“Gue mau pesen kopi, lo mau apa?” Abay membuka obrolan.
“Gak usah, gue belum pengen minum apa-apa.”
Tiga menit kemudian Abay kembali dengan segelas kopi ditangannya. Ia duduk, kemudian mengeluarkan rokok dan korek dari dalam saku jaket hitamnya. Aku mencium aroma harum tubuhnya. Parfumenya aku suka, terkesan memperkuat aura misterius dalam dirinya. Abay, laki-laki berkulit putih, postur tubuhnya tinggi, berisi (dibaca gendut,hehe),hidungny amancung,rambutnya ikal dengan model tidak teratur,jambangnya panjang menyatu dengan janggut di dagunya, kumis tipis berbaris di atas bibir atasnya yang berwarna merah muda. Aku sempat merasa terkejut karena Abay tergolong perokok aktif tetapi tidak seperti perokok lainnya yang memiliki bibir kehitaman.
Setelah menyulut rokok, ia mulai bercerita tentang keluarganya, teman-temannya, dan tentang kuliahnya yang sebentar lagi selesai, hanya tinggal menunggu jadwal sidang. Aku menyimak ceritanya, ada magnet yang membuatku betah mendengarkan suaranya. Sesekali kami memutar kenangan tentang masa SMP meski kami belum saling mengenal saat itu. Beberapa pengamen silih berganti menghampiri, aku mengeluarkan koin dari dompet.
“Gak usah, ini aja.” Kata Abay sambil mengeluarkan sebatang rokok.
“Kok lo kasih rokok?” Tanyaku heran.
“Udah biasa kali.” Jawabnya santai.
Angin berdesir, malam semakin larut. Tak terasa ternyata sudah pukul 22.00.
“Udah malam, besok lo kan mesti keluar kota.” Ia mengingatkan.
“Iya, gue berangkat jam 1 siang, kerja dulu.”
“Yaudah, pulang aja yuk. Lo duluan aja, gue mau bayar kopi dulu.”