Mohon tunggu...
Septian Dhaniar Rahman
Septian Dhaniar Rahman Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah dan Komikus

Saya lulusan Sastra Inggris dan telah menerjemahkan beberapa buku non fiksi. Selain itu, saya juga telah menerbitkan beberapa novel dan komik detektif. Kunjungi website saya juga di http://septiancomics.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Hantu Hutan (Bagian 8)

21 Januari 2022   13:35 Diperbarui: 21 Januari 2022   13:39 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DELAPAN

 

Sudah menjelang dini hari tanggal 28 Oktober 2021, tapi kami belum juga bisa tidur, apalagi dalam kegelapan yang pekat ini. Aku bertanya dalam hati kapan lampu menyala. Istriku belum puas juga mencumbuku, dia masih menindihku di sofa kami yang empuk dan besar ini. Sofa kami ini sudah mirip ranjang pokoknya.

"Kangmas lebih suka gelap-gelapan atau terang-terangan?"

"Aku lebih suka terang karena lebih nyata terpampang."

"Memangnya aku pajangan, Kangmas?"

"Tentu tidak, Diajeng."

Mendadak lampu menyala lagi. Istriku tampak bingung menatapku. "Mau lagi, Kangmas?"

Aku berdehem pelan tanda setuju. Istriku tersenyum menggemaskan, lalu kami bersenang-senang lagi dan lagi, tanpa henti pokoknya.

Selanjutnya kami tertidur pulas ... dan terbangun saat adzan Shubuh.

"Kangmas, jangan lupa mandi junub dulu!"

Pukul tujuh pagi, kami sarapan. Istriku memasak Tumis Brokoli dan Omelet. Seperti biasa, rasanya enak sekali. Usai sarapan, istriku mencuci piring, sementara aku membaca novel The Spy Who Came In From The Cold karya John LeCarre, terbitan asli Penguin. Setahuku belum ada versi terjemahan novel ini dalam bahasa Indonesia. Aku segera menghubungi kepala editorku di Penerbit Indira yaitu Chairul Aritonang.

"Selamat pagi, Pak Roni? Bisa saya bantu?" suara Chairul terdengar sangat jelas.

"Sudah masuk sepagi ini, Rul?"

"Oh jelas, Pak Roni. Sebagai deputi Bapak hari ini, saya harus datang paling awal."

"Rul, kusarankan untuk mencari penerjemah lepas lagi. Aku ingin si penerjemah ini menggarap novel-novelnya John LeCarre kalau bisa. Baik. Bagus sekali. Oh, mungkin hari ini aku tidak masuk kantor. Santai saja. Selamat pagi kalau begitu."

"Itu tadi Chairul?" tanya istriku sambil duduk dan memelukku. "Kamu absen hari ini, Kangmas?"

"Supaya bisa lengket bersamamu terus, Diajeng." kataku sambil mencium kening istriku. "Aku masih penasaran dengan penelpon tadi malam. Siapa kira-kira?"

"Nomornya asing?"

Aku mengangguk sambil berdiri lalu berjalan lambat-lambat mengitari ruangan. "Kiss The Girls and Make Them Die. Begitu pesan si penelpon tadi malam."

"Judul novel itu, Kangmas?"

Aku menggelengkan kepala, lalu menyandarkan tubuhku ke dinding sambil menatap istriku. "Judul film jadul itu. Kalau tidak salah produksi tahun 1966. Salah satu film favoritnya Quentin Tarantino itu."

"Kangmas sudah pernah menonton filmnya?"

"Belum pernah. Kebetulan ada di koleksi film peninggalan orangtuaku. Mau menonton bersamaku sekarang mumpung waktu luang?"

Istriku mengangguk, lalu berjalan mengikutiku ke ruang tengah untuk menonton. Aku membuka lemari hitam di sebelahku untuk melihat koleksi film-film DVD warisan Bapak dan Ibuku, kebanyakan film-film impor di mana Bapak dan Ibuku selalu membelinya ke luar negeri. Aku mengambil DVD film Kiss The Girls and Make Them Die, lalu memutarnya di perangkat Blu-Ray milikku, karena kompatibel ke bawah, pastinya bisa.

Beberapa menit kemudian, aku dan istriku mulai menonton film itu. Rupanya film ini karya produser besar kenamaan Italia yaitu Dino De Laurentiis yang pernah memenangkan Oscar untuk filmnya Federico Fellini yakni La Strada dan juga menjadi produser sejumlah film populer seperti Danger Diabolik, Barbarella, Serpico, Death Wish, King Kong, Flash Gordon, juga Conan The Barbarian serta Conan The Destroyer, sementara sutradaranya Henry Levin pernah menggarap film mata-mata dengan bintang utama Dean Martin yaitu Murderer's Row. Nah, untuk film Kiss The Girls and Make Them Die ini bintang utamanya adalah Mike Connors yang dulu sangat kukenal karena membintangi serial televisi detektif berjudul Mannix, salah satu serial televisi favoritku. Faktor Mike Connors ini yang membuatku betah menonton film ini sampai akhir, sementara istriku seperti biasa ... ketiduran. Entah kenapa, istriku hanya bisa menonton film komedi romantis saja dan bukan genre yang lain. Mungkin karena filmnya terlalu jadul.

Istriku terbangun dua jam kemudian saat film sudah berakhir. "Bagaimana akhir ceritanya?" tanyanya gelagapan.

"Bahagia tentu saja."

"Filmnya tidak sesuai zaman sekarang, Kangmas. Gaya rambutnya bintang ceweknya itu, si Dorothy Provine itu, kuno sekali menurutku."

"Namanya juga era Swinging Sixties, Diajeng."

"Mengapa Inggris sangat membanggakan era itu, Kangmas?"

"Kupikir karena Inggris berjaya dalam banyak hal di era itu. Persisnya antara tahun 1965 sampai 1969, Inggris berjaya dengan seni hiburan terutama musik dan film. Untuk musik, invasi The Beatles, The Rolling Stones, dan The Who menggemparkan dunia. Untuk film, James Bond sangat populer. Dari segi busana, desainer Mary Quaint memperkenalkan rok mini yang menghebohkan, dua model Inggris menjadi tolok ukur kecantikan saat itu yaitu Jean Shrimpton dan Twiggy. Jangan lupa di bidang olahraga, Inggris menjadi juara Piala Dunia 1966 berkat kejeniusan pelatih legendaris mereka Sir Alf Ramsey serta bintang-bintang hebat seperti kapten sekaligus bek tangguh Bobby Moore, gelandang sayap Martin Peters, penyerang tengah yang mencatat rekor sebagai satu-satunya pembuat hattrick di final Piala Dunia yaitu Geoff Hurst, serta tentu saja kiper heroik Gordon Banks!"

Istriku manggut-manggut penasaran. "Lalu apa hubungannya semua itu dengan telepon misterius tengah malam tadi?"

"Kembali lagi ke soal film yang barusan selesai kita tonton."

"Aku tidak selesai menonton, Kangmas."

"Kusingkat saja, Diajeng. Jadi inti cerita film tadi adalah keinginan kuat atau ambisi berlebihan seorang milyarder bernama David Ardonian untuk -- menurutku sungguh konyol sebenarnya -- membuat seluruh dunia impoten."

"Aku tidak percaya, Kangmas. Sekonyol itu?"

Aku mengangguk. "Jadi jagoan kita ini namanya Kelly, entah siapa nama lengkapnya, pokoknya panggilannya Kelly begitu, dia seorang agen CIA yang hobi sekali makan pisang, berniat, maksudku berupaya keras untuk menggagalkan niat konyol David Ardonian itu. Kelly mendapat bantuan dari agen rahasia Inggris Susan Fleming dan sopirnya demi menyelamatkan dunia dari impotensi permanen."

"Konyol dan aneh ya?"

"Tapi Quentin Tarantino suka sekali film ini, Diajeng."

"Tidak masalah menurutku, Kangmas. Sekarang kutanya sekali lagi apa hubungannya dengan si penelpon semalam?"

"Menurutku si penelpon semalam berniat meniru niat konyol David Ardonian."

"Kalau begitu kita harus siap beraksi, Kangmas."

"Tidak sekarang, Diajeng. Aku mau melanjutkan membaca novel John LeCarre tadi."

"Bagus sekali, Kangmas. Aku tidak masak siang dan sore ini. Nanti kita jajan di luar?"

"Tentu saja, sambil mencari keberadaan Martin Garoni kalau bisa."

"Aku yakin Martin Garoni yang menelpon tadi malam, Kangmas."

"Belum tentu, Diajeng. Belum tentu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun