Tahun 2022 banyak diprediksi akan menjadi masa pemulihan ekonomi dunia pasca dihantam pandemi Covid-19, namun siapa sangka tahun ini juga dipenuhi gelombang yang membuat ekonomi global tidak dalam kondisi baik-baik saja.
Mulai dari tensi panas ketegangan Rusia dan Ukraina, ternyata menyeret dampak ekonomi dan politik cukup berat bagi berbagai negara. Suplai perdagangan barang dan komoditas yang terganggu mengerek harga-harga menjulang tinggi, atau disebut inflasi.
Sang negara superpower, Amerika Serikat (AS) kini sibuk berkutat dengan inflasi yang sangat tinggi di negaranya. Hingga April lalu, federal inflation rate telah mencapai 8,5%, tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
Tidak hanya AS, negara-negara Eropa juga mencatatkan inflasi sangat tinggi hingga menembus 7,5%. Bahkan beberapa negara dihantam inflasi sangat tinggi seperti Turki 69%, Argentina 48%, dan Brasil 10%.
Inflasi pada umumnya dipicu oleh dua hal. Pertama adalah demand pull inflation, ketika permintaan yang tinggi tidak mampu diimbangi produksi dan distribusi barang sehingga memicu harga meningkat.Â
Pemicu kedua adalah cost push inflation, yaitu ketika biaya-biaya produksi dan distribusi meningkat sementara permintaan cenderung stagnan, kondisi itu juga memicu kenaikan harga.
Kenaikan harga menjadi dampak yang sulit dihindari karena baik demand pull inflation maupun cost push inflation tadi sama-sama menyebabkan kelangkaan barang yang berujung harga-harga barang semakin mahal.
Inflasi tinggi di AS dalam konteks ini awalnya disebabkan demand pull inflation, karena likuiditas yang tinggi pasca kebijakan "printing money" US Dollar (USD) saat menghadapi dampak pandemi Covid di tahun 2019 dan 2020.
Dengan kondisi produksi dan distribusi barang yang masih dalam fase pemulihan, tingkat permintaan yang tinggi tentu memicu harga-harga yang meningkat.
Pemerintah AS sepertinya sudah memperkirakan hal itu, sehingga sejak akhir tahun lalu bank sentral Amerika atau The Fed sudah mengumumkan akan melakukan kebijakan pengetatan moneter di tahun 2022.
Secara sederhana, The Fed akan meningkatkan suku bunga acuan sehingga USD yang beredar di pasar akan berkurang, karena lebih banyak orang yang akan menabung atau menempatkan dananya ke surat utang pemerintah melihat suku bunga atau imbal hasil yang lebih menarik.
Idealnya langkah itu akan berjalan mulus menurunkan tingkat inflasi secara bertahap. Namun apesnya, terjadi perang Rusia versus Ukraina yang mengganggu suplai bahan baku dan produksi barang, terutama gas alam dan minyak.
Akibatnya terjadi cost push inflation, yang membuat mesin ekonomi AS makin overheat. Bagaimana tidak, jika harga minyak, gas alam, gandum, dan barang-barang bahan baku lainnya meningkat, harga-harga menjulang tidak lagi bisa dibendung.
Sekarang mengendalikan inflasi menjadi pekerjaan yang lebih menantang, tidak bisa hanya sekadar mengerek suku bunga agar uang beredar berkurang. Salah langkah, ekonomi masyarakat yang sedang berupaya pulih malah tercekik dengan suku bunga pinjaman yang tinggi.
Dengan situasi ekonomi AS yang semakin pelik, China sepertinya selalu melihat dari kejauhan. Akankah ini menjadi momentum China untuk mendongkel kedigdayaan AS sebagai penguasa ekonomi dunia?
Siklus Penguasa Dunia
Amerika Serikat telah menahbiskan diri sebagai penguasa ekonomi dunia hampir selama 80 tahun, lebih tepatnya sejak berakhirnya Perang Dunia II dimana AS dan The Allied Force menjadi pemenang.
Saat itulah AS menjadi negara dengan ekonomi terbesar di dunia dan dikembangkanlah sistem moneter global yang selalu berkiblat ke AS.
Namun jika menilik lebih jauh ke belakang dan belajar dari sejarah, ekonomi dunia memiliki siklus yang bisa menjadi prediksi.
Salah satu referensi menarik ada dalam buku Principle for Dealing with the Changing World Order:Â Why Nations Succeed and Fail, karya investor kawakan, Ray Dalio, yang mengulas siklus pergantian negara penguasa ekonomi dunia.
Mulai dari Dutch Empire atau kerajaan Belanda yang berjaya di masa 1600-an dan meletakkan pondasi ekonomi kapitalisme dunia. Lalu digantikan British Empire yang naik tahta setelah memenangkan Fourth Anglo-Dutch War di tahun 1780-an. Selanjutnya adalah Amerika Serikat yang berkuasa setelah berhasil keluar membawa kemenangan dari World War II tahun 1940-an.
Sejarah tersebut memiliki beberapa fase momentum yang dirangkai menjadi siklus pergantian tatanan dunia baru (Changing World Order) sebagaimana disebut pada buku Ray Dalio sebagai Big Cycle. Siklus itu dimulai dari The Rise, Top dan Decline, dengan rincian beberapa fase momentum.
Hal yang paling menarik dan relevan dari Big Cycle adalah dalam fase The Decline. Pada setiap fase penurunan kedigdayaan negara itu ada beberapa momen yang identik.
Momen itu antara lain berkurangnya daya saing, kegagalan finansial, utang membengkak, mencetak uang terus menerus, devaluasi mata uang, konflik internal, dan revolusi.
Di masa lalu, meskipun tidak selalu identik, negara penguasa ekonomi dunia mengalami momen-momen tersebut di masa penurunannya.
Dutch Empire ketika sudah sangat berjaya mulai terlena dan kehilangan keunggulan daya saingnya dalam hal pelayaran, serta mulai sembrono dalam hal perang dan pengelolaan utang sehingga memicu konflik di dalam maupun dari luar negeri.
British Empire yang menggantikannya juga setali tiga uang, sibuk memperluas wilayah koloni dan kesulitan dalam mengelola keuangan negara, utamanya pasca Perang Dunia I dan II, berujung pada kemunduran dan dekolonialisasi.
Akhirnya sebagaimana kita tahu, AS yang saat Perang Dunia tampil menjadi poros kekuatan baru dengan kemajuan teknologinya, mengambil alih tahta penguasa ekonomi dunia.
Kini sudah delapan dekade AS menjadi penguasa, fase penurunan mulai terlihat. Sudah bukan rahasia lagi, AS mulai kerepotan mempertahankan daya saing ekonominya menghadapi agresivitas ekspansi perdagangan China.
Negeri paman Sam juga sudah menghabiskan banyak uangnya untuk membiayai perang hingga utang negara menjulang tinggi. FYI, sejak tahun 2013 utang negara AS tercatat lebih tinggi dibanding national economic output atau Produk Domestik Bruto (PDB).
Data CEIC tahun 2020 menunjukkan rasio utang AS telah menembus 125% dibanding PDB. Sebagai perbandingan rasio yang sama negara China adalah sekitar 20%.
Selain itu kekuatan US Dollar sebagai simbol hegemoni ekonomi AS juga mulai didekati oleh China Renmibi atau Yuan, yang makin banyak digunakan di transaksi perdagangan internasional.
Apalagi kebijakan pemerintahan AS yang cenderung melakukan "printing money" secara masif setiap terjadi krisis, sehingga secara tidak langsung mendorong devaluasi mata uang secara global. Ingat prinsip ekonomi, semakin banyak barang beredar (dalam hal ini US Dollar) maka akan cenderung semakin turun nilainya, apalagi jika ekonomi AS menurun atau bahkan tersaingi China.
Konflik AS dan China memang tidak atau belum mengarah ke konfrontasi militer, namun proxy war telah dimulai sejak China mulai mengusik hegemoni American Bald Eagle sebagai raja ekonomi dunia.
Negeri yang dijuluki "The Melting Pot" ini mungkin tidak akan kehilangan tahtanya dalam waktu dekat, bahkan bisa jadi masih akan bertahan jika mereka lebih waspada. Namun melihat berbagai realita saat ini, jelas AS tidak bisa terus jumawa.
Melihat momentum ini, ada salah satu quotes dari buku Ray Dalio yang menarik untuk dijadikan pelajaran, hal yang sederhana namun sulit untuk diterapkan di era kapitalisme seperti saat ini.
"As for what we need to do, earn more than we spend and treat each other well"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H