Maskapai nasional tanah air ini tercatat memiliki perikatan dengan 36 lessor. Negosiasi yang dihadapi cukup alot karena seperti kita tahu ada lessor yang memang terbukti melakukan tindak koruptif bersama manajemen terdahulu.
Garuda dihadapkan pada tarif sewa pesawat yang lebih tinggi dari harga pasar dan berbagai klausul-klausul yang mempersulit posisi perusahaan.
Belum lagi masalah inefiesiensi operasional perusahaan yang belum terselesaikan, Peter Gontha, salah satu komisaris bahkan mengirimkan surat terbuka untuk mengajukan penghentian gajinya karena kondisi keuangan Garuda yang sedang kritis.
Peter Gontha juga mengungkapkan beberapa permasalahan seperti pengelolaan keuangan yang belum efisien dan transparan, serta Kementerian BUMN yang mengambil keputusan tanpa melibatkan Dewan Komisaris.
Masih hangat dalam ingatan bagaimana kasus korupsi dua Direktur Utama terdahulu yaitu Emirsyah Satar dan Ari Askhara, investigasi yang berujung penutupan 6 anak usaha yang tidak jelas fungsinya, serta permasalahan Laporan Keuangan yang berdampak sanksi pada Garuda dan Kantor Akuntan Publik.
Banyak yang Senasib
Melihat nasib maskapai kebanggaan Indonesia seperti ini, tentu menjadi pertanyaan bagaimana kondisi industri penerbangan di negara lain?
Jika kita menengok tetangga-tetangga dekat di Asia Tenggara, ternyata banyak yang senasib seperti Garuda.
Malaysia Airlines (MAS), kondisinya tak jauh berbeda dengan Garuda. Dampak tragedi beruntun hilangnya pesawat MH 370 dan jatuhnya pesawat MH17 karena tertembak di Ukraina, ditambah pandemi Covid-19 membuat MAS juga dalam kondisi kritis.
Maskapai nasional Malaysia itu bahkan sempat terombang-ambing, diprivatisasi menjadi swasta, lalu diambil kembali oleh negara. Kini MAS yang masih terus merugi itu berada dibawah kendali Khazanah, Sovereign Wealth Fund (SWF)-nya Malaysia. MAS juga masih berkutat dengan restrukturisasi keuangan dan negosiasi dengan lessor.
Sedikit bergeser, ada Thailand Airways, yang kini bahkan sudah masuk pengadilan pailit. Hutang yang menggunung serta operasional yang tak efisien membuat pemerintah Thailand enggan menyuntik dana berulang-ulang.