Mohon tunggu...
Septiani Setiawan
Septiani Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sosiologi

Mahasiswa Sosiologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Graffiti sebagai Media Komunikasi dalam Perspektif Budaya Populer

9 Juni 2024   09:55 Diperbarui: 9 Juni 2024   12:27 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 

Pendahuluan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) graffiti diartikan sebagai corat-coret. Dikutip dari  Arifi, N. F. (2014) graffiti merujuk pada penulisan atau gambar-gambar yang dihasilkan dengan cara digores, dicoret, dicat, atau ditorehkan di permukaan dinding. 

Sedangkan Saleh, A., Kinanti, A. S., & Husaini, A. (2023) mendeskripsikan grafiti sebagai bagian dari seni visual yang memanfaatkan dinding sebagai media ekspresi.Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa secara umum graffiti mengacu pada praktik seni yang menggunakan berbagai media, seperti cat semprot, spidol, atau cat tembok, untuk melukis atau menulis di dinding, permukaan publik, atau lokasi terbuka lainnya.

Graffiti telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kultur perkotaan di seluruh dunia. Sejarahnya yang panjang dan beragam mencakup perubahan dari vandalisme menjadi medium seni yang umum diakui. Asal-usul graffiti dapat ditemukan pada zaman prasejarah, ketika orang pertama kali mulai menggambar dan menulis di dinding gua. 

Namun, dalam konteks modern, graffiti berkembang menjadi bentuk seni yang jelas, terutama pada 1970-an dan 1980-an di New York City. Sejalan dengan ini Mappalahere, M. T. (2018) menerangkan bahwa tidak ada kesepakatan yang jelas mengenai waktu dan tempat asal mula graffiti. Namun, beberapa sumber menyatakan bahwa graffiti mulai muncul di New York pada awal tahun 1970-an, seiring dengan munculnya breakdance.

Khalip, A. (2019) menerangkan bahwa graffiti lebih dikenal lagi pada tahun 1980-an ketika seniman jalanan Amerika dan aktivis sosial, Keith Haring, yang merupakan seorang seniman kontemporer yang mengubah arah seni jalanan menuju tema politik, seksualitas, perang, agama, dan wabah AIDS. 

Ketika sebagian besar seniman jalanan pada waktu itu menggunakan kereta bawah tanah atau dinding lorong sebagai kanvas mereka dan menggunakan cat semprot sebagai senjata utama, Keith Haring bereksperimen dengan kapur tulis dan banyak dari muralnya menampilkan latar belakang berwarna gelap.

Menurut Wicandra, O. B. (2006) graffiti mulai naik pamornya di Indonesia pada awal tahun 1990-an. Pada periode ini, Almarhum YB Mangunwidjaja atau lebih dikenal sebagai Romo Mangun, mengangkat status seni graffiti melalui program seni mural untuk mempercantik perkampungan kumuh di sepanjang Kali Code, Jogjakarta. 

Melalui program ini, dinding-dinding dan papan-papan rumah di daerah tersebut diberikan sentuhan seni, membuatnya terlihat lebih segar dan indah dipandang. Langkah ini tidak hanya mempercantik lingkungan, tetapi juga memberikan dorongan semangat bagi masyarakat setempat. Dengan demikian, kehadiran graffiti sebagai bentuk seni turut berkontribusi dalam memperbaiki estetika dan citra perkampungan kumuh tersebut.

Analisis Perspektif Budaya Populer Raymond Williams

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun