"Berapa jumlah kaca keseluruhan di ruangan ini?"
"Hitung saja, Diajeng."
Istriku berjalan mengitari ruangan sambil mengedarkan pandangan. Dia balik lagi sambil menggelengkan kepala. "Setiap sisi ruangan tambah satu langit-langit masing-masing ada dua belas kaca. Artinya ada enam puluh kaca di seluruh ruangan ini dan tidak ada pintu keluar. Setidaknya kita belum menemukan kalau ada."
Aku menghentakkan kaki kanan dan kaki kiriku berulangkali di lantai berkarpet itu. Suara nyut panjang terdengar lebih keras. Istriku meloncat lalu menendang salah satu kaca di dinding sampai pecah. Dari pecahan kaca itu, terlihat ada rongga berukuran sedang yang memperlihatkan sebuah tombol kecil berwarna merah. "Tombol apa ini, Kangmas?"
"Coba kutekan."
Aku menekan tombol merah itu dengan jempol kananku, lalu suara dering telepon yang panjang terdengar begitu berisik, kemudian lantai yang kami pijak menjeblak ke bawah. Aku meluncur ke bawah, istriku juga. Suasana masih terang benderang saat kami terus turun tanpa bisa berhenti.
"Kita turun ke mana ini, Kangmas?"
"Aku tidak tahu, Diajeng. Tetap waspada."
Akhirnya kami berhenti setelah sampai di tempat mendatar di mana seluruh ruangan berwarna perak polos tanpa ukiran atau pahatan sedikit pun. Bau wangi jeruk lemon begitu semerbak, lalu perlahan-lahan dinding di depan kami bergeser ke samping, memperlihatkan jalan raya Slipi yang dingin dan sepi. Masih dini hari ini tampaknya, sekitar jam satu atau jam dua. Aku menggigil kedinginan, apalagi aku hanya memakai celana dalam. Istriku memelukku erat sambil mengajakku keluar. Kami nyaris telanjang dan tidak memakai masker, sungguh bahaya kalau ketahuan polisi dalam situasi seperti ini. Akhirnya kami membulatkan tekad untuk nekat berlari menyeberang jalan tanpa melewati jembatan penyeberangan. Di tengah teriakan dan siutan orang-orang yang masih begadang di sekitar Pasar Slipi, kami terus saja berlari, sampai kemudian ke jalan Anggrek Rosliana, tepat di depan rumah kami yang halamannya sangat luas dan tidak berpagar.
"Kunci cadangan kau letakkan di mana, Diajeng?"
"Di lemari rahasia sebelah bel pintu, Kangmas."