Septiana Ratihaning Putri (212111235 / HES 5G)
Kasus Wanprestasi Akad Murabahah
Pada saat ini, ekonomi syariah di Indonesia mencapai perkembangan yang cukup memuaskan. Melalui data yang disampaikan oleh OJK, per Juni 2022 pertumbuhan keuangan dan ekonomi syariah naik 10% dibanding tahun sebelumnya. Akad yang paling banyak diterapkan di Indonesia adalah akad murabahah. Menurut OJK, akad murabahah menyumbang 60% dari total pembiayaan syariah.
Akad murabahah, yaitu akad pembiayaan untuk pengadaan suatu barang dengan menegaskan harga perolehan kepada pembeli dan pembeli akan membayar secara angsuran dengan harga lebih tinggi sebagai laba sesuai kesepakatan keduanya. Akad ini termasuk pada pembiayaan konsumen, yaitu suatu kegiatan pembiayaan untuk mengadakan seuatu barang sesuai kebutuhan konsumen dengan pembayaran mengangsur. Contohnya pembiayaan KPR.
Dengan tingginya peminat akad murabahah, sangat memunginkan timbulnya permasalahan. Salah satu permasalahan dalam akad murabahah adalah adanya wanprestasi. Wanprestasi dapat diartikan sebagai tidak terpenuhinya kewajiaban yang telah ditetapkan dalam perikatan, bisa dilakukan dengan tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilaksanakan sama sekali.
Penyelesaian sengketa wanprestasi murabahah dapat dilakukan dengan jalur litigasi maupun alternatif penyelesaian lainnya. Biasanya untuk penyelesaian murabahah dengan kerugian tidak banyak akan melalui jalur alternatif.
Akan tetapi tidak jarang juga diselesaikan dengan jalur litigasi melalui pengadilan kareena nominal kerugian lumayan besar. Penyelesaiann sengketa wanprstasi melalui pengadilan pasti memunculkan pihak yang menang dan kalah. Pihak yang kalah wajib mengganti rugi atas wanprestasi tersebut.
Dalam beberapa kasus, wanprestasi dapat terjadi bukan karena adanya intensi dari debitur. Beberapa hal terjadi karena adanya force majeure, yaitu suatu keadaan di luar kendali yang menjadikan debitur tidak dapat mlakukan prestasi, seperti bencana alam.
Akan tetapi, beberapa kasus wanprestasi akad murabahah tidak terjadi karena force majeure, seperti pemutusan hubungan kerja secara tiba-tiba yang mengakibatkan debitur tidak dapat membayar angsuran murabahah. Keadaan ini tidak dapat membebaskan atau dijadikan alasan pembenar tindakan wanprestasi akad murabahah karena bukan force majeure.
Sengketa ini merupakan sebuah sengketa perdata. Dalam seengketa perdata, hakim bertindak sebagai corong hukum. Hal ini menjadikan hakim tidak bisa memutuskan di luar dari gugatan. Hakim hanya memeriksa dan memutuskan apakah gugatan tersebut dikabulkan atau tidak.
Jika di lihat pada bukti, maka hakim dapat mengabulkan gugatan karena bukti yang ada sudah mencukupi dan juga berdasarkan peraturan yang berlaku. Hal ini karena debitur benar melakukan wanprestasi dan itu bukan dikarenakan force majeure. Sehingga debitur harus mengganti rugi pada kreditur.
Pandangan Positivisme terkait Sengketa Wanprestasi Akad Murabahah
Keputusan hakim untuk mengabulkan gugatan berdasarkan peraturan dan bukti yang ada menimbulkan ketidakadilan bagi debitur. Debitur sebenarnya tidak memiliki intensi atau niat untuk melakukan wanprestasi, namun karena keadaan tertentu di luar force majeure menjadikan debitur lalai dalam prestasi. Sehingga di hadapan hukum, debitur tetap dianggap bersalah melanggar perjanjian karena tidak atau terlambat membayar angsuran. Hal ini dalam hukum diindikasikan sebagai wanprestasi.
Dalam kajian sosiologi hukum, hal ini dapat dilihat sebagai akibat dari pandangan hukum positivsme. Hakim hanya bertindak sebagai "corong hukum" memutus perkara berdasarkan undang-undang dan bukti yang ada, tanpa menggali keadilan bagi kedua belah pihak. Tindakan debitur disebut suatu hal yang menyalahi hukum. Padahal keputusan hakim tersebut justru tidak membawa keadilan bagi debitur.
Tidak memandang bahwa apakah secara moral keputusan tersebut baik atau buruk dampaknya. Apakah adil atau tidak bagi kedua belah pihak. Nyatanya hal tersebut malah tidak adil bagi debitur. Akan tetapi hanya melihat apakah debitur melanggar atau tidak. Jika melanggar maka dikenai sanksi.
Begitulah positivisme memandang kasus tersebut
Mazhab Positivisme
Positivisme hukum melihat hukum sebagai sarana untuk menciptakan kepastian hukum. Menurut positivisme, hukum adalah undang-undang yang berdaulat dan mengikat. Hukum hanya digali dari ilmu pengetahuan para ahli hukum, yang berisi larangan untuk melakukan suatu hal.
Menurut positivisme, hukum hanya dipandang sebagai aturan yang berdaulat. Maka suatu hal di luar hukum itu sendiri bukanlah hukum. Akan tetapi hanya kebiasaan yang tidak memiliki kekuatan untuk melarang dan menimbulkan akibat sanksi.
Menurut positivisme, hukum harus dipisahkan dari nilai-nilai baik atau buruk dan adil atau tidak adil. Hukum harus dipisahkan dari moral. Positivisme memandang bahwa nilai moral tidak relevan  dalam menentukan apa yang sah dalam hukum.
Hal ini menjadikan positivisme memandang keadilan adalah hal yang subjektif. Sehingga keadilan kurang digali dari masyarakat. Akibatnya masyarakat banyak yang tidak merasakan hukum sebagai suatu hal yang dapat memberi keadilan melainkan hanya seperangkat aturan tentang larangan yang harus dipatuhi, apabila dilanggar akan menerima sanksi.
Argumen terhadap Mazhab Hukum Positivisme dalam Hukum di Indonesia
Pada kenyataannya, positivisme telah menyumbang banyak dalam perkembangan hukum di Indonesia. Salah satunya adalah kelembagaan hukum yang bersifat hierarki atau bertingkat. Tingkat pertama di kabupaten/kota, tingkat banding di ibu kota provinsi, dan kasasi di ibu kota negara (Mahkamah Agung) yang bersifat final.
Selain itu asas persamaan di depan hukum (equality before the law) juga merupakan hasil dari mazhab positivisme. Asas ini sangat berperan penting dalam melaksanakan hukum acara pidana maupun perdata.
Akan tetapi mazhab positivisme ini juga membawa efek negatif karena kekurangannya dalam menggali keadilan bagi masyarakat. Sifatnya yang memisahkan antara moral dan hukum menjadikan hukum sangat objektif dan keadilan adalah hal yang subjektif. Akibatnya hukum yang diharapkan oleh masyarakat dapat memberikan bantuan keadilan justru malah menyerang balik.
Bahkan yang sangat disayangkan adalah banyak terjadi kasus, terutamanya perdata, yang justru tidak membawa keadilan bagi masyarakat. Seperti kasus yang telah diterangkan di atas.
Cukup sulit untuk menghindari kekurangan dari mazhab positivisme. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan cara membuat hukum yang banyak digali tidak hanya dari para ahli hukum, namun juga dari kebiasaan masyarakat. Sehingga keadilan bagi masyarakat dapat meningkat, meski hanya seedikit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H