Ingat, investor besar itu sangat amat perhitungan dan tricky.
Tidak hanya China, investor Arab kelas berat seperti Saudi Aramco misalnya, untuk membangun kilang minyak saja di Indoensia tarik ulurnya setengah mati.
Rencana investasi Aramco di Indonesia sejatinya sudah dimulai sejak tahun 2014, pemerintah bahkan telah menerbitkan beberapa kebijakan untuk mempermudah jalan proyek ini. Tapi apa mau dikata, pertengahan 2020 lalu proyek buntu, Pertamina akhirnya memutuskan akan menjalankan proyek ini sendiri, sambil mencari strategic partner lain.
Saudi Aramco pun ternyata malah menjalin hubungan investasi yang lebih mesra di China dan Malaysia. Dibentuknya konsorsium Huajin Aramco Petrochemical Co dan Technip FMC Plc - Malaysia Marine and Heavy Engineering menjadi bukti keseriusan Aramco di negeri tetangga.
Foxconn dan Aramco menjadi contoh nyata betapa tidak mudahnya menarik investor kelas kakap.
Investasi luar negeri diharapkan dapat menjadi trigger pertumbuhan ekonomi sekaligus membuka jalan transfer teknologi industri. Selama ini Indonesia cenderung hanya menjadi pasar konsumsi yang besar, namun ya untuk urusan produksi dan teknologi, jalan di tempat.
Cita-Cita
Bagaimana dengan investasi dalam negeri? sebagai informasi, berdasarkan data BKPM, penanaman modal dalam negeri menyumbang 49,1% dari total realisasi investasi hingga Juni 2020. Jadi, kekuatan investasi lokal jelas tidak bisa diremehkan.
Namun Cipta Kerja idealnya tidak melulu hanya tentang investasi, tapi juga kesejahteraan pekerja, pengembangan usaha, hingga birokrasi.Â
Masalah birokrasi ini yang akut, percuma jika peraturan sudah dibongkar-pasang tapi eksekusi birokrasinya masih lambat dan berputar-putar.
Kini gelombang protes fokus pada urusan upah, hak cuti, kontrak kerja... namun sebaiknya jangan dilupakan bagaimana menciptakan lapangan kerja. Iklim entrepreneurship seharusnya terus dibentuk, dan insentif UMKM juga harus diperhatikan agar ekonomi Indonesia punya pondasi yang kuat.