Mohon tunggu...
septiambar
septiambar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penggiat Parenting dan Pekerja Sosial

Penulis, Penggiat Parenting dan Pekerja sosial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Obral" Pendidikan Dokter

9 Mei 2016   10:59 Diperbarui: 9 Mei 2016   11:17 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

foto pribadi

Pernah suatu waktu dapat cerita dari suami saya yang kebetulan berprofesi jadi dokter. Dulu ketika pertama kali memakai jas putih di lorong rumah sakit ada hal yang berbeda, yaitu tatapan orang-orang yang berpapasan dengannya. Seperti ada binar mata yang berbeda, orang-orang cenderung ramah kepadanya. Itu hanya sedikit saja analogi sederhana bagaimana profesi dokter ini menjadi impian untuk banyak orang. Secara dokter memiliki practiseyang tinggi, kedudukan dimasyarakat sangat diakui, banyak lajang bercita-cita mendapatkan calon pasangan dokter, atau banyak orang tua yang berkeinginan mempunyai calon mantu dokter, belum dalam tataran bermasyarakat kedudukan dokter dianggap sebagai profesi yang menjanjikan untuk bisa mengumpulkan pundi-pundi uang, dokter itu kaya dan dokter itu terhormat.

Paradigma masyarkat ini sudah ada sejak jaman nenek moyang, buktinya dulu saja saat anak-anak ditanya besok kalo besar cita-cita ingin jadi apa? Jawaban favorit anak adalah dokter meski ada cita-cita lain seperti pilot, pengusaha, guru, arsitek dll. Bagaimana jalan menuju menjadi dokter tidak banyak masyarakat yang tahu tentang sistem pendidikannya. Untuk menjadi dokter perlu menempuh bertahun-tahun, pendidikan pertama adalah Strata 1 yang ditempuh hampir sama dengan jenjang pendidikan S1 jurusan lainnya kira-kira 4-5 tahun. Setelah lulus menempuh S1 seorang lulusan mahasiswa kedokteran bergelar Sarjana Kedokteran. Untuk mendapatkan gelar dokter harus menempuh pendidikan profesi lagi selama kurang lebih 1 tahun atau sering orang umum dengar tentang pendidikan KOAS. Kemudian setelah menempuh pendidikan tersebut barulah bisa memperoleh gelar dokter setelah Sumpah dokter dibacakan. Tidak selesai disitu jika ingin berkembang sesuai bidang keahlian yang diminati seorang dokter harus menempuh pendidikan profesi spesialis yang juga membutuhkan waktu tidak sedikit sekitar 4-5 tahun pendidikan lagi.

Coba hitung berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan saat menempuh pendidikan dokter ini. Kita semua tahu bahwa jurusan kedokteran adalah satu dari banyak jurusan yang mahal. Jurusan kedokteran dianggap hanya untuk orang-orang berkantong tebal saja, sangat banyak anak-anak berprestasi yang bermimpi untuk menjadi dokter harus mengubur dalam-dalam cita-citanya hanya karena  tidak sanggup membayar biaya pendidikan dokter. Seolah-olah pendidikan dokter memang dikhususkan untuk mereka yang dari keluarga berada. Tak ayal input mahasiswa jurusan kedokteran jarang yang mempertimbangkan prestasi dan akhlaknya, siapa saja yang sanggup membayar biaya pendidikan dia yang punya kesempatan untuk menjadi dokter tanpa mempertimbangkan nilai dan prestasi akademiknya. Menjadi persoalan baru karena dokter adalah sebuah profesi yang punya tanggung jawab penuh melayani masyarakat dari semua kalangan. Baik miskin atau kaya karena setiap warga negara mempunyai hak sama untuk mendapatkan layanan kesehatan yang baik. Bagaimana jika produk pendidikan dokter yang hanya mempertimbangkan kemampuan finansialnya saja nantinya? Akan banyak dokter yang tidak kompeten secara keilmuan dan bisa saja diperparah dengan perilaku dan akhlak yang kurang baik.

Pada tahun ajaran baru sekarang 2016/2017 menurut berita Kompas hari ini 9 Mei 2016 pemerintah membuka delapan fakultas kedokteran baru yang berarti sekarang jumlah fakultas kedokteran di Indonesia menjadi 83 dimana 45 diantaranya masih terakreditasi C. Kondisi ini tentu membuat kita bergidik ngeri, bagaimana tidak? profesi ini nantinya akan bertanggungjawab penuh tentang kelangsungan kehidupan seseorang. Bagaimana kualifikasi mutu lulusannya jika begitu?

Padahal yang saya tahu pendidikan dokter tidak semata-mata hanya belajar dari transfer ilmu saja, teknis pembelajaran yang umum dilakukan oleh jurusan lain. Pembelajaran di kelas, mengkaji buku dan diskusi kelas. Pendidikan dokter adalah pendidikan profesi yang memerlukan tempat untuk belajar langsung/praktek langsung dilapangan, berhadapan langsung dengan masalah yang juga harus belajar mencari solusinya.  Sehingga bisa dipastikan bahwa sarana untuk menunjang profesi ini sangat vital diperlukan. Contoh sarana penunjang ini adalah keberadaan Rumah Sakit atau tempat untuk belajar langsung menangani pasien. Semisal di Universitas Gajahmada mahasiswa kedokteran banyak melakukan tugas-tugas kuliah di Rumah Sakit rekanan yang sebelumnya sudah ada perjanjian dengan pihak UGM, semisal di RS Sarjito Yogyakarta.

Permasalahan lain yang juga berpengaruh besar terhadap mutu lulusan pendidikan dokter adalah keberadaan tenaga pengajarnya (dosen). Menurut data kompas berberapa perguruan tinggi yang ada fakultas kedokterannya masih belum memenuhi standar antara jumlah dosen dan mahasiswanya, dicontohkan beberapa kampus di luar jawa. Rasio jumlah dosen dan mahasiswa untuk pendidikan dokter idealnya 1 :10. Kesulitan yang ditemui tidak hanya dialami oleh perguruan tinggi pengelolanya saja tetapi oleh calon mahasiswa lulusan Perguruan tinggi tersebut jika fakultas tempat mereka menuntut ilmu masih belum terakreditasi baik. Saat mereka lulus dengan akreditasi belum memenuhi standar hampir bisa dipastikan mereka akan sulit terserap di dunia kerja.

Belum lagi masalah biaya, konon masuk fakultas bergengsi ini butuh dana tidak sedikit, jangankan perguruan tinggi negeri yang biasanya tergolong lebih murah dibandingkan swasta saja biaya masuk hampir mendekati angka fantastis ratusan juta rupiah. Pun seperti sebelumnya menurut berita beberapa perguruan tinggi yang tersebar di seluruh Indonesia khususnya swasta biaya masuk ada yang mencapai angka 250 juta hingga 325 juta, belum biaya per semester yang mencapai 10 juta. Bahkan ada cerita dari salah satu lulusan kedokteran jika ia telah menghabiskan biaya sekitar 500 jt untuk bisa sampai menjadi dokter. Angka tersebut tentu saja untuk sebagaian masyarakat Indonesia menengah kebawah adalah nominal yang tak pernah terjangkau oleh pikiran. Biaya tinggi ini dibutuhkan untuk keperluan penunjang teknis pembelajaran, dimana fakultas kedokteran jelas membutuhkan fasilitas yang berbeda dibandingkan dengan jurusan lainnya. Kebutuhan laboratorium yang lengkap, SDM yang kompeten, dan beberapa faktor penunjang lainnya yang tidak ada pada jurusan lain.

Beberapa perguruan tinggi di Indonesia yang telah memiliki fakultas kedokteran beberapa tempat dianggap kurang layak karena tidak memiliki beberapa syarat sebagai tempat ideal untuk menempuh pendidikan profesi dokter ini. Bahkan beberapa kasus pernah terjadi di salah satu perguruan tinggi swasta di luar pulau jawa, mahasiswanya yang sudah menempuh hampir tiga semester harus berhenti sejenak karena masalah internal kampus yang konon ceritanya beberapa tenaga dosennya harus mandeg karena masalah tersebut.

Polemik tentang pendidikan profesi dokter ini tentu menjadi masalah serius, pemerintah harus bisa melakukan kontrol yang terstadar dan ketat demi keberlangsungan kehidupan masyarakat Indonesia yang nyaman dalam bidang kesehatan. Profesi dokter adalah profesi yang berada pada garda terdepan, profesi yang langsung menyentuh permasalahan kesehatan, profesi dimana nyawa seorang manusia terdapat ditangannya, profesi sebagai tangan panjang sang pencipta untuk menyembuhkan pasien-pasien yang menderita sakit.  Untuk itu wajib dibutuhkan dokter yang berkualitas secara keilmuan, akhlak dan etika. Kompeten dalam bidang keilmuannya, profesional dalam pelayanannya, dan mengutamakan kepentingan pasien diatas kepentingan pribadi, dokter yang menjunjung tinggi profesionalisme pekerjaan dan layanan, bukan dokter yang hanya berfikir mengembalikan modal kuliah atau dokter yang hanya bertujuan menumpuk pundi-pundi rupiah saja.

Dokter bukan tentang status sosial, dokter bukan seorang yang wah dalam pandangan, dokter adalah prajurit Indonesia dimana orang-orang yang terpilih untuk bekerja dalam profesi ini tentu bukan orang biasa, tetapi orang terpilih yang nantinya bisa menyelamatkan nyawa-nyawa beribu manusia. Orang yang siap untuk mengorbankan waktu dan menjunjung tinggi kesejawatan profesinya dalam melayani masyarakat dengan hati, jiwa bersih, dan sikap ksatria.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun