Mohon tunggu...
Septian Ananggadipa
Septian Ananggadipa Mohon Tunggu... Auditor - So let man observed from what he created

Pejalan kaki (septianangga7@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Uang dan Ilusi: Siapa yang Sebenarnya Menciptakan Uang?

1 Februari 2025   19:06 Diperbarui: 1 Februari 2025   20:47 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perkembangan uang. (Sumber: Unsplash/Freddie Collins)


Setiap hari kita bersentuhan dengan uang, tetapi pernahkah kita bertanya-tanya, dari mana sebenarnya uang itu berasal?

Secara teori, kita diajarkan di sekolah bahwa uang diciptakan oleh bank sentral, seperti Bank Indonesia (BI) yang mencetak rupiah atau Federal Reserve (The Fed) yang mencetak dolar AS.

Memang benar, uang fisik dicetak oleh bank sentral, tetapi tidak banyak yang tahu bahwa sebagian besar uang yang beredar di masyarakat sebenarnya diciptakan oleh bank komersial melalui sistem yang disebut fractional reserve banking.

Sebelumnya, disclaimer dulu ya, ini hanya opini dan tinjauan kritis pribadi. Tidak mewakili pandangan dari pihak manapun.

Berdasarkan data Bank Indonesia, jumlah uang beredar atau biasa disebut M2 meningkat pesat dari Rp5.760 triliun pada tahun 2018 menjadi Rp9.175 triliun pada November 2024. Terdapat peningkatan sebesar 59,30%.

Menariknya, ternyata faktor yang paling besar mempengaruhi uang beredar adalah pinjaman yang disalurkan oleh bank komersial. Pada November 2024, sekitar 73% dari total uang beredar (Rp6.961 triliun) berasal dari pinjaman yang diberikan oleh bank.

Jadi, siapa sebenarnya yang "mencetak" uang? Jawabannya, sebagian besar uang berasal dari bank komersial. Mereka menciptakan uang melalui proses penyaluran kredit. Bagaimana caranya? Mari kita bahas lebih lanjut.

Sistem Fractional Reserve Banking

Di ekonomi modern, sekitar 90% uang yang beredar merupakan uang yang ada di bank komersial atau sering disebut commercial bank money. Uang tersebut tercipta karena adanya perputaran simpanan dan kredit di perbankan. Detail informasi tentang hal tersebut bisa dilihat lebih lanjut pada research paper Bank of England bertajuk Money Creation in the Modern Economy (2014), dan IMF Working Paper berjudul Money Creation in Fiat and Digital Currency Systems (2019).

Sistem yang mendasari hal ini disebut fractional reserve banking. Dalam sistem ini, bank hanya diwajibkan menyimpan sebagian kecil (fraction) dari dana nasabah sebagai cadangan, sementara sisanya dapat disalurkan sebagai kredit. Salah satu peraturan perbankan yang sangat terkait dengan sistem ini adalah Giro Wajib Minimum (GWM).

Misalnya, pada Bank Matahari terdapat total simpanan dari masyarakat sebesar Rp100 miliar, maka Bank hanya wajib mencadangkan Rp10 miliar dalam bentuk kas atau giro. Sisanya, sebesar Rp90 miliar dapat disalurkan dalam bentuk kredit. Ketika pinjaman ini digunakan untuk transaksi, uang tersebut akan masuk ke rekening bank lain, dan proses ini terus berulang, menciptakan uang baru setiap kali kredit disalurkan.

Kita coba membuat contoh sederhana seperti ini,

1. PT A menyimpan dana tabungan sebesar Rp10 miliar di Bank Matahari.

2. Bank Matahari menyalurkan kredit Rp9 miliar (90% dari Rp10 miliar) ke PT B untuk membeli mesin-mesin pabrik yang dibuat oleh PT C. 

3. PT C menerima Rp9 miliar dan menyimpannya sebagai tabungan di Bank Bulan

4. Bank Bulan kemudian meminjamkan 90% dari Rp9 miliar (Rp8,1 miliar) ke PT D, dan seterusnya.

Dari contoh di atas, uang yang beredar bertambah dari Rp10 miliar menjadi Rp19 miliar (Rp10 miliar di Bank Matahari ditambah Rp9 miliar di Bank Bulan). Proses ini terus bergulir seperti bola salju, menciptakan uang baru setiap kali kredit disalurkan.

Melalui siklus tersebut, semakin banyak kredit yang disalurkan perbankan, maka akan semakin banyak pula uang yang beredar di masyarakat. Meskipun disaat para peminjam yaitu PT B dan PT D membayar pinjaman juga akan ada pengembalian dana, namun umumnya periode pengembalian pinjaman itu bertahun-tahun. Jangan lupakan juga terciptanya "uang baru" dari pembayaran bunga atau imbal hasil pinjaman. Seluruh perputaran uang inilah yang membuat jumlah uang beredar terus meningkat dari tahun ke tahun.

Uang beredar. (Sumber: Unsplash/John McArthur)
Uang beredar. (Sumber: Unsplash/John McArthur)

Dua Sisi Mata Uang

Sistem fractional reserve banking ini memiliki keunggulan karena dapat mempercepat perputaran ekonomi. Aktivitas jual beli dapat lebih cepat terjadi karena adanya "dana tambahan" berupa kredit dari perbankan. Proyek-proyek pembangunan infrastruktur seperti jalan, bendungan, bandara juga akan lebih cepat terealisasi dengan adanya dana pinjaman dari perbankan.

Tidak heran, kredit perbankan disebut juga sebagai bahan bakar dari roda perekonomian.

Namun, sistem ini juga memiliki sisi gelap yang patut diwaspadai.

Pertama, inflasi. Jika jumlah uang beredar semakin banyak namun tidak diimbangi dengan semakin banyaknya produk atau jasa yang tersedia, maka harga-harga akan melambung tinggi. Contohnya, di sektor properti, pemberian kredit yang terlalu mudah sedangkan ketersediaan rumah terbatas, menyebabkan harga rumah yang melonjak tinggi.

Kedua, rentan krisis. Sistem fractional reserve ini membuat bank sangat rawan kolaps apabila terjadi penarikan dana dalam jumlah besar di waktu bersamaan (bank run). Uang tunai yang benar-benar tersedia di bank kan hanya 10%, sisanya sudah beredar dalam bentuk kredit yang biasanya memiliki jangka waktu panjang.

Ketiga, spekulasi dan krisis keuangan. Apabila penyaluran kredit dilakukan secara berlebihan, maka akan mendorong terjadinya spekulasi keuangan, seperti yang terjadi pada krisis Asia (1998), dot-com bubble (2021), dan krisis finansial global (2008). Ketika gelembung spekulatif ini pecah, dampaknya bisa sangat merusak, tidak hanya bagi perbankan tetapi juga bagi seluruh perekonomian.

Berbagai kelemahan tersebut membuat ekonomi menjadi lebih fragile terhadap berbagai risiko yang melekat pada perbankan.

Penasaran kan, sejak kapan sistem fractional reserve ini diterapkan?

Tidak ada informasi pasti kapan sistem ini mulai dijalankan di dunia. Beberapa sumber menyatakan praktik ini mulai dilakukan di abad ke-17, ketika para pengrajin emas (goldsmith) melihat bahwa orang-orang yang menyimpan emas jarang menarik semua emas mereka sekaligus, sehingga mereka mulai meminjamkan sebagian dan hanya menyimpan sebagian kecil sebagai cadangan.

Salah satu tokoh ekonomi yang mendorong sistem fractional reserve ini adalah John Maynard Keynes. Melalui karyanya, "The General Theory of Employment, Interest and Money" (1936), Keynes menjelaskan bagaimana bank komersial menciptakan uang melalui pinjaman dan bagaimana hal ini mempengaruhi suku bunga dan investasi.

Kini di era modern, hampir seluruh perbankan di berbagai negara menerapkan sistem fractional reserve, meskipun tidak banyak masyarakat yang menyadari bagaimana sistem ini bekerja.

Perkembangan uang. (Sumber: Unsplash/Freddie Collins)
Perkembangan uang. (Sumber: Unsplash/Freddie Collins)

Kritik pada Sistem Keuangan

Tidak semua orang setuju dengan sistem fractional reserve banking. Beberapa ekonom terkemuka, seperti Irving Fisher dan Milton Friedman, mengkritik keras sistem ini. Fisher, dalam bukunya "100% Money" (1935), mengusulkan agar bank diwajibkan menyimpan 100% dana nasabah sebagai cadangan. Ia berargumen bahwa sistem ini adalah akar dari inflasi dan ketidakstabilan ekonomi.

Selain itu ada Milton Friedman, ekonom pemenang Nobel yang berpendapat bahwa fractional reserve banking dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi karena bank cenderung menciptakan terlalu banyak uang selama masa boom dan mengurangi penciptaan uang selama resesi.

Dalam publikasinya berjudul "A Program for Monetary Stability" (1960), ia mengusulkan reformasi sistem perbankan, termasuk penerapan full reserve banking, untuk mencegah inflasi dan krisis keuangan yang terus berulang.

Dengan semakin kompleksnya sistem ekonomi dan semakin terhubungnya keuangan lintas negara, kita harus lebih kritis dalam melihat bagaimana dunia bekerja. Realitanya, tidak dipungkiri krisis ekonomi semakin sering terjadi.

Sejak tahun 2000 hingga saat ini, ekonomi dunia telah mengalami sekitar lima krisis keuangan berskala global. Mulai dari krisis dot com bubble 2001, krisis finansial global 2008, krisis Eurozone 2012, krisis pandemi Covid 2020, dan krisis inflasi global 2022.

Mungkin, sistem keuangan yang benar-benar sempurna tidak akan pernah ada. Uang bukan sekadar kertas atau angka di rekening bank. Ia adalah cerminan dari kepercayaan, aktivitas ekonomi, kebijakan yang saling terkait dan akan terus berevolusi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun