Namun bukan berarti kita terbebas dari dampak perang dua negara Eropa timur ini.
Krisis energi dan pasokan perdagangan yang memicu inflasi yang terjadi di Uni Eropa dan Amerika Serikat seharusnya menjadi "lampu kuning" yang membuat Indonesia waspada.
Melesatnya harga minyak bumi internasional juga menjadi peringatan bahwa semua negara harus siap menghadapi ancaman badai inflasi.
Harga minyak global yang tinggi tentu akan memberi tekanan bagi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia. Semakin tinggi harga minyak global maka biaya subsidi BBM yang harus dikeluarkan pemerintah dari APBN akan semakin membengkak.
Mendidihnya harga minyak dunia hingga sempat menembus US$ 100 per barel, sudah jauh di atas level asumsi APBN yang mematok posisi harga minyak di US$ 63 per barel.
Di sisi lain, jika pemerintah ingin mengurangi beban APBN dan harga BBM dinaikkan, hampir bisa dipastikan inflasi domestik akan melonjak.
Masalahnya tantangan yang dihadapi tidak hanya krisis energi namun juga ancaman melonjaknya harga pangan akibat gangguan rantai pasokan komoditas di pasar global.
Dari sisi domestik, Indonesia juga akan menyambut bulan Ramadhan yang secara historis terdapat kenaikan harga-harga pangan. Bahkan kini beberapa produk pangan juga sudah mulai langka dan mahal seperti minyak goreng dan daging.
Semoga saja, tensi geopolitik Rusia dan Ukraina semakin mereda dan segera usai. Namun bagaimanapun, dalam konteks ekonomi domestik, Indonesia harus lebih siap menghadapi berbagai kemungkinan agar badai inflasi tidak menerjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H