Maskapai nasional kebanggan Indonesia kini terkapar di ujung tanduk. Seperti diperkirakan banyak orang, pandemi yang tak kunjung henti membuat Garuda Indonesia hampir kehabisan nafas.
Pemerintah juga menghembuskan beberapa rencana penyelamatan sang national flag carrier, mulai dari restrukturisasi keuangan, suntikan modal, hingga yang terburuk, likuidasi.
Bulan lalu, manajemen Garuda bahkan telah menawarkan program pensiun dini bagi para pegawainya, karena biaya operasional yang tinggi membuat tunggakan gaji dan hutang makin menggunung.
Kenapa nasib Garuda bisa di ambang kebangkrutan? Seperti apa kondisi industri aviasi yang terdampak keras oleh pandemi?
Menghadapi Lessor
Dalam pernyataan pers resmi, Kementerian BUMN menyampaikan kondisi keuangan Garuda sedang kritis.
Penyebab utamanya tentu saja karena dampak pandemi Covid-19, yang menyebabkan pendapatan Garuda terjun bebas hingga 90 persen. Perusahaan manapun memang akan sulit bertahan hidup dengan kondisi seperti itu.
Hal lain yang menambah berat beban maskapai berkode GIAA itu adalah hutang kepada perusahaan penyewa pesawat (lessor) yang makin menggunung. Garuda memang banyak melakukan sewa pesawat kepada lessor di luar negeri.
Jumlah hutang Garuda disebutkan mencapai lebih dari US$ 4,9 miliar atau Rp70 triliun. Mungkin saat ini bisa lebih besar, karena tunggakan terus bergulir dari hari ke hari.
Menteri BUMN, Erick Tohir mengungkapkan bahwa perjanjian sewa pesawat yang dilakukan oleh Direktur-Direktur lawas banyak yang merugikan posisi Garuda, apalagi dengan kondisi pandemi seperti ini.
Bahkan disebutkan bahwa biaya sewa pesawat Garuda salah satu yang termahal di dunia. Waduh.