Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan, 4(3), 3683--3690. https://doi.org/10.31004/edukatif.v4i3.2715
Lidiawati, K. R., & Aurelia, T. (2023). Kemampuan Berpikir Kritis Siswa di Indonesia: Rendah atau Tinggi? Buletin KPIN, 9. https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/1200-kemampuan-berpikir-kritis-siswa-di-indonesia-rendah-atau-tinggi
Lokananta, A. C., & Herlina, M. (2018). Dampak Informasi Hoax di Media Sosial Terhadap Tingkat Konflik dan Sikap Pada Remaja Dampak Informasi Hoax di Media Sosial Terhadap Tingkat Konflik dan Sikap Pada Remaja. Jurnal Artikel, 4(2), 100--113.
Mastan, R., & Sukendro, G. G. (2023). Minimnya Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia dalam Berpikir Kritis (Salah Satu Aspek dalam Komunikasi Periklanan) yang ditelti dari Komentar Unggahan Instagram. Koneksi, 7(1), 213--221. https://doi.org/10.24912/kn.v7i1.21259
Nurfadilah, N. (2022). Bahaya Hoax Bagi Kesehatan Mental. Diskominfo-SP. https://diskominfosp.lebakkab.go.id/bahaya-hoax-bagi-kesehatan-mental/
Pinardi, P., & Darmawanti, I. (2023). Post-Truth Era: Ancaman Polarisasi Melalui Grup Whatsapp Keluarga. Jurnal Psikologi Teori Dan Terapan, 14(1), 60--78. https://doi.org/10.26740/jptt.v14n1.p60-78
Pora, S., Pora, R., & Muksin, D. (2022). Hoax Ratna Serumpaet dan Perang Wacana di Media Sosial. Journal of Government Science (GovSci): Jurnal Ilmu Pemerintahan, 3(1), 22--34. https://doi.org/10.54144/govsci.v3i1.28
Pratama, H. S., Pratama, P., Satya, A., & Loveita, L. (2019). Buku Panduan Berpikir Kritis menghadapi Berita Palsu (Hoaks) di Media Sosial. In Diterbitkan oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) INFID Jl. Jatipadang Raya (Issue 105).
Susanti, W., Saleh, L. F., Nurhabibah, Gultom, A. B., Ndorang, T. A., Sukwika, T., Nurlely, L., Suroyo, Mulya, R., & Faizah, L. S. (2020). Pemikiran Kritis dan Kreatif. In H. F. Ningrum (Ed.), Media Sains Indonesia (Vol. 6, Issue 1). https://doi.org/10.1016/j.ijfatigue.2019
Willfridus Demetrius Siga, D. (2023). Efektivitas Kemampuan Berpikir Kritis Dalam Menangkal Hoaks. JAQFI: Jurnal Aqidah Dan Filsafat Islam, 8(1), 132--149. https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jaqfi/article/view/25554
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H