Dengan fokus pada pengalaman individu, fenomenologi dapat kehilangan nuansa penting yang berasal dari latar belakang sosial dan budaya peserta. Pengabaian konteks sosial dan budaya tentu menjadi poin lemah yang harus diperhatikan karena subyek sudah selalu dalam konteks sosial dan budaya tertentu.Â
Kritik lain disampaikan berkaitan dengan fenomenologi yang berfokus pada pengalaman subjektif individu, sehingga sulit untuk menggeneralisasi temuan ke populasi yang lebih luas. Hal ini dapat membatasi aplikasi praktis dari hasil penelitian.Â
Dalam kajian agama, fenomenologi sering dituduh memiliki agenda teologis yang tersembunyi. Beberapa kritikus berpendapat bahwa pendekatan ini dapat memperkuat relasi kekuasaan antara peneliti dan subjek penelitian, serta mengabaikan perbedaan kritis antara kajian ilmiah dan teologis (Rusli; 2008 146). Filsuf seperti Jacques Derrida mengkritik fenomenologi karena terjebak dalam metafisika kehadiran.Â
Ia berargumen bahwa fenomenologi perlu dibebaskan dari pandangan metafisik untuk memungkinkan pendekatan yang lebih fleksibel dalam penyelidikan fenomenologis. Beberapa kritikus juga mempertanyakan relevansi fenomenologi dalam konteks ilmu pengetahuan modern yang semakin objektif dan berbasis data. Mereka berargumen bahwa pendekatan ini mungkin tidak sejalan dengan metodologi ilmiah yang lebih empiris.
Kesimpulan
Fenomenologi lahir dari sebuah keprihatinan akan cara memandang dunia yang cenderung mengabaikan fenomena itu sendiri. Setiap orang dalam kesehariannya sudah memiliki konsepnya masing-masing tentang dunia yang dijalaninya tanpa memeriksa kebenaran dari yang dipikirkannya. Fenomenologi menawarkan sebuah metode bahkan menurut penulis akan lebih masuk sebagai salah satu cara menjalani keseharian.Â
Fenomenologi memang mendapat kritikan bertubi-tubi terkait dalam aspek penelitian. Akan tetapi fenomenologi sebagaimana yang saya katakan, bersumber pada filsafat dan memuat relevansi khasnya pada kehidupan personal seseorang.Â
Seseorang harus membiarkan dirinya menerima 'Ada-nya' dan menjalani keseharian dengan apa-adanya. Segala pengkonsepan tentu saja penting supaya tidak harus selalu mencari tetapi melihat segala sesuatu secara jernih dan apa adanya akan membuat hidup lebih ringan serta dapat menemukan makna pada hal-hal yang banal.
Daftar Pustaka
Hardiman, F. Budi. 2003. Heidegger dan Mistik Keseharian. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Phenomenological Research: Methods And Examples, dalam Harappa. Diakses dari https://harappa.education/harappa-diaries/phenomenological-research/, pada 22 Oktober 2024.