Di penghujung bulan September, dunia dikejutkan dengan kabar tidak mengenakkan dari negeri tirai bambu. Salah satu perusahaan properti terbesar di China, Evergrande, diambang gagal bayar atas utang-utangnya yang menggunung.
Persoalan Evergrande ini bukan suatu hal yang bisa dianggap enteng oleh pemerintah China dan masyarakat global. Total utang perusahaan ini telah mencapai sekitar US$ 300 miliar atau sekitar Rp 4.000 triliun.
Secara nominal, total utang raksasa properti tersebut setara dengan 2% Produk Domestik Bruto (PDB) negeri tirai bambu. Hutang tersebut melibatkan 128 bank di China dengan eksposur tertinggi ada pada China Minsheng Banking Corp, Ping An Bank Co., dan China Everright Bank.
Apalagi sektor properti merupakan salah satu sektor usaha strategis yang menyumbang sekitar 30% dari PDB negara Tiongkok. Bisa dibayangkan apabila Evergrande ambruk, maka akan berimbas pada sektor properti lainnya, kesehatan perbankan, hingga gagalnya pembayaran ke banyak perusahaan yang terlibat sebagai pemasok maupun rekanan.
Masyarakat China yang merasa dirugikan sebagai investor dan pembeli properti pun kini terus mendatangi kantor Evergrande untuk menuntut perusahaan memenuhi kewajibannya.
Jelas kabar negatif ini mengguncang publik China dan menyedot perhatian masyarakat dunia.
Indeks Hang Seng sempat terseret menurun 3,3% karena sentimen Evergrande, begitu juga indeks pasar modal di beberapa negara lainnya. Namun penjelasan dari pemerintah China dan pihak Evergrande yang berkomitmen memenuhi kewajibannya mampu menopang indeks tidak jatuh terlalu dalam.
Siapa sebenarnya Evergrande, dan mengapa kondisinya bisa segenting ini?
Raja Utang
Didirikan oleh Hui Ka Yan dan Xu Jianyin pada 1996 di Guangzhou, Evergrande tumbuh cepat menjadi perusahaan properti raksasa seiring dengan booming ekonomi China.
Melansir dari situs resminya, korporasi ini telah menyelesaikan 1.300 proyek komersial yang tersebar di 280 kota. Berdasarkan jumlah penjualan, Evergrande adalah perusahan properti terbesar kedua di China.