"Kangmas, aku ... masih mengantuk."
"Sama, Diajeng. Aku juga."
"Kangmas mau tidur lagi?"
"Aku akan berupaya sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari ikatan tali laknat ini."
"Kalimat kamu murahan sekali."
"Kupikir kalimatku tadi heroik."
Istriku tertawa, aku juga, dan sungguh asyik, rasa kantuk kami hilang. Aku takjub betapa aku tidak ingin menguap lagi dan aku yakin istriku pasti merasakan kepuasan yang sama. Tunggu dulu. Tahan sebentar.
Aku mengumpulkan energi sedemikian rupa sehingga pelan-pelan ikatan tali itu sedikit demi sedikit mengendur. Istriku bergoyang-goyang ke kanan, kiri, depan, dan belakang, lalu tali-tali itu mulai melemah ikatannya, kemudian terlepas begitu saja ke lantai. Aku dan istriku lalu segera berdiri dan saling mematut di depan kaca masing-masing. Aku tidak tahu apakah aku harus mengagumi tubuhku yang sebenarnya tampak kekar di depan kaca dan sebenarnya harus kuakui Si Jubah Hitam betul saat dia menyebutku mirip Yul Brynner. Untung aku pernah menonton ketiga film aktor ini walaupun tidak di bioskop, yang pertama saat dia berperan sebagai Raja Siam, yang kedua saat dia merupakan Raja Mesir, yang ketiga saat menjadi koboi jagoan yang berupaya mengusir para bandit ganas dari sebuah desa.
Istriku memelukku erat dari belakang, lalu dia tersenyum menatap kaca. "Bukankah kita serasi sekali, Kangmas?"
Aku mengangguk dengan hati berdebar-debar menanti apa yang terjadi selanjutnya. Tidak semestinya di situasi semacam ini aku memperturutkan hawa nafsu, tapi apa daya istriku sangat menggoda.
Suara sempritan peluit yang panjang mengagetkan kami berdua. Darimana asalnya ya? Mengganggu nafsu saja kalau begini. Baiklah sekarang kami harus mencari jalan keluar dari ruangan penuh kaca setan ini.