Mohon tunggu...
Cepik Jandung
Cepik Jandung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Belajar Kajian Budaya

Lulusan Filsafat

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Lintasan Sejarah Fenomenologi sebagai Metode

30 Oktober 2024   02:41 Diperbarui: 30 Oktober 2024   02:43 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar

Mungkin Anda pernah bertanya-tanya bagaimana kita sebenarnya menyadari segala hal di sekitar kita. Apakah kamar tidur yang saya tempati memang seperti yang saya sadari sekarang atau itu merupakan hanya hasil dari konsepsi yang saya lakukan dalam pikiran saya?  Lantas, apa itu menyadari? Fenomenologi, sebuah aliran filsafat yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti ini. Dimulai dari upaya para filsuf untuk membersihkan filsafat dari prasangka, aliran filsafat ini mengajak kita untuk kembali ke sumber pengalaman kita yang paling dasar. Dengan menggali lebih dalam tentang kesadaran dan pengalaman manusia, fenomenologi telah memberikan sumbangsih yang besar pada berbagai bidang ilmu pengetahuan.

Fenomenologi, yang secara harfiah berarti ilmu tentang gejala, akan tetapi tentu saja tidak dalam pengertian ini yang dimaksudkan oleh filsafat. Fenomenologi merupakan sebuah metode filosofis. Kok bisa? Fenomenologi dalam filsafat memiliki akar sejarah yang dalam pada perkembangan pemikiran filsafat. Secara umum Edmund Husserl, memang sering dianggap sebagai bapak fenomenologi, memperkenalkan metode ini pada akhir abad ke-20 sebagai cara untuk mengakses realitas secara lebih langsung (Hardiman; 2003, 21). Melalui "epoche" atau "pengurungan fenomenologis," Husserl mengajak kita untuk membraketkan semua asumsi dan kembali pada pengalaman murni. Sejak saat itu, fenomenologi terus berkembang dan melahirkan berbagai aliran, dengan tokoh-tokoh seperti Heidegger, Sartre, dan Merleau-Ponty yang memberikan kontribusi yang signifikan pada perkembangannya.

Sekilas pandang, fenomenologi muncul begitu singkat tetapi faktanya, penyangkalan demi penyangkalanlah yang memunculkannya. Tulisan ini hanya akan berfokus pada lintasan sejarah fenomenologi. Mengenai bagaimana fenomenologi pada setiap filsuf tentu memiliki penekanan kekhasannya masing-masing dan belum dibahas dalam tulisan ini. Akan tetapi meski hanya lintasan, dinamikanya memberikan penggugahan paradigma berpikir yang kritis dan mendalam karena secara khusus terkait bagaimana berkembangnya salah satu model berpikir filosofis yang bukan hanya pada penyangkalan demi penyangkalan melainkan juga isi dari penyangkalan yang substantif dan memiliki rasionalitasnya yang unik.

Konteks Kemunculan Fenomenologi

Fenomenologi harus saya sampaikan bukan sekadar teori atau konsep melainkan bahkan sebaiknya dianggap dan dipakai sebagai sebuah metode. Bagaimana bisa fenomenologi yang memuat kata logi dari logos (bahasa yunani) bukanlah sebuah konsep? Walaupun kita akan membahas bagaimana secara etimologinya (fenomenologi), namun logos pada satu pengertiannya yang lain berarti 'membuat kelihatan'. Singkatnya, fenomenologi berpretensi untuk membuat terlihat. Apa yang dibuat terlihat? Yah fenomena. Lantas apa itu fenomena? Yah, 'penampakan' atau 'yang kelihatan'. Fenomena dari dari kata phainomenon yang diterjemahkan sebagai "penampakan". Fenomenologi dengan demikian 'membuat terlihat yang kelihatan'. Fenomenologi yang dalam lingkungan filsafat disangkutpautkan dengan Husserl, memiliki sejarah yang kompleks (Gallagher; 2012, 6).

Munculnya metode fenomenologi merupakan hasil dari ketidakpuasan para filsuf dalam memahami realitas. Pemikiran menjadi mentok karena cara melihat realitas yang ditawarkan pada masanya tidak menjawab anomali yang muncul dari pergulatan konseptual dan cara memahami realitas. Dalam penggambaran perlintasan sejarah fenomenologi, metode atau pendekatan fenomenologis berkembang dari Hegel, Brentano, Husserl, Heidegger, termasuk filsuf eksistensialis seperti Sartre, hingga Merleau-Ponty. Setiap filsuf memiliki penekanannya masing-masing.  

Secara etimologis istilah 'fenomenologi' merupakan perpaduan dari dua kata Yunani 'phainomenon' dan 'logos'. Phainomenon (fenomena) secara umum dan cenderung diterjemahkan sebagai 'penampakan' (appearance). Kata phainomenon berakar pada kata phaino yang berarti 'menunjukkan/menampilkan' dalam bahasa Inggris to show, 'menerangkan' (to bring to light), atau 'membuat tampak' (to make appear). Sementara itu 'logos' artinya bervariasi sesuai konteks. 'Logos' bisa berarti ilmu, pembicaraan (word), argumen (argument), atau akal budi/rasionalitas (reason) (Sambera; 2008, 1). Dengan demikian fenomenologi secara harfiah berarti ilmu mengenai fenomena. Sebagaimana yang saya jelaskan di awal, fenomenologi dalam konteks ini sama sekali berbeda.

Apabila istilah "fenomenologi" sebagai satu paduan kata digali latar kemunculannya, menurut (Richard Sambera; 2008) fenomenologi tidak muncul dari perbendaharaan istilah Yunani kuno. Istilah fenomenologi muncul dalam lingkungan filsafat Jerman pada abad ke 18, jauh sebelum Husserl memperkenalkannya. Heidegger yang merupakan salah satu filsuf Jerman pun beranggapan bahwa istilah fenomenologi berasal dari Christian Wolff (1679-1754), orang yang pertama kali mensistematisasi karya G. W. Leibniz (1646-1716).  Heidegger sendiri juga kemudian menunjukkan konvergensi arti logos dan phainomenon. Logos adalah membiarkan sesuatu, yaitu phainomenon terlihat (Hardiman; 2003, 21), dengan demikian fenomenologi diartikan sebagai sebuah cara menunjukan apa adanya realitas. 

Dalam lintasan sejarah fenomenologi, salah satu dari antara karya-karya filsafat yang pertama kali dikenal mengkarakterisasi diri sebagai karya fenomenologis ialah Phenomenology of Spirit (Fenomenologi Roh) dari W. F. Hegel (1770-1831). Fenomenologi dalam konteks ini oleh Hegel dipakai untuk membedakan filsafat pengetahuan tentang pengalaman kesadaran (science of the experience of consciousness) dari idealisme transendental Kant (1724-1804). Oleh karena itu, sebagai pegangan, bisa dikatakan bahwa fenomenologi muncul sebagai respon terhadap Kant. Lantas kita perlu mempersoalkannya pada pemikiran yang ditawarkan Kant dan sejenak melirik konteksnya. 

Immanuel Kant seorang filsuf Jerman yang sangat berpengaruh dan dianggap sebagai salah satu tokoh utama Abad Pencerahan. Karya-karyanya yang mendalam dan sistematis dalam bidang epistemologi, metafisika, etika, dan estetika telah membentuk landasan bagi banyak pemikiran filsafat modern. Salah satu karya representatif Kant ialah Critique of Pure Reason (1781) yang merupakan bentuk awal dari apa yang sekarang kita sebut filsafat ilmu pengetahuan (philosophy of science) atau epistemologi. Perhatian utama Kant ialah membela gagasan Newtonian terhadap skeptisisme kritis dari David Hume (1711-1776), yang menolak bahwa penilaian yang sepenuhnya pasti dan andal tentang pengalaman adalah mungkin. Kant, beranggapan bahwa disiplin ilmu Matematika, Geometri, dan Fisika teoretis bisa mengantar kita pada kebenaran yang niscaya mengenai dunia meskipun hanya berdasar pada rasionalitas atau akal budi semata, dan bukan pada pengalaman atau eksperimen. Ambil contoh ketika saya mengatakan 3 + 4 = 7, hal tersebut merupakan kebenaran yang langsung jelas dengan sendirinya melalui akal budi semata, dan hal ini juga benar dalam dunia pengalaman. Bisa dipastikan bahwa apabila saya benar-benar menggabung tiga benda dan empat  benda maka akan benar-benar terkumpul 12 benda. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun