Pemerintah AS sepertinya sudah memperkirakan hal itu, sehingga sejak akhir tahun lalu bank sentral Amerika atau The Fed sudah mengumumkan akan melakukan kebijakan pengetatan moneter di tahun 2022.
Secara sederhana, The Fed akan meningkatkan suku bunga acuan sehingga USD yang beredar di pasar akan berkurang, karena lebih banyak orang yang akan menabung atau menempatkan dananya ke surat utang pemerintah melihat suku bunga atau imbal hasil yang lebih menarik.
Idealnya langkah itu akan berjalan mulus menurunkan tingkat inflasi secara bertahap. Namun apesnya, terjadi perang Rusia versus Ukraina yang mengganggu suplai bahan baku dan produksi barang, terutama gas alam dan minyak.
Akibatnya terjadi cost push inflation, yang membuat mesin ekonomi AS makin overheat. Bagaimana tidak, jika harga minyak, gas alam, gandum, dan barang-barang bahan baku lainnya meningkat, harga-harga menjulang tidak lagi bisa dibendung.
Sekarang mengendalikan inflasi menjadi pekerjaan yang lebih menantang, tidak bisa hanya sekadar mengerek suku bunga agar uang beredar berkurang. Salah langkah, ekonomi masyarakat yang sedang berupaya pulih malah tercekik dengan suku bunga pinjaman yang tinggi.
Dengan situasi ekonomi AS yang semakin pelik, China sepertinya selalu melihat dari kejauhan. Akankah ini menjadi momentum China untuk mendongkel kedigdayaan AS sebagai penguasa ekonomi dunia?
Siklus Penguasa Dunia
Amerika Serikat telah menahbiskan diri sebagai penguasa ekonomi dunia hampir selama 80 tahun, lebih tepatnya sejak berakhirnya Perang Dunia II dimana AS dan The Allied Force menjadi pemenang.
Saat itulah AS menjadi negara dengan ekonomi terbesar di dunia dan dikembangkanlah sistem moneter global yang selalu berkiblat ke AS.
Namun jika menilik lebih jauh ke belakang dan belajar dari sejarah, ekonomi dunia memiliki siklus yang bisa menjadi prediksi.