Mohon tunggu...
Sepis Jandung
Sepis Jandung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Aktif

Mahasiswa aktif Jurusan Filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hidup Bahagia-Sendirian Sebagai Esensi Hidup: Suatu Analisis Eksistensial Terkait Mode Keterpisahan-Levinas

11 Februari 2024   12:10 Diperbarui: 11 Februari 2024   12:12 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Manusia yang lepas atau terpisah dari dunia ini dapat diasumsikan sebagai  waktu. Hal ini menunjukkan bahwa manusia independen dari dunia tetapi sekaligus membutuhkan dunia. Selain itu waktu atau jarak dalam hal ini berupa penundaan kebutuhan, penangguhan, sehingga dunia bisa ditotalisasi. Sebuah pengalaman atau sesuatu yang ada di luar diri harus ada jarak supaya subjek bisa melakukan totalisasi.

My body is not only a way for the subject to be reduced to slavery, to depend on what is not itself, but is also a way of possessing and of working, of having time, of overcoming the very alterity of what I have to live from. The body is the very self-possession by which the I, liberated from the world by need, succeeds in overcoming the very destitution of this liberation. (Totality and Infinity, hal. 117)

For a body that labors everything is not already accomplished, already done; thus to be a body is to have time in the midst of the facts, to be me though living in the other. (Totality and Infinity, hal. 117).

Sementara itu bagian penting lainnya adalah bahwa pencapaian dengan menikmati sesuatu selalu membutuhkan tubuh. Di sini ada ambiguitas dari apa yang dinamakan tubuh. 

Tubuh terpisah dari dunia supaya memiliki kebutuhan dan ada ketergantungan yang kemudian akan dipenuhi dengan menjadikan sesuatu menjadi bagian dari dirinya. Menjadi dingin, lapar, haus, telanjang, mencari perlindungan,  semua ketergantungan ini sehubungan dengan dunia dan menjadi kebutuhan, tetapi juga menunjukkan adanya subjek yang benar-benar mampu memastikan kepuasan kebutuhannya.

Kebutuhan ada dalam kekuatan subjek, kebutuhan membentuk subjek. Tubuh saya bukan hanya cara bagi subjek untuk bergantung pada apa yang bukan dirinya, tetapi juga adanya tubuh memampukan subjek untuk bekerja, memiliki waktu, mengatasi perubahan dari apa yang harus subjek jalani.  

Subjek ada sebagai tubuh, sesuatu yang akan dapat menangkap dan menempatkan dirinya sendiri di dunia tempat subjek bergantung, sebelum tujuan yang secara teknis dapat direalisasikan. Dengan demikian memiliki tubuh berarti memiliki waktu di tengah-tengah fakta bahwa subjek hidup dari yang lain.

Afektivitas sebagai Keunikan The I

The I pertama-tama tidak dipikirkan sebagai sebuah konsep, subjektivitas, sebab atau cara memahami yang lain. The I mesti dipahami sebagai egoisme, yang lepas dari keterlibatan di dunia, bukan sesuatu yang dinikmati atau yang menikmati yang lain. The I tidak dapat ditotalisasi, artinya ada keterpisahan karena tanpa keterpisahan sesuatu yang lain hilang. Untuk memahami The I, harus berkaitan dengan The I pada dirinya. Keunikan The I merupakan keterpisahan. Keterpisahan dalam arti yang paling sempit adalah kesendirian, dan kenikmatan; kebahagiaan.

One becomes a subject of being not by assuming being but in enjoying happiness, by the interiorization of enjoyment which is also an exaltation, an "above being." The existent is ,'autonomous" with respect to being; it designates not a participation in being, but happiness. (Totality and Infinity, hal. 119)

Keunikan The I tidak dapat dikonsepkan, The I bukanlah pendukung kenikmatan melainkan pada hakikatnya The I menikmati, The I merupakan afektivitas. The I merupakan kontraksi sentimen, ditarik oleh kenikmatan untuk kebahagiaan yang merupakan bagian dari egoisme. Apabila kehadiran kritis dari Yang Lain akan mempertanyakan egoisme ini, ia tidak akan menghancurkan The I. The I akan dikenali dalam perhatian untuk mengetahui, yang dirumuskan sebagai masalah asal-muasal suatu totalitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun