Mohon tunggu...
Septian Ananggadipa
Septian Ananggadipa Mohon Tunggu... Auditor - So let man observed from what he created

Pejalan kaki (septianangga7@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Garuda Indonesia, Kenapa Bisa di Ujung Tanduk?

13 Juni 2021   06:28 Diperbarui: 8 April 2022   04:25 2744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maskapai nasional kebanggan Indonesia kini terkapar di ujung tanduk. Seperti diperkirakan banyak orang, pandemi yang tak kunjung henti membuat Garuda Indonesia hampir kehabisan nafas.

Pemerintah juga menghembuskan beberapa rencana penyelamatan sang national flag carrier, mulai dari restrukturisasi keuangan, suntikan modal, hingga yang terburuk, likuidasi.

Bulan lalu, manajemen Garuda bahkan telah menawarkan program pensiun dini bagi para pegawainya, karena biaya operasional yang tinggi membuat tunggakan gaji dan hutang makin menggunung.

Kenapa nasib Garuda bisa di ambang kebangkrutan? Seperti apa kondisi industri aviasi yang terdampak keras oleh pandemi?

Menghadapi Lessor

Dalam pernyataan pers resmi, Kementerian BUMN menyampaikan kondisi keuangan Garuda sedang kritis.

Penyebab utamanya tentu saja karena dampak pandemi Covid-19, yang menyebabkan pendapatan Garuda terjun bebas hingga 90 persen. Perusahaan manapun memang akan sulit bertahan hidup dengan kondisi seperti itu.

Hal lain yang menambah berat beban maskapai berkode GIAA itu adalah hutang kepada perusahaan penyewa pesawat (lessor) yang makin menggunung. Garuda memang banyak melakukan sewa pesawat kepada lessor di luar negeri.

Jumlah hutang Garuda disebutkan mencapai lebih dari US$ 4,9 miliar atau Rp70 triliun. Mungkin saat ini bisa lebih besar, karena tunggakan terus bergulir dari hari ke hari.

Menteri BUMN, Erick Tohir mengungkapkan bahwa perjanjian sewa pesawat yang dilakukan oleh Direktur-Direktur lawas banyak yang merugikan posisi Garuda, apalagi dengan kondisi pandemi seperti ini.

Bahkan disebutkan bahwa biaya sewa pesawat Garuda salah satu yang termahal di dunia. Waduh.

Maskapai nasional tanah air ini tercatat memiliki perikatan dengan 36 lessor. Negosiasi yang dihadapi cukup alot karena seperti kita tahu ada lessor yang memang terbukti melakukan tindak koruptif bersama manajemen terdahulu.

Garuda dihadapkan pada tarif sewa pesawat yang lebih tinggi dari harga pasar dan berbagai klausul-klausul yang mempersulit posisi perusahaan.

Belum lagi masalah inefiesiensi operasional perusahaan yang belum terselesaikan, Peter Gontha, salah satu komisaris bahkan mengirimkan surat terbuka untuk mengajukan penghentian gajinya karena kondisi keuangan Garuda yang sedang kritis.

Peter Gontha juga mengungkapkan beberapa permasalahan seperti pengelolaan keuangan yang belum efisien dan transparan, serta Kementerian BUMN yang mengambil keputusan tanpa melibatkan Dewan Komisaris.

Masih hangat dalam ingatan bagaimana kasus korupsi dua Direktur Utama terdahulu yaitu Emirsyah Satar dan Ari Askhara, investigasi yang berujung penutupan 6 anak usaha yang tidak jelas fungsinya, serta permasalahan Laporan Keuangan yang berdampak sanksi pada Garuda dan Kantor Akuntan Publik.

Banyak yang Senasib

Melihat nasib maskapai kebanggaan Indonesia seperti ini, tentu menjadi pertanyaan bagaimana kondisi industri penerbangan di negara lain?

Jika kita menengok tetangga-tetangga dekat di Asia Tenggara, ternyata banyak yang senasib seperti Garuda.

Malaysia Airlines (MAS), kondisinya tak jauh berbeda dengan Garuda. Dampak tragedi beruntun hilangnya pesawat MH 370 dan jatuhnya pesawat MH17 karena tertembak di Ukraina, ditambah pandemi Covid-19 membuat MAS juga dalam kondisi kritis.

Maskapai nasional Malaysia itu bahkan sempat terombang-ambing, diprivatisasi menjadi swasta, lalu diambil kembali oleh negara. Kini MAS yang masih terus merugi itu berada dibawah kendali Khazanah, Sovereign Wealth Fund (SWF)-nya Malaysia. MAS juga masih berkutat dengan restrukturisasi keuangan dan negosiasi dengan lessor.

Sedikit bergeser, ada Thailand Airways, yang kini bahkan sudah masuk pengadilan pailit. Hutang yang menggunung serta operasional yang tak efisien membuat pemerintah Thailand enggan menyuntik dana berulang-ulang.

Lalu salah satu maskapai terbaik dunia, Singapore Airlines (SIA), dikabarkan menjadi maskapai yang paling terdampak di Asia. Bagaimana tidak, Singapura hanya negara satu pulau dan jika penerbangan internasional ditutup, maka hampir tidak ada ruang bernafas bagi SIA.

Beruntung, pemerintah Singapura menggelontorkan dana jumbo sebesar US$ 13 miliar atau sekitar Rp180 triliun kepada SIA. Manajemen juga bertindak cepat melakukan berbagai langkah efisiensi seperti negosiasi dengan lessor, pengurangan pegawai, hingga pemotongan gaji.

Jadi, Garuda tidak sendiri, seluruh industri aviasi saat ini sedang sangat tertekan akibat pandemi.

Bahkan jika melihat kondisi geografis Indonesia dibanding negara-negara tetangga, Garuda bisa dbilang lebih beruntung. Dengan banyaknya kepulauan, mobilitas penerbangan domestik masih bisa memberi Garuda ruang nafas.

Tanpa adanya penerbangan internasional pun, maskapai nasional yang didirikan sejak 1949 ini seharusnya bisa bertahan hidup dan berjaya di negeri sendiri. Faktanya, 78% penumpang Garuda memang berasal dari pasar domestik.

Langkah restrukturisasi keuangan masih akan terus bergulir, namun semoga tidak berlarut-larut, karena di tengah pandemi Garuda bisa-bisa kehabisan nafas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun