Menteri Keuangan, Sri Mulyani, di berbagai forum selalu menekankan agar transisi energi yang terus digaungkan negara-negara maju ini jangan cenderung merugikan negara berkembang.
Dalam konteks ini, dalam hal transisi sumber energi PLN ke EBT, Kementerian Keuangan memperkirakan butuh dana sekitar Rp3.500 triliun.
Padahal sebagai gambaran, total APBN tahun 2021 saja "hanya" sekitar Rp3.000 triliun.
Jelas, cita-cita energi hijau sangat berat jika hanya dibebankan ke kas negara.
Padahal dulu negara maju seperti Amerika, Jepang, dan negara-negara Eropa bisa mencapai titik ekonomi seperti sekarang juga karena revolusi industri yang banyak menggunakan batu bara dan minyak.
Kini, saat dampak perubahan iklim menjadi isu global, mereka juga harus terlibat untuk membantu negara-negara berkembang.
Oleh karena itu, Indonesia harus memiliki kemampuan untuk menerapkan konsep investasi hijau.
Posisi RI sebagai presidensi G20 akan sangat strategis dalam mendorong kerjasama antar negara untuk merealisasikan energi hijau yang berprinsip just (adil) and affordable (terjangkau).
Tidak hanya perusahaan dan lembaga yang didorong untuk memenuhi standar ESG, namun juga kemampuan untuk menyusun skema terkait pendanaan dan investasi, seperti green financing, green bond, green sukuk, dan ESG index.
Sebagai contoh, pemerintah RI telah menerbitkan sukuk hijau global (sovereign green sukuk) secara berkala sejak 2018 hingga saat ini sebesar 3,5 miliar dolar AS.
Di ranah domestik, pemerintah juga menerbitkan green sukuk ritel sejak 2019 hingga saat ini telah mencapai Rp11 triliun.