Mohon tunggu...
Septian Ananggadipa
Septian Ananggadipa Mohon Tunggu... Auditor - So let man observed from what he created

Pejalan kaki (septianangga7@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Tantangan Investasi Hijau, Pembuka Jalan Indonesia Menjadi Negara Maju?

25 Juli 2022   13:37 Diperbarui: 26 Juli 2022   18:46 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto:  Tambang batu bara, thinkstockphotos.com via Kompas.com

Pernahkah terbayangkan, sampai kapan kita bisa menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk berkendara?

Dan pernahkah kita tahu, bahwa sumber tenaga pembangkit listrik kita mayoritas berasal dari batu bara?

Minyak dan batu bara adalah sumber energi utama yang kita dapatkan dari perut bumi. Tapi sampai kapan kita bisa mengandalkan penggalian energi fosil?

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan, jika tanpa ada penemuan sumber baru, cadangan minyak bumi Indonesia hanya cukup sampai 2028. Sumber yang sama juga mencatat bahwa cadangan batu bara Indonesia hanya akan sekitar bertahan 65 tahun lagi.

Jika cadangan Indonesia habis total, maka apa yang akan terjadi? Kita akan sepenuhnya impor, harus membeli dengan mata uang asing dan bergantung pada "kebaikan" negara lain yang mau menjual minyak dan batu bara ke kita agar listrik kita bisa tetap menyala.

Belum lagi adanya dampak polusi dan perubahan iklim yang dipicu dari penggunaan energi fosil akan membuat lingkungan kita semakin buruk, suhu semakin panas, kualitas udara rendah, kesuburan tanah menurun, hingga bencana alam yang makin sering terjadi.

Berbagai negara telah menyadari kondisi ini, sehingga pada Paris Agreement tahun 2015 telah disepakati beberapa hal terkait upaya bersama mengurangi polusi karbon dan memitigasi dampak perubahan iklim.

Kesepakatan ini diperkuat melalui 26th Climate Change Conference of the Parties (COP-26) di Glasgow pada 2021 lalu, untuk semakin mendorong komitmen berbagai negara menuju Energi Baru Terbarukan (EBT).

Indonesia tidak absen dari dari kesepakatan ini. Kita berkomitmen untuk mencapai net zero emission pada tahun 2060.

Artinya, kita harus mulai mengurangi penggunaan minyak, batu bara, dan sumber energi lain yang mengeluarkan emisi karbon.

Namun di sisi lain, perlu diketahui bahwa hingga saat ini Indonesia adalah produsen batu bara terbesar ketiga di dunia, selain itu negeri kita juga masih menjadi net importir minyak bumi yang cukup tinggi.

Tentu konsep investasi hijau ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia.

Kini transisi menuju energi hijau menjadi salah satu isu prioritas dalam gelaran Group of Twenty (G20) yang akan diselenggarakan di Indonesia tahun ini. Sehingga perkembangan isu ini akan sangat menarik untuk dicermati.

Lantas, apa sih investasi hijau itu? bagaimana Indonesia bisa menerapkan konsep ini?

Mengenal Investasi Hijau

Secara sederhana, investasi hijau merupakan investasi yang berfokus pada aspek-aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (Environmental, Social, and Governance / ESG) yang tujuannya untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Karena memiliki dampak pada perekonomian jangka panjang, isu ini menjadi sangat populer terutama di negara-negara maju. Apalagi tentu didukung dengan kesiapan teknologi yang sudah banyak dikuasai oleh negara berdaya.

Sedangkan bagi negara berkembang, salah satunya Indonesia, yang mayoritas masih mengandalkan batu bara, minyak bumi, gas alam, dan sawit, tuntutan perubahan ke EBT tentu bukan hal yang sepele.

Batu bara dan minyak bumi selama ini paling banyak disorot karena dampak buruk pertambangan dan emisi karbon yang dinilai "merusak" kualitas tanah, air, dan lingkungan. Realitanya, tidak hanya Indonesia, sebagian besar negara di dunia masih sangat bergantung pada komoditas ini.

Sumber energi EBT seperti pembangkit listrik tenaga surya, air, atau angin, memang lebih ramah lingkungan, tapi tentu memerlukan investasi infrastruktur yang tidak mudah. Belum lagi biaya distribusi, pengelolaan, dan kesiapan kapabilitas sumber daya manusia. Mahal.

Bagi negara berkembang yang anggaran saja pas-pasan, lantas uangnya dari mana?

Untuk itulah ada konsep investasi hijau. Sehingga negara maupun perusahaan dapat melakukan project-project yang berorientasi hijau atau ESG, serta mendapatkan atau pembiayaan atau pendanaan dari berbagai pihak yang tentu juga memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan.

Belum lagi jika berbicara ESG secara lebih luas, ada kebutuhan untuk meningkatkan kualitas dan manajemen pengelolaan hutan, limbah industri, dan ketahanan pangan. Itu juga membutuhkan dana dan teknologi yang tidak sederhana.

Itulah mengapa investasi hijau ini sangat penting bagi Indonesia.

Tentu kita tidak ingin masa depan kita mau terus bergantung pada penggalian bumi, hutan yang rusak, atau limbah yang asal-asalan, bukan begitu?

Sumber foto:  Tambang batu bara, thinkstockphotos.com via Kompas.com
Sumber foto:  Tambang batu bara, thinkstockphotos.com via Kompas.com
Dilema Indonesia

Sebagai negara penghasil komoditas seperti batu bara, minyak bumi, dan sawit, Indonesia berada di posisi yang dilematis.

Di satu sisi, industri dan manufaktur di negara kita sedang mulai melaju kencang seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Semua itu tentu tidak lepas dari kebutuhan tenaga listrik.

Bahkan meningkatnya konsumsi rumah tangga dan perkantoran juga mendorong kebutuhan listrik yang lebih besar.

Padahal mayoritas sumber tenaga listrik kita masih berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batu bara. Berdasarkan data Kementerian ESDM, lebih dari 60% produksi listrik Indonesia masih ditenagai oleh batu bara.

Di saat ekonomi dan industri Indonesia sedang mulai berlari, kita tiba-tiba diminta untuk merubah sumber tenaga listrik. Butuh biaya besar dan teknologi canggih. Tentu jika tidak dilakukan dengan tepat, bisa-bisa laju negara kita justru tergelincir.

Kondisi ini tentu disadari pemerintah.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani, di berbagai forum selalu menekankan agar transisi energi yang terus digaungkan negara-negara maju ini jangan cenderung merugikan negara berkembang.

Dalam konteks ini, dalam hal transisi sumber energi PLN ke EBT, Kementerian Keuangan memperkirakan butuh dana sekitar Rp3.500 triliun.

Padahal sebagai gambaran, total APBN tahun 2021 saja "hanya" sekitar Rp3.000 triliun.

Jelas, cita-cita energi hijau sangat berat jika hanya dibebankan ke kas negara.

Padahal dulu negara maju seperti Amerika, Jepang, dan negara-negara Eropa bisa mencapai titik ekonomi seperti sekarang juga karena revolusi industri yang banyak menggunakan batu bara dan minyak.

Kini, saat dampak perubahan iklim menjadi isu global, mereka juga harus terlibat untuk membantu negara-negara berkembang.

Oleh karena itu, Indonesia harus memiliki kemampuan untuk menerapkan konsep investasi hijau.

Posisi RI sebagai presidensi G20 akan sangat strategis dalam mendorong kerjasama antar negara untuk merealisasikan energi hijau yang berprinsip just (adil) and affordable (terjangkau).

Tidak hanya perusahaan dan lembaga yang didorong untuk memenuhi standar ESG, namun juga kemampuan untuk menyusun skema terkait pendanaan dan investasi, seperti green financing, green bond, green sukuk, dan ESG index.

Sebagai contoh, pemerintah RI telah menerbitkan sukuk hijau global (sovereign green sukuk) secara berkala sejak 2018 hingga saat ini sebesar 3,5 miliar dolar AS.

Di ranah domestik, pemerintah juga menerbitkan green sukuk ritel sejak 2019 hingga saat ini telah mencapai Rp11 triliun.

Dari sisi kebijakan moneter dan makroprudensial, Bank Indonesia juga terus semakin serius mengembangkan ekosistem Sustainable Finance Instrument (SFI) seperti obligasi hijau, obligasi berkelanjutan, sustainable linked bond, serta instrumen pasar uang hijau dan berkelanjutan.

Berbagai upaya ini menjadi sangat penting karena saat ini para investor baik itu retail, insitusi, hingga lembaga keuangan besar, sudah lebih memiliki awareness terkait investasi pada proyek dan perusahaan yang berbasis ESG.

FYI nih, di beberapa negara maju investasi ke sektor hijau ini akan mendapatkan insentif seperti pengurangan pajak penghasilan, sehingga para pemilik modal kelas kakap pun kini sangat melirik investasi hijau.

Tentu jika sumber pendanaan dan cita-cita menjaga kelestarian alam bisa dipertemukan, maka akan memberi dampak sangat positif bagi Indonesia.

Jika Indonesia bisa menjawab tantangan investasi hijau ini, maka idealnya pengelolaan energi bisa lebih ramah lingkungan, kelestarian alam lebih terjaga, dan tentunya ekonomi negara turut terbantu.

Di masa depan tentu kita tidak bisa terus bergantung pada energi fosil. Transfer knowledge dan implementasi energi hijau dapat menjadi momentum yang sangat penting untuk membuka jalan Indonesia menuju negara maju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun