Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh. Hai, orang-orang yang beriman! Yang tidak beriman, tidak hai! Wkwkwk.
Pertama-tama, bersyukurlah karena masih bisa bernapas sambil membaca tulisan ini. Salam kenal, yaaa, Para Kompasianer!
Aslinya saya masih bingung mau mulai nulis apa di sini. Karena harus saya akui, ini adalah tulisan pertama yang saya publikasikan di Kompasiana. Lagian, biasanya saya cuma jadi pembaca doang, sih. Pembaca diam-diam, pula. Tapi mungkin tulisan pertama saya ini bisa jadi gerbang perkenalan kita, biarpun niat saya mau mengenang masa-masa SMA. Haha.
Ya sudah, daripada kebanyakan pembuka, mari membaca artikel pertama saya yang semoga menghibur dan tetap membumi di bawah ini!
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Peristiwa ini berlangsung kurang lebih tujuh atau delapan tahun yang lalu -saya lupa tepatnya tahun berapa. Waktu itu saya masih kelas sepuluh. Kebetulan, di kelas saya isinya murid perempuan semua. Jadilah suasana pasar pindah ke kelas saya.
Nah, suatu hari, saat pelajaran, kami diajar oleh sang pemilik yayasan. Itu memang jam dan mata pelajaran milik beliau, karena pelajaran itu 'katanya' cuma bisa dijelaskan oleh beliau.
Di tengah suasana kelas yang sunyi karena semua siswi tengah mencatat, Pak Guru ini berkeliling ruangan. Memastikan bahwa semua murid memang mengabadikan penjelasan dengan tulisan. Hening. Lalu ....
"Praaang!!!!"
Suara itu berhasil menarik perhatian seisi ruangan, termasuk Pak Guru yang sedang berkeliling. Didekatilah sumber suara. Di sana, ada tempat pensil nan penuh pulpen, kaca cermin, hingga foto versi cetak si pemilik. Semuaaanya keluar dari wadah.
Dari semua benda yang berserakan, beliau paling tertarik dengan selembar kertas yang menampakkan wajah dua siswinya. Dipungutlah benda tersebut. Kemudian ditatapnya lekat-lekat, memastikan siapa yang ada di dalam foto yang beliau pegang. "Ini foto siapa?" tanyanya.
"Saya Pak, sama dia," jawab si Murid sambil menunjuk teman semeja.
"Iya, Pak, itu kami berdua," timpal cewek di sebelahnya.
"Foto beginian kok pakai acara dipajang segala?"
"Ya nggak apa-apa, Pak. Itu kan buat bukti kalau saya sama dia sahabat yang nggak akan terpisahkan. Tapi cantik, kan, Pak?"
"Terserah kalian, lah. Ini, saya kembalikan." Diserahkanlah foto itu kepada pemiliknya kembali. Tapi sebelum diterima oleh lawan bicaranya, beliau menarik foto itu lagi. Lalu melanjutkan, "Eh, tapi ini sepertinya lumayan kalau saya minta untuk nanti dipajang di rumah saya."
"Wah, boleh banget, Pak. Kapan lagi Bapak bisa punya foto cewek cantik. Kalau Bapak mau minta lagi, kami masih punya banyak foto yang kayak gitu. Bapak mau?"
"Boleh." Beliau masih menatap foto itu secara antusias. "Nanti biar saya tempel di dinding. Lumayan, saya jadi nggak pusing cari cara untuk menakut-nakuti tikus di rumah saya," sambungnya enteng, sambil tersenyum meyakinkan.
"Yang bener aja, Pak? Foto cewek secantik ini, masa buat nakut-nakutin tikus????" pekik dua teman saya itu, tak menyangka.
Ya kali.
Hahahaha. Gara-gara ingat kejadian itu, saya jadi ketawa-ketiwi nggak jelas. Ampun deh itu orang. Selalu aja bisa mencairkan suasana kelas yang semula beku.
Pernah suatu hari beliau bilang, "Saya ini bukan orang baik-baik, lho. Makanya saya kalau ngomong seringnya nggak mikir. Jadi, kalau kalian meniru saya yang begini, ya pasti sesat."
Tapi dari pernyataan itu, saya sadar kalau ternyata kami lebih percaya kepada tindakan beliau daripada nasihat-nasihat baik yang justru jarang kami dengarkan; sebagaimana orang-orang di luaran sana yang lebih percaya kepada apa yang saya lakukan daripada apa yang saya katakan.
Semoga beliau sehat selalu.
Sekian, cerita dari saya. Semoga ada manfaat yang bisa diambil dari artikel pertama saya ini. Amiiin.
Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H