Dunia tidak henti-hentinya menghadapi ujian berat. Belum sempat bernafas lega melewati pandemi Covid-19, kini konflik Rusia dan Ukraina memicu berbagai permasalahan global.
Perang di belahan Eropa timur ini tidak hanya tentang dua negara pecahan Union of Soviet Socialist Republics (USSR), namun juga memberi dampak luas hingga Eropa dan Amerika Serikat (AS).
Langkah Uni Eropa dan AS yang memilih gencar memberikan sanksi ekonomi bagi negeri Beruang Merah, ternyata memicu guncangan cukup kuat bagi ekonomi global.
Eropa menghadapi ancaman krisis energi yang cukup berat karena Rusia adalah pemasok gas alam dan minyak bumi terbesar bagi Uni Eropa. Gas alam menjadi sangat krusial karena Uni Eropa lebih banyak menggunakan gas alam sebagai sumber energi utama.
Dilansir dari data Eurostat, hingga semester I 2021, Rusia memasok 46,8% dari total gas alam yang digunakan oleh Uni Eropa.
Apalagi kini sedang memasuki musim dingin yang membuat kebutuhan energi jauh lebih tinggi.
Rusia juga merupakan penghasil minyak mentah nomor tiga terbesar di dunia dengan kontribusi sekitar 11% dari total produksi global. Sehingga gangguan pasokan minyak dari Rusia akan sangat mempengaruhi stabilitas harga minyak dunia.
Selain itu, Ukraina adalah salah satu eksportir gandum dan jagung terbesar di dunia. Ada juga berbagai komoditas strategis lain yang dihasilkan dua negara konflik ini seperti biji-bijian, pupuk, dan logam.
Perang tentu akan menghambat pasokan berbagai produk di pasar internasional. Belum lagi aksi sanksi ekonomi yang dilancarkan berbagai negara membuat peta perdagangan internasional semakin tidak menentu.
Krisis pasokan dan berbagai ketidakpastian ekonomi ini memicu badai inflasi di Eropa dan Amerika Serikat.Â
Tingkat inflasi Eropa dilaporkan telah menembus 5%, ini menjadi angka tertinggi sepanjang sejarah pembentukan Uni Eropa.
Sedangkan di AS, inflasi telah menyentuh level 7,9%, tertinggi dalam 4 dekade terakhir. Lonjakan inflasi ini tentu membuat gejolak ekonomi global, namun akankah berdampak hingga ke Indonesia?
Angin Panas Perang
Tiga minggu berlalu, ketegangan Rusia dan Ukraina belum menunjukkan tanda-tanda berakhir. Bahkan malah menyeret masalah keberpihakkan China dan North Atlantic Treaty Organization (NATO).
Rusia dikabarkan makin dekat dengan China dalam hal ekonomi dan militer, sedangkan AS dan sekutunya di NATO makin intensif bersiap menghadapi berbagai kemungkinan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa angin panas perang masih akan memberi tekanan bagi ekonomi global.
Dari sisi ekonomi, Indonesia tidak memiliki hubungan dagang internasional maupun diplomatik yang terlalu dekat dengan kedua belah pihak yang berkonflik.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada Januari dan Februari 2022 pangsa ekspor dari Indonesia ke Rusia mencapai 0,84 persen, dan impor dari Rusia sebesar 1 persen.
Sedangkan pada periode yang sama, pangsa ekspor Indonesia ke Ukraina tercatat sebesar 0,07 persen, dan impor dari Ukraina sebesar 0,1 persen.
Namun bukan berarti kita terbebas dari dampak perang dua negara Eropa timur ini.
Krisis energi dan pasokan perdagangan yang memicu inflasi yang terjadi di Uni Eropa dan Amerika Serikat seharusnya menjadi "lampu kuning" yang membuat Indonesia waspada.
Melesatnya harga minyak bumi internasional juga menjadi peringatan bahwa semua negara harus siap menghadapi ancaman badai inflasi.
Harga minyak global yang tinggi tentu akan memberi tekanan bagi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia. Semakin tinggi harga minyak global maka biaya subsidi BBM yang harus dikeluarkan pemerintah dari APBN akan semakin membengkak.
Mendidihnya harga minyak dunia hingga sempat menembus US$ 100 per barel, sudah jauh di atas level asumsi APBN yang mematok posisi harga minyak di US$ 63 per barel.
Di sisi lain, jika pemerintah ingin mengurangi beban APBN dan harga BBM dinaikkan, hampir bisa dipastikan inflasi domestik akan melonjak.
Masalahnya tantangan yang dihadapi tidak hanya krisis energi namun juga ancaman melonjaknya harga pangan akibat gangguan rantai pasokan komoditas di pasar global.
Dari sisi domestik, Indonesia juga akan menyambut bulan Ramadhan yang secara historis terdapat kenaikan harga-harga pangan. Bahkan kini beberapa produk pangan juga sudah mulai langka dan mahal seperti minyak goreng dan daging.
Semoga saja, tensi geopolitik Rusia dan Ukraina semakin mereda dan segera usai. Namun bagaimanapun, dalam konteks ekonomi domestik, Indonesia harus lebih siap menghadapi berbagai kemungkinan agar badai inflasi tidak menerjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H