Trend dan manipulasi globalisasi menyentil bahwa yang banyak pemakai menjadi budaya yang wajib. Realitas ini tentu tidak keliru apabila yang diambil atau budaya baru yang dipraktikkan mendatangkan kebaikan bagi sesama dan pribadi. Namun, kenyataan yang terjadi justru budaya yang menghancurkan semisal minum minuman keras yang banyak, mengenakan pakaian yang masih menunjukkan badan secara vulgar dan berbagai praktik negatif dan berbahaya lainnya.
Tentu saja sudah pasti ada implikasi langsung dan tidak langsung yang merusak dari praktik budaya negatif seperti ini. Mabuk menghasilkan orang yang berantem, melupakan rumah tangga, sakit-sakitan dan paling buruk kematian.Â
Demikian pula dengan praktek budaya menunjukan badan secara vulgar, pendidikan agama yang belum cukup dan kondisi psikologis yang labil menghasilkan banyak orang hamil di luar nikah, banyak anak terlantar dan maraknya kasus pemerkosaan.
Realitas budaya dan pemikiran dalam konteks kehidupan pariwisata tampaknya menggendong pemikiran bahwa semuanya berubah, termasuk budaya dan cara hidup. Masing-masing pribadi bebas mengambil budaya yang menurutnya baik, tidak peduli semua itu mengharuskannya menanggalkan jati dirinya. Budaya yang saya miliki dari nenek moyang tidak pernah menjadi bagian dari diri meski itu sejatinya menjadi nyawa dari hidupku.Â
Hentakan Tegas pada Obsesi Globalisasi
Fitur terpentingnya adalah perubahan besar dalam arti istilah "perdamaian". Bagi banyak pemikir dan budayawan bahkan para pemimpin negara secara rasional menghendaki kebaikan yang menciptakan perdamaian. Kemasifan dan progresivitas pariwisata memiliki tujuan utama untuk kebaikan dan kesejahteraan masyarakat. Kehadiran para wisatawan, entah lokal maupun internasional memberikan pola pikir baru, entah dalam berbisnis maupun dalam perpolitikan dan budaya.Â
Akan tetapi ekses negatif yang menyertai dari praktik budaya yang menyimpang dan berbahaya tidak bisa diabaikan begitu saja. Fenomena aktual terkait banyak anak muda yang suka mabuk-mabukan, seks bebas dan belakangan hilangnya unsur kesopanan dalam budaya indonesia mulai diabaikan.Â
Tentu saja ada pengecualian untuk trend ini tetapi mengenali trend setidaknya menepis pengecualian. Pemikiran bahwa perubahan itu niscaya dan bebas menjiplak budaya baru dianggap serupa tetapi faktanya beda, serupa tetapi tidak sama.
Suatu kenyataan yang mengiris hati apabila anak kecil tidak menghargai orang tua, kurang penghargaan terhadap adat lokal, penghancuran diri dan asas kesopanan perlahan diabaikan. Anak-anak muda cenderung menerima begitu saja apa yang dianggap sebagai bagian dari globalisasi tetapi miris bahkan dapat menghancurkan sejarah manusia.Â
Tidak bisa dipungkiri, kebudayaan seseorang membentuk pola pikir dan perilakunya (2). Seorang manusia yang sadar, tidak bisa lepas dari pembentukan yang dilakukan oleh budaya yang melingkupinya. Manusia beradab selalu berbekal sebuah kebudayaan. Hilangnya identitas keramahan misalnya merupakan awal dari hancurnya sebuah kehidupan yang damai bahkan hancurnya peradaban.
Menyoal terkait keselarasan ke arah mana proses peradaban ditujukan dapat menunjuk kepada pembahasan tentang unsur kualitas serta nilai terakhir dalam kompleks cita-cita budaya. Pada hakikatnya setiap budaya hendak melahirkan sesuatu yang mendasar yakni kedamaian (peace) (3). Dalam hal ini, perlu ditegaskan bahwa dalam budaya ada cita-cita hakiki yang hendak dicapai yakni kedamaian.Â