Kota Jakarta mungkin tidak bisa lagi "berbangga" dengan identitas kemacetan dan modernitasnya. Saat ini banyak kota besar lain di Indonesia yang makin mendekati reputasi Jakarta dalam hal kemacetan jalanan dan kehidupan modern.
Namun sang ibukota memiliki satu keunikan yang belum ada di kota metropolitan domestik lainnya, yaitu hidup berdampingan dengan kereta.
Di Indonesia saat ini, mungkin kaum Jakartans adalah manusia yang paling terbiasa menunggangi kereta.
Ke tempat kerja naik kereta
Sekolah menumpang kereta
Wisata menggunakan kereta
Pulang kampung juga nyaman bersama kereta
Kotak besi yang melaju diatas rel ini sudah menjadi dimensi tersendiri bagi warga Jakarta.
Sang "Sepur" telah menjadi simbol egalitarianisme di tengah hingar bingar ibukota.
Tidak pilah-pilih, apa pekerjaanmu, apa jabatanmu, apa agamamu, apa sukumu, apa kekayaanmu, semua bisa naik kereta. Berpijak dalam satu kotak yang sama.
Bagi orang yang bekerja menggunakan kereta kurang lebih akan menghabiskan sekitar dua jam setiap hari. Belum lagi bagi yang terbiasa sekolah, berwisata, atau jalan-jalan menggunakan kereta.
Di dalam wahana perjalanan kota ini, terkadang kita bisa menjadi diri sendiri. Apalagi dengan adanya gawai berupa smartphone yang kini seperti sudah menjadi kebutuhan primer kaum Jakartans.
Ada yang punya selera musik klasik atau heavy metal, dan mendengarnya keras-keras, bisa sepuasnya menikmatinya sepanjang perjalanan.
Ada yang gemar membaca buku thriller atau manga jejepangan sekalipun, bebas menyusuri imajinasinya.
Ada yang suka mendengar perbincangan tentang dunia konspirasi atau komedi satir, bisa leluasa menjelajahi dunianya.
Melalui earphone, kereta yang merupakan ruang publik bisa menjelma menjadi dunia privat bagi ratusan orang penunggang setianya.
Ada juga yang sudah terlalu lelah dengan dunia hingga menikmati perjalanan cukup dengan tidur saja, entah duduk atau harus tetap tegap berdiri.
Kebebasan di kereta sedikit banyak menjadi oase bagi para Jakartans sebelum atau sesudah beradu padu di tempat kerja demi menopang asa.
Mungkin tidak semua warga ibukota adalah penikmat kereta, tapi bagi penunggang setia sang sepur, kereta sudah seperti menjadi dunia ketiga setelah rumah sebagai dunia pertama, dan tempat kerja sebagai dunia kedua.
Sama seperti para penunggang setia mobil, sepeda motor, sepeda, atau para pejalan kaki, bisa jadi itu adalah dunia ketiga mereka.
Bedanya, kereta sebenarnya adalah ruang publik yang bisa menampung beragam dunia privat dalam satu navigasi.
Disini kita bisa belajar bagaimana bisa menjadi diri sendiri tanpa harus mengusik privasi. Belajar menikmati perbedaan dalam satu ruang perjalanan.
Di dunia ketiga, bisa terjadi apapun yang mungkin atau tidak mungkin terjadi di dunia lainnya.
Kisah manusia kereta ini mengingatkan pada sepotong lirik lagu bertajuk Solitary Shell yang dipopulerkan Dream Theater di era 90-an.
He's a Monday morning lunatic
Disturbed from time to time
Lost within himself
In his solitary shell
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H