Septiani Setiawan
Mahasiswa Sosiologi FIS UNJ
Di penghujung tahun 2019, tepatnya pada bulan Desember, dunia diguncang oleh kasus dugaan pneumonia yang  tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Kasus tersebut berasal dari  Wuhan, China. Pada 7 Januari 2020, China mengidentifikasinya sebagai jenis baru virus corona.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri telah menyatakan bahwa virus corona (Cov) adalah virus yang menginfeksi saluran pernapasan. Infeksi virus disebut Covid19. Virus ini dapat menyebabkan mulai dari flu biasa hingga penyakit yang lebih serius seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERSCoV) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARSCoV).
Menurut sebuah artikel, gejala virus ini adalah flu, demam, pilek, batuk kering, sakit tenggorokan, dan sakit kepala. Selain itu, demam tinggi, batuk berdahak, sesak napas, dan nyeri dada dapat terjadi. Virus ini dapat  dengan mudah menular.  Dengan seseorang secara tidak sengaja menghirup tetesan air liur saat batuk atau bersin, atau setelah menyentuh benda yang terkena tetesan yang terinfeksi, memegang mulut atau hidungnya tanpa mencuci tangan, menyentuh atau berjabat tangan. Lakukan kontak dekat dengan orang yang sakit.
Dapat dikatakan bahwa virus ini menyebar relatif cepat karena mudah terinfeksi. Berdasarkan situs real-time coronavirus COVID19 Global Case, per 12 Maret 2022 terdapat lebih dari 455.581.556 juta kasus positif dengan 6.058.532 kematian. Angka tersebut merupakan jumlah total  kasus yang terjadi di 229 dari 241 negara di dunia.Â
Terkait hal itu, negara-negara terdampak telah melakukan berbagai langkah untuk mengatasi dan mengurangi kasus positif corona. Salah satu langkah yang diambil pemerintah adalah dengan menerbitkan PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang pembatasan sosial berskala besar.
Kebijakan akibat pembatasan tersebut berupa penutupan beberapa akses jalan, pembatasan volume lalu lintas, dan pembatasan jam operasional sarana pengangkut dalam jangka waktu tertentu. Ini, tentu saja, merupakan kebijakan yang dirancang untuk memperlambat aktivitas pengendalian kecepatan orang di luar ruangan rumah.
Hampir semua kegiatan telah dihentikan dan kebijakan ini dikenal sebagai Lockdown. Kegiatan ini juga merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Undang-undang tersebut menjelaskan karantina kesehatan di pintu masuk dan di kawasan yang disebabkan oleh kegiatan surveilans penyakit dan faktor risiko kesehatan masyarakat untuk transportasi, orang, dan barang.
Meski ditujukan untuk menekan angka positif, kebijakan lockdown dapat menimbulkan berbagai  masalah sosial dan ekonomi. Salah satu masalah sosial adalah meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Faktor penyebab KDRT selama pandemi COVID 19 antara lain masalah sosial dan ekonomi, dll.Â
Akibat banyaknya Pemutus Pekerjaan (PHK), keluarga tidak memiliki penghasilan untuk menghidupi kehidupan sehari-hari. Masalah-masalah ini dapat memberikan tekanan pada pengasuh, menyebabkan emosi  yang berlebihan, dan mengarah pada kekerasan fisik. Dalam 34 bulan pertama pandemi, jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga telah meningkat. Menurut  Komnas Perempuan, dua pertiga kasus yang dilaporkan Komnas Perempuan adalah kasus KDRT, yakni 319 kasus yang dilaporkan selama pandemi COVID-19 (Maret 2020). Sementara itu, berdasarkan data LBH APIK yang berbasis di Jakarta, melaporkan jumlah kasus kekerasan selama satu bulan biasanya 60 kasus, namun semenjak terjadi pandemi naik menjadi 90 kasus setiap bulannya.
Selain masalah sosial, lockdown juga berdampak pada implikasi ekonomi. Hal ini disebabkan berkurangnya intensitas kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Data Kementerian Koperasi menunjukkan 1.785 koperasi dan 163.713 usaha kecil dan menengah (UMKM) terdampak pandemi virus corona (COVID19). Sebagian besar koperasi yang terdampak COVID-19 menangani kebutuhan sehari-hari, namun sektor UMKM yang paling terdampak adalah sektor makanan dan minuman.
Selain itu, penurunan sektor pariwisata akan memberikan efek domino pada sektor UMKM. Berdasarkan data yang diolah P2E LIPI, dampak penurunan pariwisata terhadap UMKM yang bergerak di usaha mikro makanan dan minuman  mencapai 27%. Sedangkan dampak terhadap UKM sebesar 1,77% dan dampak terhadap UKM sebesar  0,07%. Dampak virus Covid-19 terhadap unit  kerajinan kayu dan rotan serta usaha mikro sebesar 17,03%. Adalah 1,77% untuk usaha kecil dan menengah yang memperdagangkan kayu dan rotan, dan 0,01% untuk usaha menengah. Sementara itu, konsumsi rumah tangga juga akan mengalami kenaikan dari 0,5% menjadi 0,8%.
UMKM memainkan peran yang sangat strategis dalam perekonomian Indonesia. Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil  Menengah Indonesia pada tahun 2018, jumlah unit usaha UMKM adalah 99,9 juta atau 62,9 juta. UMKM menyerap 97% dari total lapangan kerja, 89% di antaranya berada di sektor mikro, memberikan kontribusi 60% terhadap PDB. Selain di sektor UMKM, industri kreatif juga akan terkena imbasnya. Di Indonesia, industri kreatif telah menjadi yang terdepan di tanah air sejak Pekan Produk Budaya Indonesia pertama pada tahun 2007.Â
Opus Creative Economic Outlook 2019  Bekraf  menyebutkan bahwa kontribusi industri kreatif terhadap perekonomian nasional pada tahun 2016  sebesar 7,44% dan diperkirakan akan terus tumbuh. Dikatakan bahwa produk domestik bruto industri kreatif  melampaui angka 1.000 triliun pada 2017 dan tumbuh menjadi sekitar 1,102 triliun pada 2018. Selain aspek PDB, aspek penyerapan tenaga kerja di industri kreatif juga mengalami peningkatan. Pada 2016, sebanyak 16,91 juta orang bekerja di industri kreatif. Jumlah ini meningkat 5,95 persen dibandingkan  jumlah industri kreatif pada tahun 2015.
Namun, karena adanaya pembatasan sosial, maka timbullah larangan untuk pengumpulan dana atau pendapatan dari acara, program, pameran, bazaar, dll. Sebelumnya pada 2019, nilai kontribusi sektor industri kreatif terhadap ekspor Indonesia mencapai US$ 20 miliar. Pemerintah memprediksi tanpa pandemi, industri kreatif akan mencapai Rp 1,274 triliun pada 2020, berpotensi menciptakan 19,8 juta lapangan kerja.
Perekonomian merupakan aspek  penting  negara, tetapi pandemi Covid membuat perekonomian dalam keadaan tidak menentu. Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat rencana sosial untuk menghadapi situasi saat ini. Implementasi inisiatif program pemerintah terkait dengan sektor UMKM dan industri kreatif adalah sebagai berikut:
- Melibatkan pemangku kepentingan UMKM dan industri kreatif sebagai penerima skema yang disponsori pemerintah seperti kartu pra kerja, subsidi  listrik, dan Keluarga Harapan.Â
- Memberikan pemotongan pajak bagi perusahaan UMKM dan industri kreatif.
- Pelaksanaan program konsultasi terkait pemasaran produk  digital bagi  pelaku ekonomi kreatif dengan meningkatkan kualitas infrastruktur dan pelaku ekonomi di bidang ekonomi kreatif.Â
- Mendukung pelaku industri kreatif dan UMKM dalam bentuk lembaga pendukung seperti insentif kredit industri kreatif, penangguhan angsuran, pembayaran bunga kepada penerima Kredit Usaha Rakyat (UKR), dan penjaminan usaha padat karya.
- Mempromosikan pengembangan kewirausahaan di industri digital dan kreatif melalui pembentukan dan perluasan jaringan kerjasama antara pelaku ekonomi regional dan  pelaku ekonomi nasional, regional dan kelas dunia.
- Membantu industri kreatif dan pemangku kepentingan UMKM dalam mengadaptasi baik perilaku wirausaha maupun aktivitas bisnisnya dengan penggunaan sistem e-commerce atau e-commerce.
- BUMN dan BUMD menjadi pembeli atau penyerap  produksi UMKM.
KESIMPULAN
Adanya pandemi Covid-19 membuat negara-negara terdampak membuat berbagai macam kebijakan, salah satunya adalah Pembatasan Sosial dan lock down. Di lain sisi, adanya kebijakan tersebut menimbulkan berbagai permasalahan di masyarakat, baik masalah sosial maupun ekonomi. Oleh karena itu, berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah perlu merumuskan program sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Amri, A. (2020). Pengaruh Periklanan Melalui Media Sosial Terhadap UMKM di Indonesia di Masa PAndemi. Jurnal Brand, 2(1), 123--130.
Jufra, A. A. (2020). Studi Pemulihan Dan Pengembangan Ekonomi Kreatif Sub-Sektor Kuliner Pasca Pandemi (Covid-19) Dalam Menunjang Pertumbuhan Ekonomi Di Provinsi Sulawesi Tenggara. 9(June), 116--131.
Maisandra Helena Lohy, A. M. F. (2021). Pandemi Covid-19 Dalam Kacamata Sosiologi Hukum. Res Judicata, 4(1), 83--98.
Putra, I., & Dana, I. (2016). Pengaruh Profitabilitas, Leverage, Likuiditas Dan Ukuran Perusahaan Terhadap Return Saham Perusahaan Farmasi Di Bei. E-Jurnal Manajemen Universitas Udayana, 5(11), 249101.
Radhitya, T. V., Nurwati, N., & Irfan, M. (2020). Dampak Pandemi COVID-19 Terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga. Jurnal Kolaborasi Resolusi Konflik, 2(2), 111.
Siagian, A. O., & Cahyono, Y. (2021). Strategi Pemulihan Pemasaran UMKM di Masa Pandemi Covid-19 Pada Sektor Ekonomi Kreatif. Jurnal Teknologi Dan Sistem Informasi Bisnis, 3(1), 206--217.
Yamali, F. R., & Putri, R. N. (2020). Dampak Covid-19 Terhadap Ekonomi Indonesia. Ekonomis: Journal of Economics and Business, 4(2), 384.
Yunus, N. R., & Rezki, A. (2020). Kebijakan Pemberlakuan Lock Down Sebagai Antisipasi Penyebaran Corona Virus Covid-19. SALAM: Jurnal Sosial Dan Budaya Syar-I, 7(3).
Wardana, A (2021). Menakar Ekonomi di Era Pandemi Covid-19 & New Normal, 158-159.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H