“Kirim pesan ketika kamu butuh aku. Aku siap kapan saja itu, dan ku balas sebisa mungkin.” Dengan nada lirih ku ucap, dengan hati merintih kesakitan, dengan mulut ku yang membuka sementara otak ku terbungkam.
Aku memang tidak lebih dari “dulu” yang pernah kami rasa. Walau hanya sepotong memori yang ku punya, aku akan mencoba untuk melihat dan mendengar.
Aku mendengarnya, meski lirih dan samar. Namun, itu membuat ku lemah. Sudah pula, ku dengar dengan hati. Tapi, hati ini sepertinya menuli.
“Akankah hati ini tuli? Tidak mendengar lagi apa yang ingin kau ucap?” pikir ku. Dalam suasana hening, aku pun mulai bertanya lagi, “Benarkah hati ini akan buta? Tidak melihat yang kau usahakan?” hanya itu… Hanya pertanyaan konyol bagi seseorang yang sehat. Tapi, sepertinya aku tidak.
Yang sedikit ku yakini, ia masih dipihak ku. Dari aku melihat matanya, senyumnya, yang memang biasa saja. Nampaknya. Namun, itu seperti potongan – potongan roti yang berharga bagi ku. Tak sekadar ku telan, namun ku rasakan.
Ku tegaskan! aku percaya meski sebutir pasir bersaksi , bahwa kau masih memperjuangkannya. Meski keraguaan mencoba membodohi ku lagi. Semoga kita bisa seperti dulu. Melanjadikan moment terpisah ini adalah bagian dari indahnya kenangan. Ku tunggu waktu itu, dengan harap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H