Bagi orang yang bekerja menggunakan kereta kurang lebih akan menghabiskan sekitar dua jam setiap hari. Belum lagi bagi yang terbiasa sekolah, berwisata, atau jalan-jalan menggunakan kereta.
Di dalam wahana perjalanan kota ini, terkadang kita bisa menjadi diri sendiri. Apalagi dengan adanya gawai berupa smartphone yang kini seperti sudah menjadi kebutuhan primer kaum Jakartans.
Ada yang punya selera musik klasik atau heavy metal, dan mendengarnya keras-keras, bisa sepuasnya menikmatinya sepanjang perjalanan.
Ada yang gemar membaca buku thriller atau manga jejepangan sekalipun, bebas menyusuri imajinasinya.
Ada yang suka mendengar perbincangan tentang dunia konspirasi atau komedi satir, bisa leluasa menjelajahi dunianya.
Melalui earphone, kereta yang merupakan ruang publik bisa menjelma menjadi dunia privat bagi ratusan orang penunggang setianya.
Ada juga yang sudah terlalu lelah dengan dunia hingga menikmati perjalanan cukup dengan tidur saja, entah duduk atau harus tetap tegap berdiri.
Kebebasan di kereta sedikit banyak menjadi oase bagi para Jakartans sebelum atau sesudah beradu padu di tempat kerja demi menopang asa.
Mungkin tidak semua warga ibukota adalah penikmat kereta, tapi bagi penunggang setia sang sepur, kereta sudah seperti menjadi dunia ketiga setelah rumah sebagai dunia pertama, dan tempat kerja sebagai dunia kedua.
Sama seperti para penunggang setia mobil, sepeda motor, sepeda, atau para pejalan kaki, bisa jadi itu adalah dunia ketiga mereka.
Bedanya, kereta sebenarnya adalah ruang publik yang bisa menampung beragam dunia privat dalam satu navigasi.