Di sudut itu kau tundukan dirimu dalam keterpurukan, sebab satu keburukan yang mereka bisikan, tanpa kau sadar bahwa kebaikan yang tertampakan, sebab aib yang Allah tutupkan.
Teruntuk mulut dan telinga di kancah pergaulan remaja Indonesia, sudah tak menjadi hal ghorib untuk kuungkap kata jaim alias jaga image. Perilaku untuk menyembunyikan sikap yang sebenarnya di hadapan orang lain ini, dianggap dibutuhkan dalam bentala pergaulan, apalagi jika ditujukan untuk mencari perhatian atau ketertarikan.
Sebuah naluri; baik untuk dicintai dan buruk untuk dibenci.
Aku adalah Psikologi, kepadamu kutuliskan saat mataku melihat jaim dari dua sisi. Aku memandangnya memiliki sebuah kemungkinan untuk menjadikanmu lakon dalam teks scenario perjalananya. Namun bisik hatiku mengalir ke roda pikirku dan harus aku katakan mungkin peran itu bukanlah hal baka, bagaikan kayu lapuk menyangga rumah yang berkaca.
Kata orang, "Bangkai yang tersimpan akan tercium baunya."
Aku adalah Islam, diriku tak mengenal istilah itu dan telah kuciptakan untukmu jaiz. Tentangnya  yang kau ketahui dariku, dia adalah salah satu hukum Islam selain wajib, haram, makruh, dan lainya.
Tak semua hal yang kau ketahui juga kau kenali.
Dia adalah jaiz yang berbeda, dia adalah jaiz yang hanya hitungan kepala memahaminya. Jaiz atau jaga izzah, dia adalah sikap dimana seseorang menjaga kehormatan dan kesucian dirinya sebagai seorang muslim di hadapan Khaliq-Nya, dan di hadapan saudaranya, serta saat ia dalam kegelapan, tanpa mata yang melihat semut yang berjalan.
Bukan kemuliaan biasa.
Memandangmu dengan penuh kebaikan yang membias di matanya, memujamu dengan puisi sastra yang terukir oleh mulutnya, hanya sebatas itukah? Iya, jika kataku adalah jaim.
Bukan, karna ia bukan kemuliaan biasa. Tinggi derajatmu di dataran biru ini dengan gelarmu sang mukmin, kian meninggi dalam tempat dan martabat di kehidupanmu nanti, kehidupan yang tak mampu kuas ini memberimu sketsa, ia adalah jaiz. Izzahmu adalah kemuliaanmu saat ini dan menjaganya kunci kemuliaanmu esok hari serta nanti.
Levelmu itu ...
Mungkin terlampau indah harapan itu sehingga bagimu cukup saja untuk sekedar jaim, selagi dia menerimamu dengan segala pikir baiknya tentangmu. Taukah kamu? Jika itu ujarmu bahkan aku tak mampu menerimamu di level satu, jaim bukan level seorang muslim.
Sekejap sama, namun keduanya berbeda saat kau mendalaminya. Jika yang satu hanya sekedar topeng maka yang lainya adalah oplas, definisinya adalah terlihat baik dan menjadi baik merupakan dua hal yang berbeda. Sejatinya kebaikan itu sudah menjadi fitrah yang ada pada setiap jiwa, hanya satu, dua, tiga kali atau lebih perlu disterilisasi saja, tapi tak cukup hanya sekedar memoles permukaan karna tak maksimal bersihnya.
Di perjalanan panjangku sampai huruf ini, aku tak mengenalmu yang tak mau menjadi baik. Jaim sendiri adalah bukti bahwa hatimu haus akan kebaikan. Biar aku berkata, aku adalah Islam dan tak semua hal yang menurutmu baik adalah kebaikan. Opinimu bahwa kebaikan adalah saat ridho mereka yang kau dapatkan, maka selamanya kebaikan itu tak ada. Ridho manusia adalah tujuan yang tak akan tercapai, dan kata orang adalah bahan yang tak ada habisnya. Postif atau negative dari ruhmu akan melahirkan simpang siur kabar burung. Sedang ridha-Nya adalah kepastian, wasilahnya adalah kebaikan, sebuah kebaikan alami sebagai karunia Illahi yang tlah kau miliki, namun perlu untuk selalu dijaga, dialah izzah.
Yang tak ada diminta, dan yang ada sering terlupa, kamu adalah manusia.
Kemuliaan yang kau cari adalah ia yang telah kau miliki.
Jikalau kau jadikan seluruh air di lautan menjadi tinta, masih mustahil bagimu tuk menuliskan satu persatu kuasa-Nya. Maha benar Allah dalam segala firman-Nya, sungguh tak ada satu pun syariat yang tak mungkin untuk ditegakan oleh seorang hamba. Tidak hanya mengajarkan, Allah telah mengutus para rasul untuk menjadi teladan, menurunkan Kitab yang berisi ajaran dan telah disempurnakan dengan Al-quran.
Kemarilah! Akan aku ajak dirimu. Lihatlah! Sebaik itu kamu memandang sang teladan; Rasulullah shallallahu alaihi wassalam dan para sahabatnya. Jika sempat, renungkanlah di beberapa detikmu ini saat dirimu yang menjadi objek pandangan itu! Betapa indahnya!
Sebuah keindahan amerta, tak seperti milik jaim yang fana. Setinggi itu kau ingin dilihat, maka sekeras itu kau harus menjaga.
Menyempitnya nyali, kurang percaya diri, dan takut akan perginya teman sejati menjadikanmu lebih menjaga image dari izzah diri. Harus kusadarkan, agamamu lebih utama untuk diselamatkan dari sekedar pertemanan.
Janji-Nya untukmu, saat kau meninggalkan sesuatu karena-Nya niscaya Dia akan menggantinya untukmu, sesuatu yang lebih mulia dan mengagumkanmu.
Istri Aziz gagal mendapat cinta Yusuf karna rayuanya, namun putri Syu'aib meraih cinta Musa karna rasa malunya. Jaim vs jaiz.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H