Evaluasi oleh Poststrukturalisme
Ajaran di sekolah dasar bahwa ibu memasak di dapur dan Ayah membaca koran tidak bisa dipungkiri berkontribusi pada banyaknya subordinasi pada perempuan. Bahkan asumsi ini menormalkan ketidaksetaraan gender dan melemahkan daya kritis akan ketidaksetaraan gender. Buruknya lagi, kurangnya kesadaran akan kesetaraan gender memiliki implikasi yang signifikan dan luas, mencakup aspek sosial, ekonomi, dan kesehatan. Kurangnya pemahaman tentang kesetaraan gender misalnya mengarah pada diskriminasi terhadap perempuan yang meliputi kekerasan fisik dan seksual, serta pelecehan yang meningkat, yang sering kali berasal dari norma sosial yang patriarkal (Jihaan, 2021). Data menunjukkan bahwa banyak perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual, yang sebagian besar disebabkan oleh minimnya kesadaran orang mengenai keadilan gender.
Stereotip gender yang kuat pun hingga saat ini menyebabkan perempuan sering kali tidak mendapatkan akses yang sama dalam pendidikan dan kesempatan kerja. Dalam dunia pendidikan dan asumsi umum masyarakat, masih ada peraturan sekolah yang masih bias gender serta pandangan bahwa pendidikan tinggi tidak perlu untuk perempuan. Hal yang sama kemudian berdampak pada rendahnya angka partisipasi perempuan dalam dunia kerja dan posisi kepemimpinan. Lebih jauh lagi ketidakadilan gender yang terus berlanjut dapat memperkuat sikap seksisme di kalangan generasi muda (Pertiwi, 2022). Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan dengan ketidaksetaraan gender pun cenderung menginternalisasi asumsi yang dinormalkan sejak kecil, sehingga memperkuat stereotip dan diskriminasi di masa depan. Apabila tidak ada kesadaran dan tindakan untuk memperbaikinya, semua ini akan menciptakan siklus dimana perempuan dianggap hanya untuk melayani laki-laki serta terus berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Poststrukturalisme melihat bahwa gagasan mengenai sistem universal yang ditopang oleh oposisi biner seringkali menjadi tindakan kekerasan (Anom: 2024, 123) untuk yang disubordinasikan dalam oposisi, termasuk dalam pembagian antara ibu memasak di dapur dan ayah membaca koran. Poststrukturalisme menyoroti bagaimana gagasan mengenai sistem universal yang didasarkan pada oposisi biner sering kali berujung pada tindakan kekerasan terhadap mereka yang terpinggirkan dalam struktur tersebut. Dalam konteks ini, pembagian peran antara ibu yang memasak dan ayah yang membaca koran mencerminkan dinamika kekuasaan yang tidak seimbang, di mana perempuan ditempatkan dalam posisi subordinat.
Secara poststrukturalisme asumsi ini dipertanyakan, bagaimana bisa kegiatan ibu yang menyiapkan makanan seimbang dengan kegiatan ayah yang hanya santai menikmati bacaannya pada koran. Lensa poststrukturalisme melihat kekeliruan pemberian makna bahkan nilai yang diberikan kepada kedua kegiatan tersebut. Menyiapkan makanan bukan hanya sekadar tugas domestik melainkan juga sebuah bentuk pengabdian, kreativitas, dan keterampilan yang memerlukan waktu dan usaha. Sementara itu, membaca koran dapat dipandang sebagai cara untuk mendapatkan informasi dan memperluas wawasan. Akan tetapi, apabila dianggap bahwa satu aktivitas lebih bernilai daripada yang lain bahkan hanya berdasarkan gender maka hal itu mengabaikan kompleksitas dan kontribusi masing-masing peran.
Dalam perspektif poststrukturalisme juga, bahwa berangkat dari oposisi biner, asumsi dan praktik ibu tempatnya di dapur dan langsung kontras bahkan tidak sebanding dengan ayah membaca koran sudah selalu ada pembagian yang jelas antara mana yang lebih unggul dan mana yang lebih subordinat. Dalam sistem patriarki, oposisi biner ini menyepelekan perempuan, termasuk bahwa Wati bertugas mencuci piring dan Budi hanya bermain layang-layang. Kerangka berpikir oposisi biner dan sistem patriarki melihatnya sah-sah saja tetapi orang yang berpikir secara poststrukturalisme justru mempertanyakan klaim ini bahkan cenderung menolak. Tidak ada alasan rasional yang dapat membenarkan klaim bahwa anak-anak perempuan harus bekerja sementara anak-anak laki bermain. Apabila melihat konteks perbandingan pun akan sangat kontras menunjukkan ketidakadilan, apa yang dilakukan anak-anak perempuan merupakan tugas dalam rumah tangga yang bertujuan untuk kepentingan keluarga. Sebaliknya, anak laki-laki melakukan kegiatan yang merupakan kesenangan pribadi yang seharusnya juga dinikmati oleh seorang anak perempuan.
Secara poststrukturalisme, asumsi bahwa anak-anak perempuan mencuci piring dan anak-anak laki bermain merupakan sebuah model struktur tertentu. Oleh karena itu dapat dikritisi karena sesungguhnya struktur itu bersifat sementara dan semua makna bersifat terbuka (Anom: 2024, 123). Akan berbeda apabila kegiatan mencuci piring dilakukan bersama oleh Wati dan Budi karena itu merupakan tugas untuk kepentingan bersama sehingga dapat meringankan beban tugas. Tidak harus langsung menggunakan pembagian tegas bahwa Wati (anak perempuan) saja yang mencuci piring dan Budi (anak laki-laki) tidak boleh bahkan hanya bermain saja.
Di era kontemporer, dalam kerangka berpikir yang memuat poststrukturalisme setidak telah terjadi kemajuan dan perubahan oleh kelompok yang menyebut diri feminisme. Perjuangan akan kesetaraan gender digaungkan di ruang publik termasuk di bidang politik dan pemerintahan. Meskipun ada kemajuan, tantangan besar tetap ada. Banyak orang masih berpegang pada pandangan tradisional bahwa memasak adalah tugas perempuan. Oleh karena itu, penting untuk terus mendiskusikan dan mendidik masyarakat tentang kesetaraan gender dan pentingnya berbagi tanggung jawab dalam keluarga. Kampanye-kampanye seperti #SuamiIstriMasak yang dipromosikan oleh beberapa pasangan selebritis juga menjadi langkah positif untuk mengubah pandangan ini. Dengan melibatkan laki-laki dalam kegiatan memasak secara terbuka diharapkan stigma negatif terhadap laki-laki yang memasak dapat berkurang (Jihan, 20211).
Dalam poststrukturalisme, oposisi biner seperti perempuan versus laki-laki atau domestik versus publik tidak hanya menciptakan kategori yang kaku tetapi juga memperkuat hierarki sosial. Misalnya, dalam pembagian peran tradisional, ibu dianggap sebagai pengurus rumah tangga dan pelaksana tugas domestik, sementara ayah dilihat sebagai pencari nafkah dan pengambil keputusan. Hal ini mengakibatkan perempuan sering kali kehilangan suara dan kontrol atas kehidupan mereka sendiri, yang dapat berujung pada berbagai bentuk kekerasan, baik fisik maupun psikologis.
Pembagian peran yang tidak seimbang tidak hanya menciptakan ketidakadilan gender tetapi juga mengakar dalam budaya masyarakat. Saat pelajaran di sekolah bahkan dalam buku yang beredar di masyarakat, dogmatisme ibu memasak di dapur dan ayah membaca koran; Wati mencuci piring dan Budi bermain layang-layang bukanlah hal sepele dan tidak boleh dinormalkan. Normal yang dinormalkan harus dikritisi. Ketika perempuan dipaksa untuk mematuhi norma-norma ini, mereka sering kali mengalami tekanan untuk memenuhi ekspektasi yang ditetapkan oleh masyarakat. Akibatnya, perempuan yang melanggar norma ini dapat mengalami stigma sosial atau bahkan kekerasan dari lingkungan sekitar mereka.Â
Poststrukturalisme menawarkan pendekatan dekonstruktif terhadap pemahaman tradisional tentang gender. Dengan membongkar oposisi biner ini, setiap orang dapat mulai melihat bahwa peran gender tidak bersifat tetap dan dapat direkonstruksi. Rekonstruksi pertama dapat dimulai dari asumsi "ibu memasak di dapur dan ayah membaca koran" direkonstruksi menjadi  "ibu dan ayah sedang memasak di dapur" atau "ayah dan ibu sedang membaca". Rekonstruksi sederhana ini sekiranya memberi salah satu gambaran pilihan tindakan yang setidaknya lebih seimbang dan membuat posisi  perempuan sebanding dengan laki-laki.