Latar belakang pemikiran Enigma Wajah
Peristiwa pembantaian massal mengerikan yang menimbulkan adanya korban jiwa dialami langsung oleh Emmanuel Levinas. Peristiwa pembantaian manusia pada Perang Dunia II oleh Nazi, menelan hampir lebih dari enam juta korban, dan sebagian besar adalah orang Yahudi. Peristiwa ini kemudian menimbulkan duka mendalam bagi Levinas karena hampir seluruh keluarganya meninggal dalam peristiwa itu.Â
Levinas menyadari, selain duka, dan trauma yang tersisa, banyaknya konflik dan peristiwa lainnya yang bahkan hingga saat ini masih berlangsung. Levinas merasa perlu mempertanyakan tentang bagaimana sebaiknya manusia hidup bersama dengan manusia lainnya.Â
Seringkali hal ini dikira sudah selesai, bahkan dianggap bukan sebuah hal yang penting dan patut untuk dibicarakan, karena dengan cepat seseorang dapat menganggap bahwa semua manusia dapat hidup bersama. Akan tetapi bagaimana jika hal itulah yang justru menjadi sebuah permasalahan, bahkan dapat menimbulkan konflik atau peristiwa seperti di atas?Â
Levinas menyadari bahwa permasalahan dapat timbul ketika pembahasan atas sesuatu itu dianggap telah selesai hanya dari satu sudut pandang seseorang, tanpa memperhitungkan sudut pandang orang lain. Hal ini menyiratkan bahwa pembahasan tersebut berhenti pada pembahasan hanya mengenai aku, secara pribadi, tanpa memikirkan realitas yang berada di luar, yaitu kenyataan tentang keberadaan orang lain.[2]
Filsafat Barat, khususnya Heidegger, dikritik oleh Levinas karena menurutnya terobsesi pada menguasai seluruh realitas dengan mencari pengada. Segala sesuatu ingin dipahami, dengan kata lain ingin dijadikan sebagai milikku, menjadi sama dengan diriku.Â
Levinas melihat bahwa obsesi ini membuat keberlainan dari objek-objek pengetahuan tidak dihargai dengan usaha kita untuk mencerabut ‘Yang Lain’ tersebut dari keberasingannya. Menurut Levinas, justru kita bisa memahami sebagai pengada karena adanya ‘Yang Lain’. Dengan demikian, seseorang selalu terkait dan terikat dengan orang lain.
Levinas justru mengajukan etika sebagai filsafat pertama yang hadir dalam wajah orang lain. Etika adalah makna yang mana muncul bukan dari ‘aku’, melainkan dari wajah orang lain. Ketika saya bertemu dengan wajah orang lain, di situlah saya mempertanyakan eksistensi dan kebebasan saya. Wajah orang lain adalah keberlainan murni yang menuntutku untuk ikut bertanggung jawab.Â
Sifat khas dari wajah orang lain adalah mortalitas (dapat mati), dan mortalitas itulah yang membuat aku bertanggung jawab dengan orang lain. Levinas mengajak kita untuk mengganti perhatian kita kepada relasi etis diri kita kepada mortalitas orang lain yang memberi makna kepada diri kita.
Wajah biasanya hanya dipahami begitu saja dalam kehidupan sehari-hari. Ia hanya sebagai pengenal diri seseorang. Seseorang bisa diingat dari ciri fisik wajahnya. Namun bagi Levinas, wajah yang dimaksud di sini bukanlah wajah secara fisik, melainkan bagaimana ‘Yang Lain’ memperlihatkan dirinya. Wajah manusia memiliki makna yang lebih dalam yang melampaui fisik yang tampak. Wajah menampakkan kehadiran seseorang secara keseluruhan.Â