Mohon tunggu...
Sepis Jandung
Sepis Jandung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Aktif

Mahasiswa aktif Jurusan Filsafat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyentak Keterbuaian Insan Berbudaya dari Obsesi Globalisasi dalam Realitas Pariwisata

21 Agustus 2024   18:40 Diperbarui: 22 Agustus 2024   14:47 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pengantar

Sebuah kemunduran tentunya apabila kemajuan pariwisata dilawan apalagi diabaikan. Sebaliknya, justru kesadaran pertama yang dibangun adalah melihat kemajuan pariwisata sebagai keniscayaan realitas. 

Bersamaan dengan progresivitas dan masifnya perkembangan pariwisata di setiap tempat, realitas sosial kontemporer menghendaki adanya percampuran pemikiran, ide, dan budaya. 

Lantas, berwaspada dan kritis sama sekali bukan ancang-ancang lagi melainkan harus dipraktikkan. Mode waspada dan kritis tentu tidak berkonfrontasi terhadap kemajuan pariwisata. 

Akan tetapi, hakikat manusia sebagai insan berbudaya dan rasional merasa tertawan menyaksikan fenomena pengabaian terhadap identitas dan budaya sendiri akibat polarisasi budaya global.

Sangat disyukuri kemajuan pariwisata yang berjalan dengan cepat dan didukung oleh pemerintah. Berbagai proyek pembangunan diluncurkan oleh menteri pariwisata untuk menunjang progresivitas industri pariwisata. 

Pihak swasta pun turut mempercepat pergerakan pariwisata dengan berbagai bisnis dan penanaman modal yang masif. Berbagai dimensi positif tentunya diterima oleh masyarakat dan pihak pebisnis demikian pula dengan pemerintah, khususnya dalam bidang ekonomi. 

Sayangnya, terkait budaya, ekses negatif turut berjalan bersama apabila tidak waspada dan kritis. Tidak bisa dipungkiri, kemajuan pariwisata menggerus emosi dan nalar. Setiap pribadi diharapkan untuk mengambil jarak kritis serta menimba dimensi positif yang bisa diberdayagunakan dari berbagai model budaya yang dipraktekkan. Setiap wisatawan, entah yang lokal maupun internasional membawa identitas diri dan budayanya masing-masing.

Patut selalu diingat, waspada dan kritis bukan menentang kemajuan industri pariwisata melainkan hakikat diri sebagai insan berbudaya dan rasional. Dasarnya jelas, kemajuan dan pariwisata memang keniscayaan tetapi budaya merupakan jati diri. 

Kesadaran akan diri yang hidup sekarang ini tidak bisa diingkari merupakan pembentukan budaya. Budaya telah mengantar seseorang bertahan dan menjadi manusia yang diterima oleh masyarakat umum. 

Pengabaian budaya merupakan suatu kemunduran dan awal kebinasaan. Sejarah diciptakan dalam budaya dan fakta budaya itu mengantar sebuah komunitas sejauh ini menjadi bukti bahwa budaya tersebut menopang peradaban. 

Tentu dengan sikap kritis, tidak menutup kemungkinan untuk menggali terus inovasi serta unsur positif dari budaya-budaya orang lain bagi kehidupan sosial dan perkembangan budaya yang lebih baik.

Alam Pikiran dan Praktik Masyarakat Industri Pariwisata

Sebuah pemikiran berkaitan dengan realitas pariwisata menyatakan bahwa apa yang disebut hukum rimba bukanlah hukum alam sama sekali. Manusia sendiri yang membuatnya, oleh karena itu manusia bisa mengubahnya. 

Bertolak belakang dengan anggapan populer, dianggap sebagai kesalahpahaman dan ada bukti jelas tentang hal ini. Terkait perang misalnya, peperangan terorganisir muncul dalam catatan arkeologi hanya 13.000 tahun yang lalu. Dalam pencarian lebih jauh, setelah periode itu ada banyak periode tanpa perang sama sekali (1). 

Argumen ini hendak menunjukkan bahwa bukti perubahan memang ada di sekitar kita. Apabila merujuk pada pergerakan ekonomi, entah secara lokal maupun global dimensi ekonomi telah berubah dari yang berbasis material menjadi berbasis pengetahuan. 

Apabila dulunya ditemukan sumber utama kekayaan adalah aset material seperti tambang emas, ladang gandum dan sumur minyak, realitas saat ini sebaliknya menunjuk bahwa sumber utama kekayaan adalah pengetahuan. Pengetahun mengubah relasi antar pribadi, kelompok bahkan negara. 

Kenyataan yang sama terjadi pada bidang budaya dan pemikiran. Tidak bisa dipungkiri, telah terjadi pergeseran yang menggelegar dalam budaya global dan lokal. 

Banyak elit dalam sejarah kepala suku Hun, Jarl Viking, dan bangsawan Romawi, misalnya memandang perang secara positif. Elit lain, seperti gereja Kristen dulu misalnya memandang perang sebagai kejahatan tetapi tidak terhindarkan. Akan tetapi beberapa generasi terakhir memperlihatkan fakta sejarah dunia yang mempertontonkan monopoli elit yang melihat perang sebagai kejahatan dan sejatinya dapat dihindari.  

Menyoal kehidupan sosial dan budaya industri pariwisata, pemikiran dan praktik pembaharuan seolah tegak lurus dan suatu keharusan. Fakta kehidupan pariwisata memperlihatkan posisi yang menyatakan bahwa segala sesuatunya harus berubah. 

Kehadiran berbagai budaya dari berbagai latar belakang wisatawan seringkali membentuk pola pikir dan budaya yang baru dan sama sekali berbeda. Orang cenderung mengambil budaya yang menurut mereka menjadi pusat perhatian. 

Trend dan manipulasi globalisasi menyentil bahwa yang banyak pemakai menjadi budaya yang wajib. Realitas ini tentu tidak keliru apabila yang diambil atau budaya baru yang dipraktikkan mendatangkan kebaikan bagi sesama dan pribadi. Namun, kenyataan yang terjadi justru budaya yang menghancurkan semisal minum minuman keras yang banyak, mengenakan pakaian yang masih menunjukkan badan secara vulgar dan berbagai praktik negatif dan berbahaya lainnya.

Tentu saja sudah pasti ada implikasi langsung dan tidak langsung yang merusak dari praktik budaya negatif seperti ini. Mabuk menghasilkan orang yang berantem, melupakan rumah tangga, sakit-sakitan dan paling buruk kematian. 

Demikian pula dengan praktek budaya menunjukan badan secara vulgar, pendidikan agama yang belum cukup dan kondisi psikologis yang labil menghasilkan banyak orang hamil di luar nikah, banyak anak terlantar dan maraknya kasus pemerkosaan.

Realitas budaya dan pemikiran dalam konteks kehidupan pariwisata tampaknya menggendong pemikiran bahwa semuanya berubah, termasuk budaya dan cara hidup. Masing-masing pribadi bebas mengambil budaya yang menurutnya baik, tidak peduli semua itu mengharuskannya menanggalkan jati dirinya. Budaya yang saya miliki dari nenek moyang tidak pernah menjadi bagian dari diri meski itu sejatinya menjadi nyawa dari hidupku. 

Hentakan Tegas pada Obsesi Globalisasi

Fitur terpentingnya adalah perubahan besar dalam arti istilah "perdamaian". Bagi banyak pemikir dan budayawan bahkan para pemimpin negara secara rasional menghendaki kebaikan yang menciptakan perdamaian. Kemasifan dan progresivitas pariwisata memiliki tujuan utama untuk kebaikan dan kesejahteraan masyarakat. Kehadiran para wisatawan, entah lokal maupun internasional memberikan pola pikir baru, entah dalam berbisnis maupun dalam perpolitikan dan budaya. 

Akan tetapi ekses negatif yang menyertai dari praktik budaya yang menyimpang dan berbahaya tidak bisa diabaikan begitu saja. Fenomena aktual terkait banyak anak muda yang suka mabuk-mabukan, seks bebas dan belakangan hilangnya unsur kesopanan dalam budaya indonesia mulai diabaikan. 

Tentu saja ada pengecualian untuk trend ini tetapi mengenali trend setidaknya menepis pengecualian. Pemikiran bahwa perubahan itu niscaya dan bebas menjiplak budaya baru dianggap serupa tetapi faktanya beda, serupa tetapi tidak sama.

Suatu kenyataan yang mengiris hati apabila anak kecil tidak menghargai orang tua, kurang penghargaan terhadap adat lokal, penghancuran diri dan asas kesopanan perlahan diabaikan. Anak-anak muda cenderung menerima begitu saja apa yang dianggap sebagai bagian dari globalisasi tetapi miris bahkan dapat menghancurkan sejarah manusia. 

Tidak bisa dipungkiri, kebudayaan seseorang membentuk pola pikir dan perilakunya (2). Seorang manusia yang sadar, tidak bisa lepas dari pembentukan yang dilakukan oleh budaya yang melingkupinya. Manusia beradab selalu berbekal sebuah kebudayaan. Hilangnya identitas keramahan misalnya merupakan awal dari hancurnya sebuah kehidupan yang damai bahkan hancurnya peradaban.

Menyoal terkait keselarasan ke arah mana proses peradaban ditujukan dapat menunjuk kepada pembahasan tentang unsur kualitas serta nilai terakhir dalam kompleks cita-cita budaya. Pada hakikatnya setiap budaya hendak melahirkan sesuatu yang mendasar yakni kedamaian (peace) (3). Dalam hal ini, perlu ditegaskan bahwa dalam budaya ada cita-cita hakiki yang hendak dicapai yakni kedamaian. 

Realitas orang muda yang cenderung mengabaikan budaya menjadi suatu problem nyata di daerah pariwisata. Orang-orang muda tampak bingung dan mengabaikan bahkan cenderung menganggap budayanya sebagai penyelewengan yang telah ada dari sono-nya atau kebetulan saja. 

Sebagai entitas yang berbudaya dan rasional, manusia kontemporer harus tahu bagaimana cara menjangkau apa yang ada di balik simbol untuk mendapatkan kenyataan yang diekspresikan dan mengetahui makna apa yang telah diberikannya pada simbol tersebut. Selain itu, pengabaian yang ditunjukkan orang muda atas budayanya perlu dikritisi. 

Tawaran Produktif Pariwisata

Sebuah keberhasilan yang menakjubkan tentunya dari inovasi manusia terkait program pariwisata. Secara umum semua orang melihatnya dari sisi ekonomi, tetapi lebih jauh, unsur sosial dan budaya turut mendapat dampak yang sangat luar biasa. Tidak dapat disangkal, semua itu dihasilkan dari manusia membuat pilihan yang lebih baik. 

Semua inovasi yang diwujudkan dalam bidang pariwisata bisa dibilang pencapaian pengetahuan, budaya dan teknologi dari peradaban modern. Meski demikian, fakta luar biasa ini berasal dari pilihan manusia sehingga tidak dapat disangkal pula akan adanya pilihan lain. 

Meski demikian beberapa peluang emas yang bisa digarap dari industri pariwisata harus sungguh disyukuri. Bagi negara, industri pariwisata dapat menjadi awal untuk melakukan diplomasi. 

Bertukarnya warga yang saling berkunjung meminta perhatian dan perlindungan negara. Dalam rangka kebaikan warga, kedua negara menjalin hubungan bilateral dan menyepakati beberapa kesepakatan bersama. 

Kesepakatan kemudian bukan hanya terkait bidang pariwisata melainkan juga bidang lain yang bisa menguntungkan kedua negara. Secara ekonomi, pajak negara meningkat, entah dengan penarikan pajak dari pelaku usaha di industri pariwisata maupun dari biaya penggunaan fasilitas negara. 

Secara global, peluang bisnis ke luar negeri semakin lebar. Industri pariwisata dapat menarik investor dari luar negeri dan para pebisnis dalam negeri dapat berinvestasi ke negara lain.

 Dalam dinamika bisnis, terjadi pertukaran budaya bisnis, ilmu pengetahuan, dan sikap hidup. Pertukaran informasi semakin lebih nyata, budaya baru yang meningkatkan mutu hidup patut disyukuri sehingga ada pembanding dalam meningkatkan kualitas emosi dan kehidupan bersama. 

Dalam konteks lokal, mendapat inovasi, lapangan kerja, membuka bisnis serta mengenal budaya baru menjadi kebermanfaatan industri pariwisata yang sangat luar biasa. 

Orang-orang lokal dapat membuka kedai, restoran atau bisnis-bisnis lainnya yang dapat menghasilkan cuan. Industri pariwisata membutuhkan tenaga-tenaga kerja yang siap menjalankan dinamika pariwisata sehingga orang-orang muda dapat mengakses lapangan kerja dengan bebas dan banyak pilihan. 

Selain itu, industri pariwisata memberikan suasana nyaman dan santai. Pelayanan yang diberikan memiliki intensi untuk menyenangkan orang dan membuat orang yang memiliki persoalan hidup yang sulit dapat lebih santai. Poin kesehatan tentu saja menjadi poin penting yang dapat diambil bahkan berwisata sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat saat ini (4). 

 Oleh karena itu, bukan hanya tentang banyaknya budaya yang muncul melainkan juga peluang untuk membagi kebudayaan yang membangun. Semua orang dapat berbagi budaya yang positif kepada siapa pun sehingga para pelaku budaya pun harus mengambil inisiatif dan peluang pada industri pariwisata ini.  Kemunduran budaya tentu bukanlah hasil dari perubahan hukum alam. Budaya yang baik berangkat dari sikap waspada dan daya kritis sebagai hakikat dari insan berbudaya dan rasional. 

Penutup

Kesadaran akan perubahan sejarah, khususnya perkembangan pariwisata merupakan keharusan.  Tidak mungkin untuk menolak semua itu dan mengasumsikan bahwa umat manusia tidak pernah meninggalkan hutan. Apabila anggapan seperti itu yang dipegang, satu-satunya pilihan yang tersisa adalah hidup sendirian. Bagaimanapun satu-satunya yang konstan dalam sejarah manusia adalah perubahan. Sadar perubahan sekiranya menjadi sesuatu yang bisa kita pelajari dari anak muda yang hidup dalam industri pariwisata. 

Ada banyak hal positif yang diterima dari kegiatan pariwisata, entah itu yang dirasakan secara lokal maupun secara global. Kemajuan ekonomi dan cara berelasi mendapat banyak masukan dari industri pariwisata Meski demikian, kemirisan atas mereka yang memilih secara brutal sikap hidup dan budaya juga sangat penting diperhatikan. 

Terlepas dari sejarah, terlepas dari alasan dan asumsi pembentukan peradaban dan meskipun rintangan yang tampaknya tidak dapat diatasi, sikap kritis dan waspada harus tetap dipraktikkan. 

Dua modal ini tampaknya gampang tetapi sangat sulit dipraktikkan. Namun keduanya mungkin dan sejatinya mampu memberantas dan menjadi akar yang dalam. Semua yang lama bisa pernah menjadi baru tetapi semuanya kembali pada pilihan manusia untuk menilai sebaiknya baru atau lama yang mendatangkan kebaikan dan perdamaian.

Catatan Kaki

1. Cambridge University,  The Paleolithic and the beginnings of human history, dalam The Cambridge World History, ed. David Christian, (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), PDF.

2. Alo Liliweri, PENGANTAR STUDI KEBUDAYAAN, (Bandung: Nusa Media, 2014), hal. 22-23.

3. J. Sudarminta, Mengulik Pemikiran Alfred N. Whitehead, dalam Jurnal DISKURSUS, Volume 12, Nomor 1, (April 2013): hal. 41.

4. Khofif Duhari Rahmat, Konsep Pariwisata Berkelanjutan dalam Pelestarian Cagar Budaya, dalam Jurnal Pariwisata Terapan, Vol. 5., No. 1, (2021): hal. 30.

Daftar Pustaka

Buharto, Muhamad. (5 Januari 2021). Reis, Adab Orang-orang Manggarai Barat dalam Menyambut Tetamu. Dalam National Geografic Indonesia. 5 Januari 2021. https://nationalgeographic.grid.id/read/132495515/reis-adab-orang-orang-manggarai-barat-dalam-menyambut-tetamu?page=all. 

Cambridge University.  The Paleolithic and the beginnings of human history. Dalam The Cambridge World History. Ed. David Christian, (Cambridge: Cambridge University Press, 2015). PDF.

Liliweri, Alo. 2014. PENGANTAR STUDI KEBUDAYAAN. Bandung: Nusa Media.

Ndiung, Sabina dan Gede Wira Bayu. 2019. RITUS TIBA MEKA ORANG MANGGARAI DAN RELEVANSINYA DENGAN NILAI-NILAI KARAKTER. Dalam Jurnal Pendidikan Multikultural Indonesia. Vol. 2 (2).

Rahmat, Khofif Duhari. 2021. Konsep Pariwisata Berkelanjutan dalam Pelestarian Cagar Budaya. Dalam Jurnal Pariwisata Terapan, Vol. 5., No. 1.

Sudarminta, J. (April 2013). Mengulik Pemikiran Alfred N. Whitehead. Dalam Jurnal DISKURSUS, Volume 12, Nomor 1.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun