Mohon tunggu...
Aditya Mahatma
Aditya Mahatma Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Materi tulisan merupakan kumpulan tugas perkuliahan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan Perokok

23 Oktober 2019   02:23 Diperbarui: 23 Oktober 2019   05:34 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Latar Belakang

Fenomena wanita yang merokok semakin marak di masyarakat. Merokok untuk perempuan, bagi sebagian Masyarakat Indonesia merupakan hal yang tabu, tetapi sebenarnya sejak dahulu kebiasaan menghisap rokok tidak hanya dilakoni oleh kaum pria saja. Banyak perempuan yang juga menghisap rokok dan memilih jadi perokok aktif.

Saat ini, semakin banyak perempuan Indonesia yang terang-terangan menunjukkan bahwa mereka merokok. Beberapa dari mereka merasa bahwa lingkungan mereka sudah lebih bisa menerima. Hanya saja, masih ada beberapa kelompok yang menentang keras.

Beberapa menganggap gambaran perempuan sebagai makhluk yang lembut, halus, dan anggun tidak cocok dengan citra rokok yang maskulin. Akibatnya, perempuan merokok seringkali dianggap nakal, serta tak bermoral.

Namun, apakah merokok dapat mencerminkan kepribadian seorang perempuan? Ataukah itu hanya opini yang dipengaruhi oleh tradisi yang terbentuk secara turun temurun?

Jika dilihat dari sisi hukum yang berlaku dalam undang-undang, yang tertera pada setiap bungkus rokok dan segala bentuk iklannya, tertulis dilarang menjual/memberi pada anak usia dibawah 18 tahun dan perempuan hamil.

Sudah jelas bahwa perempuan yang telah berusia 18 tahun dan tidak sedang hamil diperbolehkan membeli dan mengonsumsi rokok. Sebagai contoh ibu Susi Pudjiastuti yang juga perempuan merokok tapi tidak memiliki karakter yang buruk seperti labeling yang sering dikatakan oleh masyarakat, dan malah baik begitu menjalankan tugasnya sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Hal ini mengingatkan bahwa merokok bukan halangan bagi perempuan untuk berlaku baik bahkan menunjukkan kehebatannya.

Fenomena ini menuai polemik yang memicu adanya pro dan kontra ditengah masyarakat. Citra perempuan merokok sudah terlanjur buruk. Hal ini terjadi karena adanya stereotip yang negatif terhadap rokok, ditambah perihal tabunya aktivitas perempuan yang merokok.

Masyarakat menilai negatif seorang perempuan hanya karena ia memilih menjadi perokok aktif. Rokok tidaklah seburuk itu. Hal tersebut tidak dapat menjadikan tolak ukur baik buruknya seseorang, tertama perempuan merokok. Merokok adalah hak semua orang dewasa yang tidak sedang hamil.

Metode yang digunakan dalam makalah ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif yakni yang dilakukan dengan cara mengumpulkan fakta di lapangan melalui wawancara dari pihak pelaku. Metode tersebut didukung oleh beberapa teori.

Pertama, teori psikologi media entertaiment, yang membahas mengenai peranan media dalam framing image rokok dan perempuan. Kedua, konsep gender, yang memuat mengenai sejarah pembentukan gender di masyarakat. Ketiga, konsep stereotipe yang membahas konstruksi sosial terhadap perempuan masyarakat yang diciptakan masyarakat.

Penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumbangan referensi bagi ilmu Desain Komunikasi Visual. Selain itu, penelitian ini juga dapat membere edukasi mengenai konsep gender yang melekat pada suatu produk yang didukung oleh media massa, dapat membentuk asumsi dan kontruksi sosial masyarakat.

Landasan Teori

1.    Psikologi Media Entertainment

Berdasarkan buku Psikologi Media Entertainment, salah satu prinsip paling dasar dari sistem perdagangan pasar bebas adalah gagasan tentang aliran informasi yang bebas untuk menciptakan suatu bidang permainan yang setara bagi semua pembuat keputusan.

Menurut kutipan teori kultivasi, efek-efek media mendeskripsikan bagaimana media berfungsi sebagai kekuatan pemuas yang besar, model ini terkualifikasi oleh pengakuan bahwa "sudut dan arah 'tarikan' tergantung pada di mana kelompok pemirsa dan gaya hidupnya merujuk pada pusat gravitasi" (L. J. Shrum, 2010:392). Media merupakan behavior effect. Teori kultivasi lebih menunjukan bagaimana dampak media terhadap tingkatan sosial budaya masyarakat (Junaidi, 2018:50).

2.    Gender

Konsep gender dan seks (jenis kelamin) adalah dua hal yang berbeda. Jenis kelamin lebih mengacu pada hal-hal yang bersifat biologis, contohnya laki-laki dengan penisnya dan perempuan dengan vaginanya. Jenis kelamin bersifat mutlak dan sering disebut dengan kodrat atau pemberian Tuhan.

Gender mengacu pada konstruksi sosial yang terbentuk secara sosial maupun kultural. Laki-laki dikenal dengan perkasa dan rasional, sedangkan perempuan dikenal dengan lemah lembut dan emosional.

Berbeda dengan jenis kelamin, gender dapat dipertukarkan misalnya ada laki-laki yang lemah lembut dan perempuan yang perkasa. Ada kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities). 

Perbedaan gender (gender differences) antara laki-laki dan perempuan melalui sejarah yang amat panjang, yang dibentuk, diperkuat, dikonstruktif, dan disosialisasikan secara sosial maupun kultural melalui kegiatan keagamaan dan masyarakat. Melalui konsep seks (jenis kelamin), dan dianggap sebagai kodrat pemberian dari Tuhan yang seolah bersifat biologis dan tidak dapat diubah (Fakih, 1996:1-8).

Ketidakadilan gender diturunkan dalam berbagai kebijakan maupun aksi, seperti marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, anggapan tidak penting dalam keputusan publik, pembentukan stereotip (pelabelan negatif), kekerasan, beban kerja yang lebih panjang, serta sosialisasi ideologi nilai peran gender (Fakih, 1996:13).

3.    Stereotip

Stereotip (pelabelan negatif) apat menimbulkan asumsi bahwa perempuan harus bersikap sebagaimana mestinya. Hal ini merupakan konstruksi sosial yang diciptakan masyarakat. Contohnya adalah perempuan sebagai isteri harus melayani laki-laki sebagai suami. Banyak aturan pemerintah, aturan keagamaan, kultur, dan  kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotip tersebut. (Fakih, 1996:16-17).

Jenis-jenis ketidakadilan gender terjadi di berbagai unsur: kebijakan, adat/kultur/agama, dan rumah tangga. Ketidakadilan gender yang terlanjur mengakar ke dalam keyakinan menjadi sulit diubah. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender tersosialisasi secara luas sehingga masyarakat menjadi terbiasa. Peran gender tersebut seolah-olah merupakan kodrat. Lama kelamaan terciptalah suatu struktur ketidakadilan gender yang diterima.

Pembahasan

1.    Perempuan dan Rokok

Rokok merupakan produk yang terbuat dari tembakau kering yang dilinting dengan kertas. Tembakau memiliki rasa kenikmatanya masing-masing tergantung dari kualitas tanah dan teknik pengolahan. Tumbuhan ini pertaman kali disebar luaskan oleh penjelajah Eropa Christoper Colombus pada abad ke-17 di San Salvador. Aromanya yang khas bahkan bisa digunakan sebagai obat alami pilek dan radang tenggorokan oleh bangsa Asia, Afrika, Amerika dan sebagian Bangsa Eropa.

Kemudian kebiasaan merokok diperkenalkan oleh Rodrigo de Jerez di Eropa. Seiring berjalanya waktu orang-orang mulai mengkonsumsi tembakau dengan cara dikunyah atau menggunakan pipa. Kemudian pada tahun 1832 ditemukan rokok yang dilinting dengan kertas di Turki dan Mesir. Setelah penemuan rokok di Turki atau disebut hand roll cigarette mendapat tempat tersendiri di masyarakat yang mendorong London untuk mendirikan perusahaan Phillip Morris pada tahun 1847.

Rokok lintingan mulai terkenal di Indonesia sejak abad Kerajaan Mataram yang diperkenalkan oleh Rara Mendut. Raro mendut sendiri merupakan selir dari Adipati Pragola yang kalah saat penyerangan oleh Tumenggung Wiraguna bersama dengan Sultan Agung dikaremnakan pemberontakan yang desebabkan oleh Adipati Pragola. 

Ketika Rara Mendut diminta dijadikan selir oleh Tumenggung Wiraguna, Rara Mendut menolak dan dipaksa untuk membayar pajak dengan harga yang tinggi. Disitulah Rara Mendut mulai menjual rokok dengan lintingan kertas yang direkatkan oleh ludahnya. Karena kecantikanya tersebut tidak membutukan waktu lama untuk menjual tiap batang rokok tersebut.

"Menurut WHO pada tahun 2008 perokok dikalangan remaja pria sebesar 24,1% dan pada wanita 4,0%. Jumlah wanita perokok di Indonesia memang tidak sebanyak pria, namun jumlah perokok wanita semakin meningkat. Dan juga prevalensi merokok pada remaja wanita lebih tinggi dibandingkan prevalensi pada wanita dewasa, pada tahun 2008 dilakukan riset koalisi untuk indonesia sehat (KUIS) dan terdapat 43,33% wanita muda di indonesia sudah pernah merasakan rokok" (Anggarianto, 2018: 2). 

Semakin meningkatnya modernisasi dimasyarakat memicu timbulnya kesetaraan gender pada wanita salah satunya dengan menghisap rokok. Bahkan artis kalangan atas tidak sedikit yang menggunakan tembakau bakar ini untuk merelaksasikan tubuh disela waktu istirahat yang sangat minim.

Para remaja khususnya wanita sekarang lebih berani dalam mengungkapkan pendapat mereka dalam kampanye anti patriarki dengan menggunakan produk yang sewajarnya dipakai oleh kaum pria. Wanita perokok memang cenderung dipandang jelek oleh masyarakat kebanyakan.

Mereka menggunakan rokok bukan hanya untuk sekedar fashion atau ikut-ikutan semata namun sebagai tanda menuju kedewasaan. Mengapa hal itu dapat terjadi? Sebab, setiap pengguna wanita perokok mengerti resiko yang akan diterima saat mereka mulai berlayar dalam lingkup itu.

Menurut narasumber kami, merokok dapat meredakan masalah dan lebih mengakrabkan teman saat sedang berkumpul. Dikutip dalam situs AS dalam sebuah wawancara kepada orang yang memiliki umur di atas 100 tahun rutin mengkonsumsi anggur, minyak zaitun, kaki babi dan rokok.

"Saya sudah 45 tahun merokok kretek dan alhamdulillah saya sehat-sehat saja sampai sekarang. Karena kretek jelas warisan budaya Indonesia, sudah jadi tradisi masyarakat kita. Kalimat merokok itu membunuhmu dan sebagainya itu kalau mau diulik lagikan sebenernya semua cuma jargon-jargon. Kalau dibilang itu menyebabkan kanker, itu sebenarnya tergantung dari tubuh kita sendiri-sendiri, bukan masalah merokok atau tidak," kata Tunggul saat ditemui di Si Jago Chicken Jogja, Senin (27/3) dilansir dalam laman brilio.net mengenai venomena vape dan kretek.

Indonesia sendiri pernah menggunakan pemeran wanita dalam mempromosikan produk mereka. Seperti Iklan rokok Bentoel dengan slogan "Saya menganjurkan teman pria saya untuk merokok" dan rokok Surya 12 dengan model cantik Lia Waroka dengan pose sangarnya.

Seperti yang dijelaskan dalam iklan tersebut, wanita perokok bukan hal baru yang perlu dikoar-koarkan secara alay. Bahkan dalan sudut pandang iklan ini wanita terlihat lebih kuat dari pria. Setiap orang mempunyai hak mereka masing-masing.

2.    Stigma Masyarakat

Di dalam lingkup masyarakat perempuan dipandang begitu lemah lembut, halus,dan anggun. Namun tak semua masyarakat berfikir demikian, pandangan masyakat itu relatif kadang berubah ketika mereka memandang perempuan perokok.

Stigma mereka kebanyakan akan negatif, perempuan perokok lebih dianggap murahan, nakal, pelaku sexs, kupu-kupu malam dan lain sebagainya, Seakan rokok menjadi penyebabnya, padahal kita tidak tau seperti apa mereka sebenarnya, tidak semua perempuan perokok seperti anggapan masyarakat.

Sebenarnya mereka tidak masalah,yang masalah justru mereka yang menilai perempuan perokok itu salah. Mereka yang termakan stigma lama menganggap rokok sebagai simbol maskulin.

Sebenarnya tak ada aturan atau undang-undang yang mengatur rokok untuk siapa dan larangan perempuan tidak boleh merokok. Perempuan juga mahluk yang memiliki kebebasan untuk beraktualisasi dan mengeksprerikan diri,seperti ibu mentri kelautan Susi Pudjiastuti yang mematahkan stigma negatif masyarakat bahwa perempuan perokok tidak selalu dianggap nakal.

3.    Kisah Roro Mendut

Perokok pada perempuan kemungkinan besar dimulai dari kisah Roro Mendut sebagai perempuan perokok pada era Kerajaan Mataram islam, penemuan ini bisa dibilang mematahkan stigma masyarakat yang selalu memandang buruk kepada perempuan-perempuan perokok yang dimana sifat perempuan harus terlihat anggun dan feminine, tapi standar feminine seperti apa yang dimaksud.

Roro Mendut ialah sosok wanita cantik yang hidup pada masa kasultanan Mataram islam, sekitar abad ke-16 pada zaman Sultan Agung. Kecantikan Roro Mendut banyak memukau kaum laki-laki pada masa itu termasuk tumenggung Wiroguna, panglima perang Sultan Agung penguasa daerah kadipaten pati. Dimana pada waktu itu Tumenggung Wiroguna gagal memperistri Roro Mendut dan harus memaksanya untuk membayar pajak.

Mendut bukanlah sosok yang lemah, walaupun dari luar ia terlihat begitu lemah nan anggun tetapi ia merupakan perempuan yang cerdas. Sadar akan kecantikannya yang begitu memukau ia berfikir bisa mendapatkan sepeser uang untuk membayar pajaknya, ketemulah ide untuk menjual rokok.

Memanfaatkan kecantikannya ia mulai mengerekatkan setiap linting rokok menggunakan lidahnya, setiap hisapan rokoknya ia jual dengan harga tinggi. Bisa dikatakan disinilah awal mula perempuan merokok, tidak ada yang membedakan laki-laki atau perempuan.

Kedudukan perempuan pada waktu itu sudah dinomorduakan. Perempuan tidak bisa jadi raja, perempuan hanya berdiri disamping sebagai pendamping. Namun, tidak ada batasan perempuan untuk mendapat haknya.

Jika kita telaah ketika Roro Mendut merokok, tidak ada masyarakat yang memandang buruk tentang perempuan perokok, tidak ada larangan bagi perempuan untuk merokok, perempuan bebas mendapatkan haknya.

Lalu, sejak kapan stigma negatif tersebut muncul? Salah satunya karena iklan rokok pada era sekarang yang banyak memberi citra maskulin, seakan rokok ditujukan hanya untuk kaum laki-laki. Iklan rokok kebanyakan memakai peran laki-laki sebagi tokoh utama, sedangkan perempuan hanya sebagai pemanis di dalamnya.

Namun, maskulinitas itu muncul karna adanya feminisme. Hal tersebut sudah terjadi ketika zaman Roro Mendut, perempuan dan media pemasaran.

Selain Roro Mendut, pada masa kemerdekaan, perempuan perokok juga sudah dilakoni oleh istri panglima besar Jendral Sudirman, yaitu pada waktu jendral Sudirman mau menghembuskan nafas terakhirnya beliau meminta istrinya untuk merokok dan menghembuskan asapnya ke wajah beliau.

Beberapa sosok di era sekarang yakni Menteri Kelautan, yaitu Ibu Susi Pudjiastuti, dan penyanyi, yaitu Danila. Sebenarnya perempuan bebas untuk merokok, tidak ada larangan untuk itu hanya bagaimana cara kita berfikir untuk saling menghargai.

Selama mereka berbuat baik dan tidak melanggar aturan atau bertindak kriminal, tidak ada masalah untuk itu. Kita punya hak masing-masing terhadap tubuh kita, dan kita punya hak masing-masing untuk saling mengingatkan bukan menjatuhkan.

4.    Iklan Rokok

Banyak iklan rokok selalu menunjukan kesan maskulinitas, kebersamaan, dan kebebasan, dimana banyak aktor ditampilkan oleh laki-laki. Dimata masyarakat, rokok seakan menjadi satu kesatuan dengan pria. Hal ini menumbuhkan stigma masyarakat bahwa perempuan perokok terlihat tabu.

Jika kita sisir jauh ke belakang, justru iklan rokok pada tahun 1930an banyak menampilkan figur perempuan, bahkan dengan menampilkan gestur perempuan sebagai perokok. Larangan perempuan merokok pun tak tertera di setiap iklan, justru ada hal-hal tersembunyi dari beberapa iklan perempuan secara tidak langsung boleh merokok.

Jika kita telaah pada kemasan rokok, terdapat kalimat "Dilarang menjual atau memberikan pada anak dibawah 18 tahun dan perempuan hamil". Disitu spesifikasi perempuan tidak boleh merokok hanya ditunjukan pada wanita hamil dan dibawah usia 18 tahun.

Kesimpulan

Perilaku merokok di dalam masyarakat dipicu oleh berbagai macam motif. Salah satunya adalah pengaruh citra maskulinitas yang dibangun oleh kampanye maupun iklan produsen rokok. Citra tersebut kemudian diserap oleh masyarakat yang berdampak pada perilaku merokok. Maka dari itu, merokok selalu dikaitkan dengan maskulinitas, sehingga merokok dapat membuat seseorang menjadi lebih jantan.

Pencitraan yang dilakukan dalam jangka waktu yang lama mengakibatkan adanya dominasi perokok oleh laki-laki. Dominasi kemudian melahirkan legitimasi yang menganggap bahwa merokok hanya boleh dilakukan oleh laki-laki.

Hal ini juga diperkuat dengan kontruksi sosial masyarakat yang dipengaruhi secara kultural maupun keagamaan, yang juga mendapatkan pengaruh dari media massa. Rokok yang awalnya merupakan benda netral, kini sering diasumsikan hanya boleh dikomsumsi oleh laki-laki. Maka, terciptalah asumsi bahwa merokok bagi perempuan adalah hal yang tabu.

Daftar Pustaka

1.    Buku

  • Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
  • Shrum, L. J., Psikologi Media Entertainment, Yogyakarta: Jalasutra, 2010

2.    Jurnal

  • Anggarianto, Ogie Mista. Konsep Diri Pada Wanita Perokok. Skripsi Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (online). (diakses 9 Oktober 2019 pukul 01.25)
  • Junaidi, “Mengenal Teori Kultivasi dalam Ilmu Komunikasi. Jurnal Simbolika Program Studi Pemikiran Politik Islam Universitas Islam Negeri Sumatera (online) Vol. IV/1, April 2018. (diakses 15 Oktober 2019 pukul 22.00)

3.    Pustaka Laman

Ditulis Oleh :

  1. Aditya Mahatma P.
  2. Akbar Bimo W.
  3. Janu. Dwi P.
  4. Tantriono Sasongko
  5. Very Donovan Cahyo A. S.
  6. Widya Ayu R. L.

Hasil Perkuliahan Kapita Selekta
Program Studi Desain Komunikasi Visual
Fakultas Seni Rupa
Institut Seni Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun