Di Indonesia, mega merger dua startup terbesar tanah air Gojek dan Tokopedia membuat heboh. Merger tersebut menghasilkan GoTo yang valuasinya diperkirakan menembus US$ 18 miliar atau sekitar Rp250 triliun.
Namun ternyata, di jagad startup dunia, valuasi GoTo yang jumbo itu "hanya" berada di peringkat 11, versi CB Insights. Apresiasi tinggi tentu GoTo telah menjadi salah satu startup yang terbesar di dunia.
Lalu, siapa sih yang ada di puncak jagad startup?
Dia adalah ByteDance, perusahaan teknologi asal China yang menjadi startup dengan valuasi tertinggi di dunia. Nilai valuasi pembesut aplikasi TikTok ini mencapai US$ 140 miliar atau sekitar Rp2.000 triliun.
Well... itu dua kali lipat lebih dari market cap perusahaan terbesar di Indonesia yaitu BCA yang bernilai sekitar Rp800 triliun.
Tidak banyak yang menyangka bahwa ByteDance mampu menjadi raksasa di dunia startup. Bahkan bisa dibilang perjalanan startup ini penuh kontroversi, mulai dari diremehkan di negeri sendiri, melawan pemerintah AS, hingga sang CEO tiba-tiba mengundurkan diri beberapa minggu lalu, padahal ByteDance sedang berada di puncak popularitas.
Lalu, apa yang membuat ByteDance menjadi World's Most Valuable Startup?
Berawal dari Diremehkan
Berasal dari negeri tirai bambu, ByteDance didirikan oleh Zhang Yiming pada tahun 2012. Saat itu ia berusia sekitar 29 tahun, tentu ByteDance bukan startup pertamanya yang langsung sukses secara instan.Â
Zhang sempat bekerja di beberapa perusahaan, lalu mendirikan startup 99fang, yang berakhir gagal.
Aplikasi pertama yang dirilis ByteDance adalah Neihan Duanzi, sebuah platform berbagi jokes, meme, hingga video humor. Namun aplikasi itu ditutup pada 2018 karena bermasalah dengan pemerintah China.
ByteDance tidak berhenti di situ, berbagai aplikasi terus coba dikembangkan.
Berawal dari Douyin, aplikasi short form video, ByteDance mulai dikenal luas di daratan China. Meskipun banyak juga yang meremehkan karena saat itu Douyin dianggap hanya sebagai "copycat" dari aplikasi serupa yang lebih populer secara global yaitu Musical.ly.
Namun secara mengejutkan, ByteDance justru mampu mengakuisisi Musical.ly pada 2018 dan merilis brand aplikasi baru yaitu TikTok.
Banyak yang menyangsikan bahwa TikTok akan mampu sukses secara global, namun ternyata ByteDance membuktikan bahwa mereka mampu. TikTok kini menjadi salah satu aplikasi mobile paling populer di dunia saat ini dengan sekitar 800 juta pengguna aktif.
Jalan kesuksesan ByteDance ternyata tidak mulus, pada tahun 2019, TikTok diblokir oleh pemerintah AS dan India karena diindikasikan menghimpun data-data pengguna secara ilegal dan isu konten pornografi. Di Indonesia, TikTok juga pernah diblokir atas kondisi yang hampir sama.
Namun ternyata itu tidak menghambat laju TikTok, justru aplikasi ini makin dikenal luas secara global karena permasalahannya dengan beberapa pemerintahan negara.
TikTok seperti menjadi Bad Boy yang makin digemari milenial di saat para pejabat-pejabat berdasi lantang menentangnya.
Di tengah berbagai kontroversi, konten-konten viral pun bermunculan, para artis dan tokoh pun mulai melirik TikTok sebagai media sosial mereka. Jadilah boom! TikTok justru makin meroket.
ByteDance pun mampu meraup pendanaan-pendanaan dengan nilai jumbo dari pemodal strategis seperti General Atlantic, Sequoia Capital, dan Morgan Stanley, yang mengerek valuasi mereka melesat to the moon.
Apa Hebatnya ByteDance?
Melihat kesuksesan TikTok, banyak yang tidak tahu bahwa lini bisnis ByteDance tentu tidak hanya TikTok.
Zhang Yiming, sang founder adalah seseorang yang sangat suka membaca. Aplikasi lain yang dikembangkan ByteDance adalah TouTiao, sebuah news media aggregator yang mampu memberikan kurasi berita sesuai preferensi pengguna.
Di Indonesia juga ada aplikasi serupa lho yang dikembangkan oleh ByteDance, yaitu BaBe.
Selain itu ada Lark (aplikasi produktivitas), Xigua Video (aplikasi full video), Helo (media sosial). ByteDance juga baru saja mengakuisisi Moonton, pengembang game populer Mobile Legend.
Meskipun memiliki beberapa lini bisnis, tidak dipungkiri bahwa TikTok adalah cash cow utama ByteDance.
Lalu apakah TikTok menguntungkan?
Realitanya ya, TikTok terbukti sangat menguntungkan. Dari data Bloomberg pada tahun 2019 saja, ByteDance mampu membukukan laba bersih US$ 3 miliar atau sekitar Rp45 triliun.
Nilai itu juga hampir dua kali lipat dibanding laba bersih BCA lho.
Di tahun 2020 hampir dipastikan pundi-pundi ByteDance berlipat ganda karena semenjak pandemi, penggunaan TikTok jauh semakin besar.
Menariknya, ByteDance menghasilkan cashflow dari TikTok tanpa harus membakar uang seperti startup kebanyakan.
ByteDance mengklaim bahwa dengan mengoptimalkan machine learning, aplikasinya dapat memberikan aspek-aspek yang sesuai dengan kesukaan pengguna.
TikTok bahkan dianggap banyak orang merevolusi bisnis model periklanan yang efektif, karena melalui video pendek orang akan lebih nyaman dalam menikmati konten sekaligus iklan.
Bagi beberapa orang, Youtube sering dianggap semakin "berat" karena video-video panjang dan melelahkan, sehingga TikTok hadir menawarkan video yang sederhana dan menyenangkan.
Jadilah TikTok kebanjiran pengguna dan pengiklan. Aplikasi ini memang mengandalkan pendapatan iklan sebagai sarana monetisisasinya, selain in app purchase tentunya.
Tantangan bagi ByteDance adalah aplikasi andalannya seperti TikTok akan dihadapkan pada hit challenge. Saat ini TikTok memang menjadi hit, namun apakah akan bertahan lama?
Well, itu tergantung bagaimana ByteDance mengembangkan fitur-fitur aplikasinya, namun yang lebih menantang adalah me-maintain komunitas pengguna. Di dunia internet, Traffic is a King!
Kejutan lain juga hadir dari sang founder Zhang Yimin, yang tiba-tiba di awal Juni ini memutuskan untuk mengundurkan diri. Ingin lebih banyak menikmati waktu dan membaca buku katanya, well said...
Zhang Yimin kini sudah menjadi orang terkaya ke-9 di China di usianya yang 38 tahun. Sah sah saja dia ingin lebih banyak menikmati waktu.
Internet memang mengubah banyak hal dalam bisnis. Tidak ada yang pernah menyangka, perusahaan pembuat aplikasi video pendek kini bisa bernilai ribuan triliun.
"Simplicity is the ultimate sophistication" - Leonardo da Vinci
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H