Mohon tunggu...
Cepik Jandung
Cepik Jandung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Belajar Kajian Budaya

Lulusan Filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Putusan Etis-Momen-Berjumpa dengan Yang Ilahi: Suatu Analisis Filsafat Ketuhanan

13 November 2024   14:05 Diperbarui: 21 November 2024   06:19 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

         Tidak bisa tidak, kesadaran moral memainkan peran yang sangat penting dalam mempengaruhi keputusan seseorang, khususnya dalam konteks pengambilan keputusan etis. Tanpa kesadaran moral, seseorang dapat terjebak pada asumsi semu, bias emosi atau pada desakan pragmatis belaka. Orang bisa saja menyetujui sebuah tindakan korupsi karena tidak ada yang melihat, ikut-ikutan, atau karena diancam. Keputusan-keputusan etis memang sangat sulit, namun sebuah kondisi dasar ketika otonomi secara bersama-sama dengan Sesuatu Yang Lain, di mana Ia hadir tanpa mencederai otonomi itu sendiri, pada momen itulah keputusan moral dapat dilakukan dengan tegas serta tanpa penyesalan. Sering kali kesadaran moral ini diidentifikasi dengan apa yang dinamakan sebagai suara hati atau sebuah intuisi yang membantu seseorang dalam menghadapi dilema moral. Apabila seseorang menghadapi pilihan yang sulit, suara hati berfungsi sebagai panduan yang memungkinkan dirinya untuk melakukan introspeksi moral secara mendalam. Suara hati membantu seseorang memahami nilai-nilai yang ia yakini dan membedakan antara benar dan salah.

       Dalam pencarian terkait apa sesungguhnya suara hati itu, salah satu definisi suara hati diperoleh dengan melihat ke dalam diri dan karakter subjektif. Dalam arti suara hati selalu memiliki pengetahuan tentang diri sendiri, atau kesadaran prinsip-prinsip moral yang telah seorang komitmenkan, atau penilaian diri sendiri, atau motivasi untuk bertindak.  Dalam suara hati seseorang menyadari bahwa ia berkewajiban mutlak untuk melakukan yang baik dan benar serta menghindari yang tidak benar. 

       Dalam kehidupan sehari-hari, suara hati bagaikan panggilan dari suatu realitas personal yang berkuasa atas diri seseorang yang kalau diikuti membuat seseorang merasa bernilai, aman, dan sedia untuk menyerah. Dalam hal ini kemutlakan suara hati dan kesadaran moral yang mutlak tidak dapat dimengerti kalau tidak ada yang mutlak, inilah yang orang beragama menyebutnya Allah. Dengan demikian kesadaran moral memang tempat paling utama manusia bertemu dengan dasar eksistensinya bersama Allah (Magnis; 2006, 175). 

Momen Perjumpaan dengan Yang Ilahi

        Lantas apa itu kesadaran moral secara konsensus? Kesadaran moral secara umum didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk menyadari dan memahami nilai-nilai yang berlaku dalam suatu situasi. Dalam hidup bermasyarakat, adanya sebuah kesadaran moral menjadi sangat penting. Setiap orang mesti berpedoman pada norma-norma etika untuk menjaga kebaikan dan harmoni sosial. Kesadaran moral membantu seseorang untuk membangun potensi diri menjadi lebih kreatif dan otonom. Kesadaran moral membantu menciptakan dinamika kehidupan sosial menuju kemajuan hidup berkembang (Suhartono; 2013, 5). Dengan demikian, kesadaran moral menjadi suatu yang esensial dalam menjadikan tindakan manusia terjamin menciptakan kenyamanan dan kebaikan. 

       Bagaimana kesadaran moral menjadi momen perjumpaan dengan Allah? Kesadaran moral merupakan sebuah konsep filosofis yang kompleks namun sangat relevan dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran moral bukan hanya tentang mengetahui melainkan juga tentang memahami nilai-nilai moral yang berlaku. Bersama komponennya seperti perasaan wajib, bebas, rasional, dan objektif, seseorang mampu meningkatkan integritas dirinya dan berkontribusi pada lingkungan sosialnya. Kembali ke konsep filosofis, kesadaran moral merupakan mengetahui apa yang sebaiknya dilakukan. Merujuk ke asal kata, konsep ini berasal dari bahasa Latin conscientia, yang berarti 'turut mengetahui'. Dalam konteks ini, kesadaran moral pertama-tama melibatkan kemampuan individu untuk mengenal baik buruk suatu perbuatan serta merasakannya secara batiniah (Megawati; 2023, 13).

        Sebuah kondisi dan keadaan serta kemampuan mengenal dan merasakan ini sudah selalu melibatkan 'yang bersama-sama mengetahui'. Sebuah momen jernih dan asali inilah yang membuat kesadaran moral menjadi tempat asali manusia dengan 'Yang Ilahi' tempat di mana terjadi koneksi paling dasar kepada Allah. Seseorang tidak melihat 'Yang Ilahi' dalam hati, tetapi ia menyadarinya, yaitu dalam keseriusan setiap tantangan moral (Magnis; 2006, 183). Keadaan dan kemampuan mengenal serta merasakan yang melibatkan yang bersama-sama mengetahui ini yang dinamakan hati nurani. Dalam situasi konkret, hati nurani ini diwujudkan dalam apa yang disebut suara hati. Suara hati bisa dikatakan berakar dari hati nurani. Hati nurani dianggap sebagai keterarahan mutlak pada yang baik dan benar sementara suara hati merupakan tanggapan langsung atas situasi konkret tertentu tetapi kemutlakan suara hati merupakan petunjuk bagi adanya yang baik dan benar yang bersifat mutlak.

        Meski demikian, tidak dapat ditarik kesimpulan lurus bahwa suara hati boleh saja disamakan dengan suara Allah. Suara hati merupakan suara dari lubuk hati kita sendiri yang berhadapan dengan realitas mutlak personal dan karena itu seseorang menilai segenap tantangan yang dihadapinya dari sudut benar-tidak benar. Dalam hal ini, pertama-tama dengan suara hati seseorang dihadapkan pada tuntutan yang mutlak, suara hati kita sadari sebagai suara yang kita hadapi, yang berhadapan dengan kita. Suara hati merupakan kesadaran bahwa realitas personal mutlak itu menuntut agar seseorang bersikap moral, memilih yang benar dan menolak yang tidak benar. Melalui suara hati personalnya, seorang manusia dimungkinkan menjadi sadar akan prinsip-prinsip moral yang ia pegang secara mendalam, ia termotivasi untuk bertindak berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, dan ia menilai karakternya, perilakunya dan juga menggunakan prinsip-prinsip tersebut terhadap orang lain. Realitas Personal-Mutlak yang menuntut ini dalam bahasa sehari-hari orang beragama disebut Allah.

         Salah satu contoh tentang suara hati dan kesadaran moral yang bisa ditawarkan misalnya kisah seorang yang bernama Marselus yang terpilih menjadi kepala desa di sebuah daerah. Pada suatu kesempatan, Ia memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi uang pembangunan desa hanya dengan mengambil beberapa juta dari satu milyar dan ia bisa menyembunyikannya lewat proyek tidak jelas. Marselus tidak melakukannya walaupun keluarganya sedang sangat membutuhkan uang untuk biaya kuliah anaknya. Marselus sadar bahwa korupsi sungguh suatu perbuatan jahat dan hatinya merasa gelisah saat memikirkannya. Dalam hal ini Marselus bisa dikatakan memiliki kesadaran moral yang tinggi dan sadar bahwa bertindak tidak jujur merupakan tindakan yang tidak baik.

       "Kesadaran moral adalah kesadaran bahwa perbuatan kita bisa bernilai baik atau buruk dan bahwa kualitas kita sebagai manusia tergantung dari apakah kita memilih yang baik daripada yang buruk" (Magnis; 2006, 177). Marselus dalam kasus ini sadar bahwa ia akan menjadi manusia tidak bermutu apabila melakukan korupsi. Kesadaran moral dalam situasi konkret seperti Marselus dalam konteks ini dalam bahasa sehari hari tadi disebut suara hati. Dengan demikian suara hati merupakan kesadaran moral dalam situasi konkret, dalam arti kesadaran bahwa dalam suatu situasi seseorang bisa memilih antara melakukan yang benar dan melakukan yang tidak benar dan seseorang tidak boleh melakukan yang tidak benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun