“Mereka berenam memakai kostum tokoh superhero The Flash.” kata Elsa sambil tersenyum mengelus punggungku. “Para fans DC Comics tampaknya.”
“Para fans DC Comics garis keras yang tak rela jagoan mereka mendapat kritikan tajam.” kataku menambahkan sambil menggelengkan kepala. “Apa mereka berenam tak punya pekerjaan lain?”
“Mereka jelas punya pekerjaan, Edwin. Ini hari Minggu dan pasti mereka libur. Lagipula menjadi fans garis keras DC Comics itu berarti mereka juga mempunyai berbagai merchandise-nya, bukan hanya komik versi softcover atau hardcover, tetapi segala pernak-perniknya pula, action figure, boneka, gantungan kunci, kaos, topi, handuk, jam tangan, mug, juga jaket dan sweater, itu pun baru sebagian kecil. Jelas bukan murah tapi mahal, pasti mereka semua para fans garis keras DC Comics itu berkantong tebal sekali dan punya kuasa juga koneksi di mana-mana. Lihat jalanan depan rumah kita begitu sepi, mungkin mereka telah membagi-bagikan uang para penguasa wilayah sini untuk leluasa mengepung rumah kita.”
Aku mengangguk setuju. “Masuk akal, Sa. Menurutmu bagaimana? Kita layani mereka?”
“Terserah kamu, Edwin.”
Enam orang fans garis keras berkostum The Flash itu secara serempak melempar mercon banting ke teras rumahku dan bunyi ledakan keras memekakkan telinga membuat Elsa spontan memelukku erat. “Kesabaranku habis, Edwin.” katanya dengan suara bergetar penuh amarah. “Akan kuhajar mereka!”
“Biar aku saja, Elsa.”
“Kubantu kamu dari lantai dua, Edwin.”
“Baik. Sana cepat.”
Elsa berlari kencang menaiki tangga menuju lantai dua, sementara aku membuka pintu rumah yang sudah kubuka kuncinya, lalu kututup kembali.
Enam orang fans garis keras ala The Flash itu tampak terperangah melihat aku berdiri, masih mengenakan kaos dalam putih polos dan celana pendek hijau lumut. “Melempar mercon ke rumah orang lain itu tindakan kriminal!” kataku lantang sambil mengacungkan telunjuk kananku pada mereka berenam.