Ibu Memasak di Dapur, Ayah Membaca Koran: Menelisik Asumsi Keliru yang Dinormalkan
Pengantar
Dalam keasyikan dan manisnya masa sekolah dasar, suatu paradigma keliru mengisi nadi tanpa sempat disaring. Seolah fungsi hati hilang karena otak yang dikepala telah menganggap apa yang sedang masuk ke tubuh memang sudah lumrah. Tidak jarang contoh kehidupan yang biasa ditampilkan di buku bahkan bapak dan ibu guru terus mengulanginya bahwa ketika ibu sedang memasak di dapur ayah pun sedang membaca korannya. Adakah yang janggal pada kegiatan ibu dan ayah dari contoh yang terus diulang dan ditanamkan ke hati dan kepala ketika sekolah dasar ini? Barangkali sulit untuk mengatakan iya karena memang tanpa disadari telah tertanam kuat sebuah pola pemikiran besar, lazim dan dinormalkan begitu saja bahwa perempuan tempatnya selalu untuk melayani laki-laki.Â
Perempuan lebih rendah dan laki-laki lebih superior. Asumsi seperti ini kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari walaupun secara praktis hampir sulit untuk memperhatikannya. Ketika bertamu misalnya, secara spontan adik perempuan, kakak perempuan, ibu atau siapa saja yang dianggap perempuan memiliki tugas untuk menyiapkan minuman. Alasannya mungkin sangat sederhana, mereka yang lebih paham tentang hal semacam itu. Akan tetapi sejak kapan mereka menjadi lebih paham dan mengapa mereka bisa lebih paham atau mengapa mereka harus lebih paham jarang dipertanyakan.
Asumsi bahwa dapur menjadi tempatnya perempuan dan laki-laki sama sekali tidak perlu membantu bahkan dilarang ke dapur masih menjadi rujukan dalam kehidupan sehari-hari. Asumsi semacam ini sejatinya tumbuh subur dalam realitas atau dinamika yang sejak awal didominasi oleh orang yang berpikir secara patriarki. Dalam bedahan poststrukturalisme, hal semacam ini mencerminkan norma-norma patriarkal yang mengakar dalam masyarakat, di mana memasak dan mengurus rumah tangga dianggap sebagai tanggung jawab perempuan semata. Apakah patriarki bernilai buruk, diskusinya tidak akan sampai menilai secara moral tetapi bisa sangat mendekati. Hanya akan digali dan dilihat secara berbeda sembari menemukan inspirasi yang berbeda.Â
Penormalan Asumsi
Secara umum asumsi bahwa ibu tempatnya di dapur dan ayah bersantai di ruang tamu ini diterima begitu saja oleh orang yang sejak awal hidup dengan pola pikir bahwa perempuan memang tempatnya di dapur untuk melayani suaminya. Di banyak keluarga, perempuan bahkan kerap dianggap sebagai 'ratu dapur' yang diharapkan untuk menguasai keterampilan memasak dan mengurus rumah tangga. Asumsi semacam ini tentu tidak hanya membatasi peran perempuan tetapi juga menciptakan anggapan lain bagi laki-laki yang ingin terlibat dalam aktivitas yang dilakukan oleh perempuan. Laki-laki yang membantu ibunya, adik dan kakak perempuannya serta istrinya memasak atau tindakan semacamnya kerap dianggap lemah atau tidak maskulin. Menurut data dari The Global Gender Gap Index yang diambil oleh Jihaan (2021), kesadaran akan kesetaraan gender di Indonesia masih rendah, terutama dalam hal pembagian tugas domestik.Â
Apabila ditelisik lebih jauh bagaimana pemikiran dan praktik tidak elok ini tetap bertahan hingga saat ini, ternyata pendidikan pun memberikan dampak yang sangat signifikan. Pendidikan tentang kesetaraan gender yang minim dan dogmatisme yang tidak tepat sejak dini berkontribusi pada penguatan stereotip bahwa laki-laki tidak boleh ke dapur atau tidak boleh melakukan tugas yang dianggap hanya tugas perempuan semata. Kembali ke bahan yang dipakai di sekolah misalnya terselip asumsi patriarki yang sangat kuat. Salah satu contoh lain yang memuat asumsi patriarki dan melanggengkan ketidaksetaraan gender yakni ajaran bahwa "Wati mencuci piring dan Budi bermain layang-layang". Dogmatisme sederhana ini memberikan dampak yang sangat besar dalam menempatkan posisi perempuan dan laki-laki dalam hidup sehari-hari. Dalam contoh yang terus diulang oleh bapak-ibu guru ini, pertama-tama harus diperjelas bahwa Wati dalam asumsi ini menunjuk ke anak perempuan dan Budi menunjuk ke anak laki-laki. Asumsi dan klaimnya jelas bahwa anak-anak perempuan wajib hukumnya untuk mencuci piring sementara anak laki-laki bebas untuk bermain.Â
Terang bahwa asumsi semacam ini kerap diterima begitu saja selama ini, terlebih dalam budaya patriarki dan bahkan tertanam kuat pada semua orang yang dikatakan terdidik sejak kecil. Parahnya lagi, apabila diperhatikan perbandingan yang ditunjukkan, apa yang dilakukan anak perempuan merupakan sebuah pekerjaan dan dalam konteks membantu keluarga. Sebaliknya, apa yang dilakukan anak laki-laki hanya demi hobinya sendiri bahkan bisa dikatakan hanya demi kesenangannya. Demikian pun dengan perbandingan antara ibu yang memasak di dapur dan ayah yang membaca koran. Secara kuantitas terkait diperlukannya kekuatan fisik saja sudah sangat berbeda dalam aktivitas ibu yang memasak dan ayah yang hanya membaca koran. Selain itu, kegiatan menyiapkan makanan merupakan kegiatan untuk keluarga, tidak ada alasan yang begitu meyakinkan untuk menjelaskan bahwa mesti ibu yang menyiapkan makanan dan adik perempuan yang mencuci piring untuk keluarga sementara ayah bersantai saja dan anak laki-laki pun hanya bermain saja.
Sayangnya, oposisi biner dalam kasus ibu harus di dapur dan ayah tidak perlu membantu bahkan diperparah dengan asumsi bahwa ayah memang tugasnya membaca koran. Sebuah pembedaan dan perbandingan antara dua hal yang sangat tidak proporsional tetapi oposisi biner membenarkannya. Harus diakui bahwa ada kesenjangan gender bahkan dalam rumah tangga, semua ini dapat dimulai dari ketidakseimbangan dalam pembagian tugas dan tanggung jawab. Lebih jauh misalnya, laki-laki sering kali didorong untuk mengejar karir, sementara perempuan lebih banyak terikat pada pekerjaan domestik.Â
Realitas semacam ini apabila digali bagaimana pelanggengannya dapat ditemukan dalam banyak aspek termasuk dalam pendidikan. Anggapan bahwa sekolah dapat menjadi wadah memperjuangkan kesetaraan gender justru dapat menjadi sarana pelanggengan penderitaan perempuan. Sistem pendidikan yang kurang memperhatikan paradigma berpikir kritis dapat membuat posisi wanita lebih rendah dan bahkan ditanamkan secara masif di sekolah-sekolah sejak awal. Semua ini sesungguhnya dapat menyebabkan stres dan konflik dalam hubungan keluarga, dimana anggota keluarga, khususnya perempuan merasa tertekan dengan beban yang tidak seimbang. Hal ini pun berimplikasi lebih jauh pada perempuan yang kemudian merasa diremehkan dan kehilangan kontrol atas kehidupan mereka sendiri.