Ada banyak cara untuk mencintai alam. Ada banyak cara untuk melestarikan alam. Ada banyak cara untuk menjaga alam. Ruwatan, merupakan salah satu cara dalam merawat, melestarikan, dan menjaga alam, sebagai bentuk kecintaan terhadap alam dan Tuhan. Alam, bukan sekadar diartikan sebagai “nature” tapi juga sebagai jagat raya, kosmos, alam semesta, atau gaia. Terminologi kosmos mengacu pada jagat raya yang tidak hanya terdiri dari manusia, hewan dan tumbuhan, tapi juga pada berbagai planet dan seisi semesta yang tak terhitung jumlahnya dan yang paling penting dan inti adalah terkait dengan The One, The Ultimate, dan The Supreme, Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam tradisi pemikiran tradisionalis, semua yang ada di jagat raya saling terhubung satu sama lain. Dalam terminologi Sunda, ada yang disebut jagat gede dan jagat leutik. Jagat gede (dunia besar/makrokosmos) mengacu pada bumi dan langit, alam semesta. Jagat leutik (dunia kecil/mikrokosmos) mengacu pada sanubari, kesadaran dalam diri manusia. Kedua jagat tersebut terhubung satu sama lain. Karena keterhubungan tersebut, sudah sepatutnya lah manusia, sebagai makhluk berakal, merawat, melestarikan dan menjaga alam semesta.
Ruwatan Sang Hyang Halis, Gn. Manglayang
Di tahun 2022, kegiatan Ruwatan Sang Hyang Halis, yang dikenal dengan Ruwatan Gn. Manglayang, Provinsi Jawa Barat, diselenggarakan pada tanggal 28 Februari 2022 oleh Padepokan Bumi Ageung Saketi (PBAS). Kegiatan dilaksanakan di area Situs Batu Kuda, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung.
Kegiatan tersebut bersifat tertutup dan hanya dihadiri oleh undangan yang terbatas. Tidak ada acara seremonial bersama masyarakat sekitar Situs Batu Kuda, tidak ada juga kegiatan festival budaya, yang ada hanyalah acara do’a bersama yang merupakan inti dari kegiatan ruwatan tersebut.
Hal tersebut dikarenakan kondisi yang belum memungkinkan untuk mengadakan acara secara terbuka. Pandemi Covid-19, bagaimanapun, harus tetap diwaspadai dan mematuhi peraturan pemerintah dan protokol kesehatan menjadi hal utama yang dilakukan oleh penyelenggara acara.
Ruwatan, atau disebut juga Ngaruwat (sebagai kata kerja), dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk membersihkan, memelihara, merawat, menyelamatkan, dan juga melepaskan. Dalam konteks Ngaruwat Sang Hyang Halis, ngaruwat disini dapat diartikan sebagai upaya membersihkan Gunung Manglayang dari berbagai energi negatif, memelihara dan merawat gunung agar tetap terjaga, dan menyelamatkannya dari kerusakakan yang timbul akibat ulah manusia yang serakah.
Sebagai upaya memelihara dan menyelamatkan tersebut, dilakukan “nancepkeun pamali” yang dipimpin oleh Abah Enjoem sebagai juru ruwat. “Nancepkeun pamali” disini dilakukan untuk memberikan batasan wilayah mana yang boleh dilewati oleh para pendaki atau pelancong, mana yang tidak boleh dilewati.
Dengan kata lain, ada wilayah yang boleh dimasukin atau dilewati oleh sipapun, ada yang tidak boleh karena pamali. Karena sudah di-pamali-kan, maka ada konsekuensi yang akan diterima seseorang yang melewati atau memasuki wilayah terlarang.
Seperti halnya acara ruwatan di tempat lain, pada acara Ngaruwat Sang Hyang Halis juga disediakan sesajen yang terdiri dari air dari 7 sumber mata air, buah-buahan, umbi-umbian, bunga, tumpeng puncak manik, dan sebagainya. Terdapat satu hal yang mejadi ciri khas dari acara ruwatan ini yaitu adanya “gugunungan”, berupa gunungan kayu yang dibentuk seperti untuk api unggun dan dibakar pada saat acara do’a dilakukan. Membakar “gunungan” tersebut merupakan acara inti dari kegiatan ruwatan gunung tersebut.
Acara Ngaruwat Sang Hyang Halis ini dimulai dengan meminta izin kepada Sang Khalik untuk melakukan acara. Kemudian dilanjutkan dengan rajah yang diiringi musik kecapi. Setelah itu, dilantunkan Kidung Manglayang. Masuk pada acara inti, berdo’a, pimpinan acara mengajak semua yang hadir untuk berdo’a kepada Sang Khalik yang diawali dengan mendoakan kedua orang tua, para saudara, kemudian para leluhur di seluruh alam.
“Nancepkeun pamali” dilakukan setelah kegiatan berdo’a, dimana pimpinan ruwatan menyatakan ikrar bahwa di wilayah tersebut ditancapkan pamali dimana jika ada yang melanggar, konsekuensinya ditanggung sendiri. Selama rangkaian acara tersebut, gunungan dibakar, dan api sangat berkobar pada saat itu.
Apa yang terjadi pada gunungan, baik dari bentuk dan besar kobaran api dan juga bentuk gunungan dan bara kayunya, melambangkan kemungkinan kejadian yang terkait dengan gunung tersebut dan kehidupan manusia dan bumi yang akan terjadi ke depannya. Acara ditutup dengan lantunan Kidung Buniwangi.
Ruwatan, sebuah refleksi spiritualitas
Ruwatan bukan semata-mata tradisi yang dilakukan secara turun temurun, tapi juga merupakan suatu bentuk dari refleksi spiritualitas manusia. Ruwatan dilakukan bukan untuk menyembah tumbuhan atau hewan atau alam, tapi untuk memanjatkan do’a kepada Sang Khalik, Yang Satu, Yang Maha Agung, Sang Pencipta, Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Tuhan Yang Maha Esa. Refleksi spiritualitas ini diwujudkan melalui sebuah ritual dengan berbagai hal yang menyertainya, seperti sesajen dan alunan musik. Sesajen dengan berbagai tetek bengeknya, baik jenis sesajinya maupun aturan yang menyertainya, merupakan bentuk dari ucapan syukur manusia terhadap apa yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Ruwatan, dalam hal ini Ngaruwat Sang Hyang Halis, disebut juga sebagai bentuk sedekah alam.
Memang, pada acara ruwatan tahun ini, tidak ada acara sedekah alam seperti tahun sebelumnya, dimana terdapat acara pemotongan domba yang kemudian beberapa bagian dari domba tersebut (kepala, kaki) dikubur sebagai simbol memendam nafsu. Kemudian bagian yang tidak dikubur dimasak dan dimakan bersama oleh masyarakat.
Acara ruwatan dengan berbagai atribut yang menyertainya, merupakan bentuk dari refleksi spiritualitas. Berbagai hal yang menyertai acara ruwatan tersebut merupakan simbol-simbol dari kebersyukuran manusia atas kehidupan yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa melalui berbagai hasil alam yang diterimanya. Karena terdiri dari berbagai simbol, tak jarang, bahkan kebanyakan, memicu kesalahapahaman di masyarakat, terutama masyarakat modern dan urban, dimana kebanyakan dari mereka menganggap bahwa acara ruwatan dengan berbagai atribut yang menyertainya, merupakan bentuk peribadatan penganut animisme dan dinamisme.
Hal ini juga merembet pada anggapan bahwa aliran kepercayaan seperti Sunda Wiwitan, merupakan kepercayaan terhadap animism dan dinamisme. Ruwatan juga dianggap sebagai kegiatan yang sarat akan mistis sehingga dianggap menyeramkan. Bahkan ada sebagian orang yang menganggap bahwa kegiatan ruwatan tersebut merupakan kegiatan yang musyrik sehingga perlu untuk dihentikan.
Ruwatan merupakan salah satu tradisi ritual yang ada di Nusantara. Tidak hanya di tatar Sunda, tapi juga di wilayah lain di Nusantara, dengan penyebutan dan caranya masing-masing. Sebagai suatu tradisi, selayaknya dipahami sebagai suatu kekayaan bangsa, bukan sebaliknya.
Referensi:
Suganda, K. U. (2009). Komunitas Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar. Dalam AMAN, & Down to Earth, Hutan untuk Masa Depan: Pengelolaan Hutan Adat di Tengah Arus Perubahan Dunia (pp. 30-65). Jakarta, Cumbria: AMAN & DTE.
Miharja, D & Prasetyo, S.F. (2021). The Value of Islamic Teaching and Sundanese Culture in The Ruwatan Leuweung Babakti Mandala Manglayang. Jurnal Studi Agama-agama. V0l. 11, No. 2 (2021); pp.242-256
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H