Mohon tunggu...
Sepis Jandung
Sepis Jandung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Aktif

Mahasiswa aktif Jurusan Filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hidup Bahagia-Sendirian Sebagai Esensi Hidup: Suatu Analisis Eksistensial Terkait Mode Keterpisahan-Levinas

11 Februari 2024   12:10 Diperbarui: 11 Februari 2024   12:12 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kualitas Diri

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali pola relasi yang dominan terjadi yakni memandang manusia lain sebagai objek, membuat "Aku" seolah-olah merasa berkuasa atas diri orang lain. "Aku" akhirnya tidak lagi menghargai kualitas diri orang lain. Relasi yang terbangun bisa masuk ke dalam jurang eksploitatif, seberapa berguna objek terhadap "Aku". 

Relasi dengan intensi mendominasi seperti ini menarik perhatian Emmanuel Levinas dan ia berusaha menemukan bagaimana sejatinya manusia berelasi dengan maksud untuk menggali makna relasi sejati. Fokus utama tulisan ini untuk melihat secara jernih mode manusia berelasi dengan dunianya, yang kemudian menunjuk pada kekhasannya sendiri yaitu interioritas dan keterpisahan.

Tulisan ini mengikuti uraian dari buku Totality and Infinity dengan sub tema "Separation as Life". Tentu saja hasil uraian berdasarkan hasil pemahaman penulis berdasarkan pembacaan teks. Pemahaman dan pemaparan penulis berdasarkan penjelasan dosen dan diskusi di kelas "Levinas dan Enigma Wajah Orang Lain". Tulisan ini terdiri dari enam tema, yang menurut penulis menunjuk pada fokus utama sub tema "Separation as Life".

Intensionalitas dan Relasi Sosial

In describing the metaphysical relation as disinterested, as disengaged from all participation, we would be wrong to recognize in it       intentionality, the consciousness of ...,. (Totality and Infinity, hal. 109)

Menurut Levinas, apabila kita memahami relasi sosial dengan pengertian sebagai relasi metafisik, kita akan sulit memahami intensionalitas di dalamnya. Secara Husserlian, bagaimanapun relasi selalu merupakan keterarahan pada objek. Akan tetapi, sebelum Levinas, relasi metafisik memang secara umum dipahami sebagai relasi dominasi seseorang terhadap yang lainnya. 

Relasi semacam ini, dilakukan secara transendensi dan tanpa menghubungkan subjek dan objek secara konkret. Dalam hal ini, "hubungan transendensi mengarah ke yang lain, yang modenya oleh gagasan infinity telah memungkinkan kita untuk menentukan" (Totality and Infinity, hal. 109). 

Artinya, relasi ini pertama-tama memiliki fokus mutlak dari subjek dan makna yang ditangkap juga ada dalam kuasa subjek. Perlu diperhatikan, relasi semacam ini seolah-olah dapat mentotalisasi segala sesuatu dan menurut Levinas merupakan kecenderungan kita. Kecenderungan seperti ini juga menunjukkan bahwa kita juga memiliki identifikasi atas keunikan, atau keterpisahan dan interioritas.

'Hidup Dari'..., (Kenikmatan) Pengertian Pencapaian

Levinas berangkat dari hal paling sederhana dan konkret dari kehidupan manusia. Dalam keseharian seorang manusia, ia bisa menjalani kehidupan yang baik dan nyaman berkat adanya hal-hal lain yang memenuhi kebutuhan mendasar supaya ia bisa bertahan hidup. Kita hidup oleh sup yang baik, udara, cahaya, kacamata, pekerjaan, ide, tidur, dll. (Totality and Infinity, hal. 110).  

Biasanya semua hal-hal ini dianggap sebagai sarana bagi manusia. Akan tetapi dalam analisa Levinas, apabila kita telisik lebih jauh, bahkan palu, jarum, dan mesin selalu hadir sebagai objek kesenangan atau objek kenikmatan. Cara manusia bereksistensi bukan hanya butuh sesuatu melainkan juga untuk menikmati.

Whereas the recourse to the instrument implies finality and indicates a dependence with regard to the other, living from ... delineates independence itself, the independence of  enjoyment and of its happiness, which is the original pattern of all independence. (Totality and Infinity, hal. 110)

Manusia dalam hidupnya memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi untuk dapat melangsungkan kehidupannya. Ia harus makan, menghirup udara dan membutuhkan istirahat untuk memulihkan tenaga. Meski demikian, manusia dalam kesehariannya melakukan itu semua bukan hanya sekadar memenuhi kebutuhan melainkan ia juga melakukan karena ia ingin menikmati atau merasakan kenikmatan dan kebahagiaan. 

Dalam pandangan Levinas, pola relasi yang berusaha untuk menikmati dan bahagia ini merupakan pola asli dari semua keterlibatan  manusia dengan dunianya. Manusia selalu berusaha untuk mencapai kepuasan dari kebutuhannya dan  kepuasan itulah yang dinamakan pencapaian. Seseorang akan puas dan mendapat kenikmatan karena ia mencapai target yang diinginkannya. Kenikmatan dan kebahagiaan bukanlah ketiadaan kebutuhan melainkan kepuasan. Kepuasan adalah pencapaian. Dari situasi dipuaskannya kebutuhan dengan pencapaian inilah kenikmatan dan kebahagiaan berasal.

Levinas menjelaskan bahwa dalam berelasi dengan dunia dan benda-benda, memang hal-hal itu akan masuk dalam totalisasi tetapi tidak berarti benda-benda itu kehilangan kedirian mereka, pada dasarnya mereka tetap terpisah. Manusia terlibat dengan dunia dan benda-benda hanya dalam relasi menikmati.  Levinas melihat bahwa cara berelasi paling dasar adalah menikmati, manusia berinteraksi, terlibat dengan cara menikmati , manusia tidak mengubah sesuatu, ia hanya menikmati.

"Nourishment, as a means of invigoration, is the transmutation of the other into the same, which is in the essence of enjoyment". (Totality and Infinity, hal. 111).

Dalam relasi dengan dunia dan benda-benda, ada peristiwa yang dinamakan transmutasi, benda-benda dijadikan satu dengan seseorang. Seseorang misalnya mengambil apel dan memakannya; apel yang sebelumnya terpisah dari subjek sekarang menyatu dengan subjek.

Life's relation with the very conditions of its life becomes the nourishment and content of that life. Life is love of life, a relation with contents that are not my being but more dear than my being: thinking, eating, sleeping, reading, working, warming oneself in the sun. Distinct from my substance but constituting it, these contents make up the worth [prix] of my life. (Totality and Infinity, hal. 112)

Yang menarik juga dari Levinas adalah bahwa kenikmatan, kebahagiaan bukanlah  perasaan, suasana hati, bahkan sebelum refleksi. Levinas menggambarkannya sebagai denyutan dari The I. Hal-hal ini sangat sederhana dalam kehidupan sehari-hari, seperti udara, cahaya dan hal lainnya. Kebutuhan-kebutuhan ini manusia penuhi dan memberi rasa kenikmatan. Inilah mode dasar kehidupan manusia, itulah eksistensi manusia. Hidup pada awalnya adalah kebahagiaan.

Kenikmatan dan Kemandirian

Sesuatu yang ada di luar diri seseorang itu independen dan ia hanya menikmati, dalam hal inilah konsep "hidup dari" sangat jelas digambarkan.  Independensi  kenikmatan dan kebahagiaan, merupakan pola asli dari semua independensi, keterlibatan  kita. Seseorang menikmati, ia bahagia apabila tujuannya berhasil. Tentu ada ketergantungan tetapi manusia senang dengan hal itu. Manusia independen dan juga ketergantungan, dalam arti ada kebutuhan. Manusia hidup dari ketergantungan yang menjadi kebahagiaan. Karena seseorang mencintai kebutuhannya, ia membutuhkan kebutuhannya dan tanpa kebutuhannya ia tidak ada.

The human being thrives on his needs; he is happy for his needs. (Totality and Infinity, hal. 114)

Menurut Levinas, "apa yang kita hidupi tidak memperbudak tetapi kita menikmatinya". (Totality and Infinity, hal. 114)  Manusia berkembang dari kebutuhannya dan dia senang dengan kebutuhannya. Hidup dari ... adalah ketergantungan yang berubah menjadi kedaulatan, menjadi kebahagiaan- dan secara mendasar bisa dikatakan egois. Kebutuhan merupakan ketergantungan yang membahagiakan, dengan memuaskannya, akan seperti kekosongan yang terisi. 

Hidup adalah menikmati hidup. Keputusasaan hidup masuk akal hanya karena pada awalnya hidup adalah kebahagiaan. Kebahagiaan tidak terbentuk dari tidak adanya kebutuhan tetapi dari kepuasan semua kebutuhan. Kebahagiaan adalah pencapaian: kepuasan ada dalam jiwa yang puas dan bukan dalam jiwa yang telah menghilangkan kebutuhannya.

Living from ... is the dependency that turns into sovereignty, into happiness-essentially egoist. (Totality and Infinity, hal. 114)

Kenikmatan bukanlah keadaan psikologis, nada afektif psikologi empiris, tetapi denyut  The I. Kebahagiaan adalah pencapaian. Kenikmatan dibentuk dari ingatan akan rasa haus; yaitu nikmatnya rasa dingin. Kebahagiaan adalah syarat untuk beraktivitas, tindakan menyiratkan seseorang ada tetapi kebahagiaan menandai awal dan akhir. Hakikat eksistensi adalah kenikmatan, mengubah apa pun di luar diri menjadi yang sama. Hal ini tentu egois, bukan dalam arti negatif, tetapi memang egois dalam pelaksanaannya. Hidup adalah kebahagiaan, dan menjadi keunikan dari The I.

Semua ini mungkin apabila ada keterpisahan. Dalam hal ini, independen menjadi penting. Manusia tentu membutuhkan konten-konten untuk hidup, semua itu adalah kebutuhan. Keterpisahan sangat penting dalam kaitannya dengan jarak. Adanya jarak memungkin seseorang untuk mempersepsikan dan merumuskan kebutuhannya. Tanpa keterpisahan tidak ada subjek yang hadir untuk bahagia dengan hidup dari, dan menikmati.

Kebutuhan dan Tubuh

Need is the primary movement of the same. To be sure, need is also a dependence with regard to the other, but it is a dependence across time, a dependence that is not an instantaneous betraying of the same but a suspension or postponement of dependence, and thus the possibility to break, by labor and by economy, the very thrust of the alterity upon which need depends. (Totality and Infinity, hal. 116)

Dengan adanya kebutuhan, manusia mampu untuk menjadikan yang ada di luar dirinya untuk menjadi bagian dari dirinya. Dengan demikian, perubahan dunia dilandasi oleh kebutuhan dan dinyalakan oleh kenikmatan walaupun kebutuhan juga merupakan ketergantungan terhadap yang lain. 

Dalam kebutuhan yang penting adalah keterpisahan. Artinya ada jarak, ada keterpisahan yang memungkinkan manusia untuk menunda dan mengalami kebutuhan. 

Oleh karena itu, jarak yang menyelingi manusia dan dunia tempat ia bergantung merupakan esensi kebutuhan. Manusia lepas atau independen dari dunia yang juga menjadi tempat ia hidup dan hidup darinya.

Manusia yang lepas atau terpisah dari dunia ini dapat diasumsikan sebagai  waktu. Hal ini menunjukkan bahwa manusia independen dari dunia tetapi sekaligus membutuhkan dunia. Selain itu waktu atau jarak dalam hal ini berupa penundaan kebutuhan, penangguhan, sehingga dunia bisa ditotalisasi. Sebuah pengalaman atau sesuatu yang ada di luar diri harus ada jarak supaya subjek bisa melakukan totalisasi.

My body is not only a way for the subject to be reduced to slavery, to depend on what is not itself, but is also a way of possessing and of working, of having time, of overcoming the very alterity of what I have to live from. The body is the very self-possession by which the I, liberated from the world by need, succeeds in overcoming the very destitution of this liberation. (Totality and Infinity, hal. 117)

For a body that labors everything is not already accomplished, already done; thus to be a body is to have time in the midst of the facts, to be me though living in the other. (Totality and Infinity, hal. 117).

Sementara itu bagian penting lainnya adalah bahwa pencapaian dengan menikmati sesuatu selalu membutuhkan tubuh. Di sini ada ambiguitas dari apa yang dinamakan tubuh. 

Tubuh terpisah dari dunia supaya memiliki kebutuhan dan ada ketergantungan yang kemudian akan dipenuhi dengan menjadikan sesuatu menjadi bagian dari dirinya. Menjadi dingin, lapar, haus, telanjang, mencari perlindungan,  semua ketergantungan ini sehubungan dengan dunia dan menjadi kebutuhan, tetapi juga menunjukkan adanya subjek yang benar-benar mampu memastikan kepuasan kebutuhannya.

Kebutuhan ada dalam kekuatan subjek, kebutuhan membentuk subjek. Tubuh saya bukan hanya cara bagi subjek untuk bergantung pada apa yang bukan dirinya, tetapi juga adanya tubuh memampukan subjek untuk bekerja, memiliki waktu, mengatasi perubahan dari apa yang harus subjek jalani.  

Subjek ada sebagai tubuh, sesuatu yang akan dapat menangkap dan menempatkan dirinya sendiri di dunia tempat subjek bergantung, sebelum tujuan yang secara teknis dapat direalisasikan. Dengan demikian memiliki tubuh berarti memiliki waktu di tengah-tengah fakta bahwa subjek hidup dari yang lain.

Afektivitas sebagai Keunikan The I

The I pertama-tama tidak dipikirkan sebagai sebuah konsep, subjektivitas, sebab atau cara memahami yang lain. The I mesti dipahami sebagai egoisme, yang lepas dari keterlibatan di dunia, bukan sesuatu yang dinikmati atau yang menikmati yang lain. The I tidak dapat ditotalisasi, artinya ada keterpisahan karena tanpa keterpisahan sesuatu yang lain hilang. Untuk memahami The I, harus berkaitan dengan The I pada dirinya. Keunikan The I merupakan keterpisahan. Keterpisahan dalam arti yang paling sempit adalah kesendirian, dan kenikmatan; kebahagiaan.

One becomes a subject of being not by assuming being but in enjoying happiness, by the interiorization of enjoyment which is also an exaltation, an "above being." The existent is ,'autonomous" with respect to being; it designates not a participation in being, but happiness. (Totality and Infinity, hal. 119)

Keunikan The I tidak dapat dikonsepkan, The I bukanlah pendukung kenikmatan melainkan pada hakikatnya The I menikmati, The I merupakan afektivitas. The I merupakan kontraksi sentimen, ditarik oleh kenikmatan untuk kebahagiaan yang merupakan bagian dari egoisme. Apabila kehadiran kritis dari Yang Lain akan mempertanyakan egoisme ini, ia tidak akan menghancurkan The I. The I akan dikenali dalam perhatian untuk mengetahui, yang dirumuskan sebagai masalah asal-muasal suatu totalitas.

Dalam hal ini, apabila The I diidentifikasi dengan akal, diambil sebagai kekuatan tematisasi dan objektivikasi, The I kehilangan keunikannya. Mewakili diri sendiri berarti mengosongkan diri dari substansi subjektif seseorang.  Dengan demikian ada batas pemisahan. Menjadi The I berarti ada sedemikian rupa sehingga sudah melampaui eksistensi dan ontologi, atau ada dalam kebahagiaan. The I pada hakikatnya bukan menentang atau mewakili sesuatu untuk dirinya sendiri, atau menggunakan sesuatu, atau bercita-cita untuk sesuatu, tetapi untuk menikmati sesuatu.

The I dari Kenikmatan Bukan Biologis Maupun Sosiologis

Gagasan tentang keterpisahan dapat dipahami dengan deskripsi kenikmatan, yang ditempatkan dalam independensi kebahagiaan. Keterpisahan merupakan keunikan dari The I dan penjelasan biologis bahwa pribadi muncul sebagai produk spesies atau kehidupan impersonal akan salah dan kontradiksi dalam menjelaskan The I. Keunikan The I, statusnya sebagai individu tanpa konsep, akan hilang dalam partisipasi biologis atau konsep genus.

Multiplicity can be produced only if the individuals retain their secrecy, if the relation that unites them into a multiplicity is not visible from the outside, but proceeds from one unto the other. If it were entirely visible from the outside, if the exterior point of view would open upon its ultimate reality, the multiplicity would form a totality in which the individuals would participate. (Totality and Infinity, hal. 119)

Apabila ikatan antara The I dan yang lain dapat sepenuhnya ditangkap dari luar, hal ini akan kembali pada totalisasi. Apabila The I ada di bawah tatapan yang melingkupinya, The I akan muncul sebagai peserta dalam totalitas: Yang Lain akan menjadi salinan kedua dari The I-keduanya termasuk dalam konsep yang sama. Dengan demikian, sebagaimana cara pandang biologis, cara pandang sosiologis juga tidak bisa diterapkan pada The I. Bagaimanapun dalam konsep sosiologis, subjektivitas dipandang dalam suatu lingkup relasi yang besar dan subjek ada dalam cakupan yang besar itu.

Levinas tentu tidak berhenti pada The I, ada alternatif lain yang bisa dikatakan lebih radikal. Sebuah alteritas, milik esensi dari yang lain, dan hanya terlihat dari The I. Levinas menegaskan bahwa ada pluralisme yang menyiratkan perubahan radikal dari yang lain, yang saya tidak hanya membayangkan dengan hubungannya dengan diri saya sendiri, tetapi menghadapi egoisme saya. Perubahan Yang Lain ada di dalam dirinya dan tidak relatif bagi saya; itu mengungkapkan dirinya sendiri.

Manusia Menikmati Keterpisahannya

Manusia (The I) sudah pasti ada dalam relasi dengan dunia. Manusia membutuhkan dunia dan sekaligus menikmatinya. Dengan demikian diakui bahwa keterpisahan sebagai kehidupan batin, atau sebagai psikis. 'Hidup Dari' merupakan mode dasar hidup manusia yang memberi penegasan bahwa manusia memiliki kebutuhan dan mampu menikmati. Oleh karena itu, eksistensi manusia pun selalu dalam mode menjadikan yang di luar dirinya menjadi tunduk padanya.

Berangkat dari mode yang seperti ini, tampak bahwa manusia memiliki dimensi keterpisahan dan interioritas, sebagai dasar untuk mode keterlibatannya dengan dunia.  Interioritas muncul seperti kehadiran di rumah sebagai tempat tinggal yang nyaman.

Bagi Levinas, interioritas merujuk kepada segala pengalaman yang berdampak terhadap kehadiran diri, interioritas bisa dikatakan juga sebagai 'kehidupan batin' yang bersifat unik dan tidak bisa diserap ke dalam suatu konsepsi. Sedangkan keterpisahan berangkat dari kesadaran yang mengacu terhadap interioritas, di mana setiap manusia itu berbeda dibentuk oleh keunikannya masing-masing sehingga setiap dari eksistensi manusia sejatinya terpisah, tidak bisa disamakan.

Sumber

Levinas, Emmanuel. 2007.  Totality and Infinity- An Essay on Exteriority. Translated by Alphonso Lingis,  Pittsburgh, Pennsylvania: Duquesne University Press. Hal.  109-186.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun